Jurnal Suficademic | Artikel No.50 | April 2023
“ALIF LAM MIM”: ITULAH KITAB!
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.
الۤمّۤ ۚ ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيْهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَۙ
Alif Lām Mīm. Itulah Kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya; petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa (QS. Al-Baqarah: 1-2)
Sebenarnya, Alfatihah itu lebih sebagai “executive summary” atau ringkasan dari keseluruhan teks Quran (ummul Quran). Sedangkan ayat pembukanya adalah “Alif Lam Mim”. Alif Lam Mim ini sangat misterius (mutasyabihat). Hanya Allah, dan orang-orang yang diberi pemahaman oleh Allah, yang paham ini. Kalau memahami Alif Lam Mim, Anda akan paham wujud “Kitab” (Quran/Kalam Ilahi/Kalimah) yang sebenarnya. Pada kalimat sederhana Alif Lam Mim terdapat intisari pemahaman dari “Kitab”. Alif Lām Mīm. Dzālikal kitābu lā rayba fīhi hudal lil muttaqīna. “Alif Lam Mim, itulah Kitab…” (QS. Al-Baqarah: 1-2).
Kerancuan Terjemahan
Ada kerancuan dalam menerjemahkan kalimat “dzalikal kitab” pada ayat ke 2 surah Al-Baqarah. Baik Depag RI atau versi Bahasa Indonesia lainnya menerjemahkannya: “Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan di dalamnya; (ia merupakan) petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa“. Terjemahan Yusuf Ali juga begitu: “This is the Book; in it is guidance sure, without doubt, to those who fear Allah“. Saheeh International juga menerjemahkan dengan cara serupa: “This is the Book about which there is no doubt, a guidance for those conscious of Allāh”. Kelihatannya, hampir semua terjemahan Quran, khusus ayat ini, kata dzalika diartikan sebagai “ini”. Padahal, untuk petunjuk arah “ini” dalam makna maskulin (mudzakkar) tunggal, seharusnya digunakan kata “hadza”.
Ada 520 kata terkait petunjuk arah seperti ini dalam Quran (dapat ditelusuri di The Quranic Arabic Corpus). Sementara, kata “dzalika” (ذٰلِكَ) dalam berbagai ayat di Quran diartikan secara konsisten sebagai “itu(lah)” atau “demikian(lah)”. Sebagai contoh:
- Surah Al-Baqarah [2:49], “… Dan pada yang demikian itu (kata asli: “dzaalikum”) merupakan cobaan yang besar dari Tuhanmu.”
- Surah Al-Baqarah [2:52], “Kemudian Kami memaafkan kamu setelah itu (kata asli: “dzaalika”, agar kamu bersyukur.
- Surah Al-Baqarah [2:54], “… Itu (kata asli: “dzaalikum”) lebih baik bagimu di sisi Penciptamu. …”
- Surah Al-Baqarah [2:61], “… Hal itu (kata asli: “dzaalika”) karena mereka mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa hak. Yang demikian itu (kata asli: “dzaalika”) karena mereka durhaka dan melampaui batas.”
- Surah Al-Baqarah [2:64], “… Kemudian setelah itu (kata asli: “dzaalika”) kamu berpaling…”
- Surah Al-Baqarah [2:68], “… pertengahan antara itu (kata asli: “dzaalika”)…”
- Surah Al-Baqarah [2:73] “… Demikianlah (kata asli: “kadzaalika”) Allah menghidupkan yang telah mati”
Seperti ada ketakutan ataupun kebingungan, jika kata “dzalika” pada pembukaan Al-Baqarah diartikan sebagai “itu”. Sebab, jika diartikan sebagai “itu”, maka konsekwensinya adalah meyakini “Alif Lam Mim” sebagai Kitab. Ketika sebuah ayat dimulai dengan Alif lam Mim, lalu dilanjutkan dengan kalimat “itulah Kitab”; otomatis Alif Lam Mim harus diartikan sebagai Kitab. Sementara, tidak ada yang tau persis apa makna Alif Lam Mim. Bahkan ada yang meyakini itu tidak ada arti.
Makna Kitab
Orang-orang secara umum hanya memahami, bahwa “kitab” itu adalah “teks” Quran, “yang ditulis”, sebuah kompilasi tulisan berbentuk “buku”, “dokumen”, “kontrak” atau “perjanjian”. Sehingga, dengan memberi arti “Kitab (Quran) ini”, seolah-olah sedang merujuk kepada sebuah objek yang sangat dekat, kepada keseluruhan buku teks ayat yang ada di tangan, yang sedang Anda baca. Padahal, kata “dzalika” sesungguhnya tidak merujuk kepada sesuatu yang dekat. Melainkan kepada sesuatu yang jauh/berjarak. Kata “dzalika” juga merujuk kepada sesuatu yang baru saja lewat. Artinya, yang dimaksud Kitab bukanlah buku teks Quran yang ada di tangan Anda. Melainkan ada sesuatu yang lain, yaitu Alif Lam Mim yang baru saja Anda baca (sesuatu yang misterius dan hakikat wujudnya memang berjarak dari si pembaca).
