“Jurnal Suficademic” | Artikel No. 84 | Oktober 2022
“TRANSCENDENTAL COMMUNICATION”: MEMBANGUN RUHANI KENABIAN DALAM KOMUNIKASI VERTIKAL
Oleh Said Muniruddin | The Suficademic
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Berbagai program leadership and communication skills yang pernah kami atau mungkin juga sering anda ikuti, itu hanya mengajari cara mendengar lawan berbicara. Cara menyimak dan memberi feedback terhadap orang. Training-training ini tidak punya kemampuan untuk mengajari anda cara memahami, menyimak dan berbicara dengan wujud lebih tinggi; dengan Allah dan para malaikatnya.
Training-training motivasi dan kepemimpinan yang disediakan oleh banyak organisasi dan lembaga, itu bagus. Bagus sekali. Tapi hanya sampai pada level “man to man”, “mundane”, horizontal, atau “duniawi”. Tidak sampai ke level “man to God”, “transcendental”, vertikal, atau “ukhrawi”. Kalaupun ada istilah mendengar “suara hati” (God-spot dan sebagainya), itu juga spekulatif sekali.
Dari sisi eternalitas ruhiyah, manusia adalah makhluk ukhrawi. Sekaligus makhluk duniawi, dari sisi kebaharuan materi. Karena itu, sejatinya kita mampu berkomunikasi ke segala dimensi. Mampu berbicara dengan manusia. Juga dapat bercakap-cakap dengan Allah dan para malaikatnya. Itu kalau sisi kemanusiaan kita sempurna aspek lahir dan batinnya.
Hampir seluruh bagian Quran mengungkap bagaimana manusia berdialog dengan para malaikat maupun Tuhan, sejak jaman Adam. Orang terakhir yang diutus ke dunia, Muhammad SAW, juga punya kemampuan yang sama. Artinya, kalau orang terakhir punya keahlian itu, umatnya juga begitu. Karena dari Beliaulah semua metode beragama (berkomunikasi dengan Allah) kita peroleh.
Kenyataannya, kita “terputus” sanad dari kemampuan spiritual. Kecuali komunitas tertentu yang kami temukan masih kuat menjaga metodologi komunikasi transendentalnya. Dan itu adalah para sufi. Tidak semua sufi tentunya. Sebagian sufi justru sudah kehilangan keahlian ini. Apa yang disebut “muraqabah” (metode transmisi gelombang ilahiah) misalnya, itu hanya dipunyai segelintir orang saja -yang gurunya memang benar-benar seorang “wali” (penjaga rahasia Tuhan). Selebihnya hanya tinggal teori, tinggal hafalannya saja.
Islam itu, kalau serius didalami, dahsyat sekali. Anda akan mampu menembus ke segala penjuru “langit” dan “bumi”:
يٰمَعْشَرَ الْجِنِّ وَالْاِنْسِ اِنِ اسْتَطَعْتُمْ اَنْ تَنْفُذُوْا مِنْ اَقْطَارِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ فَانْفُذُوْاۗ لَا تَنْفُذُوْنَ اِلَّا بِسُلْطٰنٍۚ
Wahai golongan jin dan manusia! Jika kamu sanggup menembus penjuru langit dan bumi, maka tembuslah. Kamu tidak akan mampu menembusnya kecuali dengan Sultan (QS. Ar-Rahman: 33).
Lewat teknologi komunikasi standar, anda bisa berbicara dengan orang-orang di kutub utara. Mampu melakukan video call dengan saudara anda dibelahan dunia lainnya. Itu biasa, teknologi material. Pun dengan “teknologi muraqabah” (spritual) dan perangkat-perangkat (kekuatan/sultan) lebih tinggi lainnya, anda bisa tersambung dengan Allah SWT. Kalau ruhani anda sudah diaktivasi oleh pemilik jaringan (seorang guru mursyid yang otoritatif), anda akan mampus mendengar “bisik-bisik” malaikat diberbagai lapisan “langit”, yang notabene adalah Kalam Allah.
Tentu tidak ada yang bisa menyentuh penjuru “langit” (dimensi ayat-ayat ukhrawi) kecuali jiwanya telah disucikan (La yamassuhu illal muthahharun, QS. Waqiah: 79). Sebab, butuh gelombang yang sangat tinggi, murni dan cepat untuk tembus kesana. Proses penyucian jiwa (“mati sebelum mati”) adalah bentuk aplikasi dari teknologi transendental ini. Biasanya disimulasikan dalam madrasah “suluk” (khalwat) yang melewati berbagai proses penempaan wadah dan instalasi ruhani. Dibutuhkan seorang seorang ahli teknologi ruhiyah (waliyammursyida) guna membimbing dan membantu operasikan teknologi ini.
Muhammad SAW, juga semua nabi dan orang-orang sholeh, memahami mekanisme kerja Ruhani. Mereka malah menempuh sekolah khusus di bidang itu. Mereka mengambil spesialis “komunikasi transendental”. Mereka melakukan praktik dalam waktu cukup lama. Pergi ke gunung, masuk ke gua, mengunci diri di mihrab dan kamar-kamar sepi. Berhari-hari. Berbulan-bulan. Bertahun-tahun. Tujuannya untuk memperkuat gelombang dan frekuensi yang super halus ini. Sebuah gelombang yang tidak boleh diinterupsi oleh sinyal-sinyal rendah lainnya.
