
“TUKU YIT”, KAPAL NISERO DAN TEUNOM
Oleh Said Muniruddin | Dewan Ketua | Asyraf Aceh
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Tulisan ini merupakan review pada salah satu seminar Asyraf Aceh: “Peranan Habib Hasan bin Abdul Wabah (Tuku Yit) dalam Negosiasi Nisero di Teunom”.
Habib Hasan bin Abdul Wahab merupakan keturunan dari pada Syarif Busu di Pidie dan mereka merupakan salah satu keluarga yang berpengaruh disana. Beliau dikenal juga dengan sebutan Tengku Chik Pasie Aron dan masih memiliki hubungan keluarga dengan keluarga Kerajaan Teunom.

Sebagaimana tersebut dalam sebuah manuskrip, ayahnya yang bernama Syarif Abdul Wahab merupakan utusan Sultan Mansursyah (1857-1870) untuk membangun Kota Meulaboh sebelum Belanda masuk ke Aceh. Dalam surat raja Aceh tersebut dijelaskan, Beliau dimandatkan untuk mengontrol seluruh aktifitas ekonomi, sosial dan keagamaan di pesisir barat Aceh. Makamnya terletak di Kampung Belakang, Meulaboh. Kuburan panjangnya dikenal dengan “Kubu”.
Salah satu anak Syarif Abdul Wahab yang bernama Habib Hasan ini kemudian juga memiliki kontribusi penting dalam sejarah di pantai barat Aceh. Salah satu peranannya adalah menjadi negosiator dalam peristiwa Nisero pada tahun 1883 M. Saat itu, sebuah kapal milik Inggris bernama Nisero yang mengangkut gula dari Surabaya (Jawa Timur) ke kota pelabuhan Marseille di Perancis (Eropa), terdampar di sekitar perairan laut di Teunom, dekat Panga, Aceh Jaya.
Kapal beserta seluruh awaknya kemudian disandera oleh penguasa Teunom untuk Political Bargaining dengan Belanda. Awak kapal yang terdiri dari 19 warga multinasional, 10 Inggris, 2 Belanda, 2 Jerman, 2 Norwegia, 2 Italia ,1 Amerika dan beberapa warga keturunan Cina.
Dalam buku “The Wreck of Nisero” oleh William Bradley, salah satu pimpinan di Kapal Nisero, menjelaskan tentang diplomasi oleh Habib Hasan bin Abdul Wahab dengan judul “Tuku Yet’s Diplomacy”. Habib Hasan bin Abdul Wahab merupakan utusan Raja Teunom dalam perundingan dengan Mr. Maxwell (utusan Inggris) dan Gubernur Hindia Belanda untuk Aceh di Kapal Pegasus.

Perundingan itu berhasil membuat pihak Belanda dan Inggris mengikuti keinginan Kerajaan Teunom dengan meminta tebusan untuk awak kapal Nisero yang telah disandera beberapa bulan oleh Kerajaan Teunom. Hal ini sedikit banyaknya memberikan efek yang lumayan besar kepada Belanda yang dianggap tidak mampu menjaga wilayah perairan taklukannya di mata international.
Selain keberhasilan diplomasi dari Habib Hasan bin Abdul Wahab, beliau juga dikenal sebagai seorang tokoh ulama atau penghulu yang memiliki karamah serta sangat disegani di wilayah Teunom, terutama di Pasie Aron atau Panga.
Cerita tentang wafatnya sosok ulama ini, sampai kemudian jenazahnya di bawa pulang melintasi pegunungan sampai ke Pidie juga memiliki keunikan tersendiri. Mayatnya diangkut dalam sebuah tong (tong besar ini masih tersimpan di Rumoh Raya, Lameue Pidie). Diceritakan, ketika sampai, mayatnya terlihat masih segar meskipun menempuh perjalanan berhari-hari, cukup lama dan jauh untuk ukuran saat itu.
Sebagaimana amanahkan kepada para pengikutnya menjelang wafat, Beliau ingin dibawa pulang dan dimakamkan di samping kakeknya Habib Musa di Bambi Dayah Teungku, Pidie. Agak unik dan masih menjadi tanda tanya, mengapa ia tidak memilih dikuburkan di samping ayahnya di Kota Meulaboh.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****