Dengan kekeliruan (kerancuan) terjemahan ini, makna tunjuk (dzalika) terhadap Kitab telah berubah. Dari yang seharusnya Alif Lam Mim itulah yang dimaksud sebagai Kitab, menjadi keseluruhan kompilasi buku teks lahiriah Quran yang sedang Anda baca. Para ahli tafsir/penerjemah sepertinya ramai-ramai menghindari menggunakan kata “itulah Kitab” untuk merujuk ke Alif Lam Mim sebagai Kitab. Mereka cenderung membawa makna kitab kepada definisi yang muhkamat (bisa dipahami) saja.
Inilah salah satu problem terjemahan. Makna Kitab yang sejak awal sebenarnya sangat batiniah, telah berubah ke sesuatu yang sangat lahiriah. Padahal, jika konsisten dengan makna “dzalika”, Alif Lam Mim itulah yang disebut Kitab. Bukan buku teks Quran yang ada di tangan Anda. Ketika Wahyu turun, tentu tidak dalam bentuk buku teks. Konon lagi, teks Kitab (ayat/kalimat-kalimat lahiriah) tidak turun secara utuh. Melainkan bertahap. Sehingga perlu dipertanyakan, kemana arah dan maksud dari “Kitab” pada ayat 2 Al-Baqarah?
Maka, menerjemahkan makna “Kitab” (Quran) pada ayat 2 Al-Baqarah sebagai buku teks Quran, itu keliru. Yang benar, Alif Lam Mim itulah Kitab yang “asli”. Nanti akan kita ketahui, Alif Lam Mim adalah Kitab yang hakiki, yang tidak berhuruf dan bersuara; serta penuh mukjizat. Alif lam Mim, sebagaimana isyarah dari kata “dzalika”, adalah Kitab yang memang berjarak dengan kita, kecuali kita telah mampu mensucikan diri untuk dapat menyentuhnya. La yamassuhu illal mutahharun (QS. Al-Waqiah: 79).
Kitab (Quran/Kalam Ilahi) yang asli adalah sesuatu yang berjarak dengan manusia. Hanya orang-orang suci yang dapat menyentuh dan menjadi dekat (qarib) denganya. Quran dalam bentuk buku bisa disentuh oleh siapapun, walau dalam keadaan berhadas sekalipun (jika ia mau). Tapi, yang hakikatnya dalam wujud Alif Lam Mim itu jangan coba-coba. Kalau jiwa belum tersucikan, ia tidak akan pernah bisa dimiliki.
Kitab Hakiki: “Allah-Lauh Mahfudz-Muhammad“
Dalam Quran terdapat sejumlah huruf muqatha’ah, yang terdiri dari satu sampai kombinasi lima huruf. Satu huruf: صۤ, قۤ, نۤ. Dua huruf: حٰمۤ , طٰهٰ, طٰسۤ, يٰسۤ. Tiga huruf: الۤمّۤ, الۤرٰ, طٰسۤمّۤ. Empat huruf: الۤمّۤصۤ. Lima huruf: كۤهٰيٰعۤصۤ. Allah tentu tidak iseng ketika mewahyukan huruf-huruf itu. Quran itu petunjuk, “Kalam” Ilahi. Sebagaimana keterangan dari Imam ibnu Malik dalam kitab Alfiyah, Makna Kalam adalah “lafadz yang punya faedah”. Semua ada makna dan petunjuk. Begitu juga dengan Alif Lam Mim. Hanya saja, bagi para penafsir lahiriah, makna-makna ini susah dimengerti. Bagi umumnya sufi, huruf-huruf simbolik dan penuh makna batiniah itu bisa dipahami.
Guru sufi berkata, “Alif Lam Mim adalah Allah, Lauh Mahfudz dan Muhammad. Itulah Kitab”. Alif adalah Allah. Lam adalah Lauh Mahfudz. Mim adalah Muhammad. Muhammad beberapa kali dalam Quran dipanggil dalam bahasa-bahasa simbolik. Seperti يٰسۤ (Ya Siin, QS. Yasin: 1) dan طٰهٰ (Thaha, QS. Thaha: 1). Selain itu juga sebagai م (bagian dari alif lam mim, QS. Baqarah: 1). Esensi Quran/Kitab di Lauh Mahfud turun kepada Muhammad via Jibril. Karenanya, Lam juga sering disebut sebagai Jibril. Alif lam Mim: Allah, Jibril, Muhammad. Itulah kitab!
Makna asal dari kitāb adalah “kumpulan, himpunan, gabungan atau kesatuan”. Secara lahiriah, dalam wujud baharu, kitāb diartikan sebagai gabungan dari huruf-huruf. Secara batiniah, dalam wujud qadim, kitab adalah gabungan dari tiga esensi: Alif-Lam-Mim. “Allah-Lauh/Jibril-Muhammad”. Kesatuan inilah yang membentuk Kitab dalam wujud dhahir dan batin. “Muhammad itu, dhahirnya adalah nabi; sedangkan batinnya adalah Rabbi”, begitu sebut para mistikus.