Proses meng-upgrade perangkat transmisional ilahiyah ini harus fokus sekali. Bahkan harus jauh dari keluarga. Muhammad SAW, Isa as, Musa as, Ibrahim as (semua nabi tentunya) harus menempuh jalan pengasingan diri (uzlah). Dengan cara ikut khizir atau burak. Sampai harus meninggalkan anak istri dalam periode tertentu.
Sampai pada titik tertentu, wadah spiritual mereka menjadi sempurna (kamil). Lalu terbukalah arus informasi langit tanpa henti. Mereka mendengar Tuhan berbicara. Mereka menyimak apa saran nasehat para malaikat-Nya. Antara mereka dengan alam malakut dan Rabbani sudah tidak “berjarak” lagi. Sudah connect. Sudah omnipresence. Sudah monistic. Sudah lebih dekat dari urat leher yang sifatnya material itu.
Pada level pengalaman nubuwwah dan sufistik seperti ini, wadah insaniyah telah terbangun/tercipta secara sempurna untuk menangkap doktrin-doktrin ilahi. Arus “informasi A1” (suci dan mutlak kebenarannya) turun (tanazzul) ke jaringan otak, sel dan saraf mereka. Wahyu/ilham hadir secara aktual dalam seluruh dimensi nafsani. Digambarkan, Allah sudah lebih dekat dari urat lehernya. Manusia sudah “bertajalli”, sudah beririsan dengan unsur-unsur sacred Ilahi. Sudah satu gelombang dengan Allah SWT. Sehingga, apa yang diketahui dan terbisik dihati, itu adalah bisikan dan pengetahuan langsung dari Allah SWT:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهٖ نَفْسُهٗ ۖوَنَحْنُ اَقْرَبُ اِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيْدِ
“Sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh dirinya. Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya”
(QS. Qaf: 16).
Anda, juga saya, belum Islam sebagaimana pola kenabian. Jika kemampuan komunikasi belum tembus sampai ke penjuru langit. Sholat dan ibadah kita pasti levelnya “duniawi” (bumi), tidak naik sampai ke sisi Allah, kalau teknik komunikasi ini tidak kita perbaiki.
Sehingga dikatakan, betapa banyak orang yang sholat, tapi “lalai” (jaringan ruhaniahnya lelet). Tidak ada Cahaya Allah dalam qalbunya. Gelombang hatinya kacau. Dalam ibadah lainnya juga begitu. Betapa banyak yang berpuasa, tapi hanya mendapatkan lapar dan dahaga. Sebab, unsur-unsur ruhaniah yang merupakan wujud absolut dari ibadah, itu tidak terkomunikasikan secara sempurna kepada Allah.
Meniru nabi, harusnya meniru sampai kepada praktik-praktik spiritual terdalam. Praktik-praktik bagaimana menghidupkan sisi batiniah setiap orang agar terkoneksi dengan Tuhan. Karena inti agama adalah “koneksi” (rujuk kembali dengan Allah). Meniru Nabi, itu bukan bermaksud menjadi nabi. Meniru Nabi adalah usaha memperbaiki/menauladani metodologi (tarikat) cara kita berkomunikasi dengan Allah.
Sebab, agama ini “komunikasi”, adab dan tata cara berinteraksi dengan Allah. Ketika infrastruktur spiritual sudah tertata, dimanapun dan dalam bentuk apapun kita beribadah (sambil berdiri, duduk, berbaring, berjalan, berlari, bahkan tidur sekalipun), pasti hadir Allahnya. Sehingga semua menjadi “sunnah” atau berdimensi “hadis”. Setiap perkataan dan tindakan, meskipun bersifat kreatif dan baru, nilainya suci. Karena saat berkomunikasi, kita punya wasilah, memakai frekuensi/gelombang ruhani Rasulullah.
Tuhan itu ada dua. Tuhan yang “hidup”, dan tuhan yang “mati”. Tuhan yang hidup adalah Tuhan yang menjawab ketika diajak berdialog dalam ibadah dan doa. Tuhan yang mati sebaliknya, diam saja dia. Segala sesuatu yang ketika anda ajak untuk akrab tapi tidak ada feedback sama sekali, itulah “berhala”. Tidak membawa manfaat bagi kita. Sebaliknya, meskipun anda berbicara dengan bangunan batu di tengah kota Mekkah, tapi ada suara yang terdengar menjawab dari tempat itu, itulah Allah. Pun kalau anda berada di ruang sunyi, lalu berdoa sambil menutup mata; ketika ada gelombang-gelombang jawaban yang hadir ke dalam diri anda, itulah Allah.
Alam ini sakral, ketika hadir Allah dalam segala sesuatunya. Alam ini adalah Wujudnya, ketika anda menemukan Dia dimana-mana. Kalau anda tidak mengalami itu, maka semuanya adalah “berhala”.
Allah itu Ada. Maha Hidup. Maha Mendengar. Maha Berkata-Kata. Begitu juga kita, dikatakan “hidup” ruhaninya, kalau sudah mampu membangun komunikasi dengan-Nya. Wuquf di Arafah misalnya, itu salah satu momen komunikasi transendental untuk menunggu jawaban-Nya. Yang ruhnya sudah hidup tentu akan mendengar suara-Nya. Selebihnya, yang lain, mungkin akan merasakan itu sebagai ritual biasa.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.
#powered by SUFIMUDA
___________________
SAID MUNIRUDDIN
RECTOR | The Suficademic
YouTube: https://www.youtube.com/c/SaidMuniruddin
Web: saidmuniruddin.com
fb: http://www.facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter & IG: @saidmuniruddin
🌹🌹🌹