Nabi artinya seorang “pembawa berita”. Diambil dari kata naba-a (berita/informasi). Secara lahiriah, Muhammad memberitakan/menginformasikan kepada umatnya apa yang ia terima dari Tuhannya. Semua berita itu disampaikan dalam bahasa manusia di daerah lokal dan zamannya. Semua berita itu juga disebut “Kitab” (Quran/Bacaan), tapi sudah dalam bentuk emanasi “material”. Sudah dalam bentuk kata, huruf atau suara. Pada masa Muhammad SAW, bacaan-bacaan ini ada yang ditulis di media-media sederhana seperti tulang; dan juga dihafal. Belakangan, dimasa Usman bin Affan, semua coba dikompilasi dalam bentuk buku.
Sementara, yang awalnya masuk dalam diri/qalbu Muhammad SAW, bukanlah kalam/wahyu dalam bentuk material huruf dan suara itu. Melainkan gelombang-gelombang esoteris “utusan” Tuhan, yang sifatnya qadim dan maha suci. Yang hadir dalam jiwa Muhammad SAW adalah Esensi Spiritual, Jibril, Ruh, Ruhul Quddus, Wahyu, Nurullah, Cahaya di atas cahaya, Akal Awal atau Qalam ‘Ala (kaum sufi menyebut semua ini sebagai Nur Muhammad). Semua ini merupakan pancaran dari Dzat-Nya. Karena itulah, Muhammad SAW juga disebut “Rasul”. Rasul artinya “utusan”. Sebab, dalam dirinya ada elemen Nur yang “diutus” (beremanasi) dari sisi Tuhan. Ada dimensi “Ketuhanan” yang terpancar dalam diri Muhammad, sehingga ia bisa bicara dan bertindak atas nama Tuhan. Batinnya Nabi adalah Rabbi, karenanya Beliau maksum (suci).
Allah pada awalnya sendiri, tidak dikenal. Lalu Dia beremanasi. Lahirlah “Makhluk Spiritual” dalam wujud Cahaya Pertama (Nur Muhammad). Nur Muhammad inilah bahan baku kejadian alam semesta. Allāhu nūrus-samāwāti wal-arḍi (QS. An-Nur: 35). Nur ini merupakan “Kitab” alam semesta. Nur Allah inilah yang membuat semua yang potensial menjadi aktual. Semua yang batin menjadi nyata. Nur ini pula yang kemudian bersemayam (beremanasi) dalam diri Muhammad SAW. Sehingga Beliau menjadi Penghulu Alam, Wasilah (Nurullah carrier), atau tajalli Allah di alam semesta.
BACA: Nur Muhammad, Variabel Mediator dalam Bermakrifat; Mengenal Malaikat, Usaha Merekonstruksi Iman ke Level Paripurna
Jadi, Muhammad itu adalah nabi (pembawa berita) yang batinnya adalah Rabbi (Ruh/Cahaya). Artinya, ada pertalian antara Muhammad dengan Allah melalui silsilah ruhaniah sang Jibril. Jibril adalah wasilah/buraq (cahaya ruhaniah) yang membawa Muhammad wushul (tersambung) dengan Allah. Alif-lam-Mim adalah kesatuan wujud ruhaniah dari Muhammad, Jibril dan Allah. Inilah yang disebut Kitab. Ingat, makna asal dari kitab dalah “kumpulan, himpunan, gabungan atau kesatuan”. Secara material, kitab adalah kumpulan huruf Alif, Lam dan Mim. Secara esensial, Kitab adalah kesatuan wujud emanasi ruhaniah dari Allah, Jibril dan Muhammad.
Itulah pentingnya shalawat atau bersanad secara ruhaniah kepada Muhammad SAW. Tujuannya adalah untuk membangun pertalian dengan dengan wujud fisik sekaligus ruhaninya. Wujud fisik Muhammad SAW memang sudah tiada (sudah wafat), tapi ruhaninya (entitas kerasulan/Nur Muhammad) abadi. Para imam/walimursyid setelahnya merupakan para pewaris Nur itu. Seperti dikatakan Nabi SAW dalam berbagai redaksi:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا إِنْ أَخَذْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوا كِتَابَ اللَّهِ وَعِتْرَتِي أَهْلَ بَيْتِي
“Kutitipkan kepada kalian dua perkara, yang keduanya ini tidak pernah terpisah sampai kiamat, yaitu Quran yang merupakan tali Allah yang penuh cahaya dan Ahlul Baitku” (HR. Muslim No.2408, Sunan At-Tirmidzi No.3786, Mustadrak Al-hakim No.4577, Musnad Imam Ahmad bin Hambal dan lainnya).
Artinya, yang dititip itu adalah “kitab yang gaib”, Alif-Lam-Mim, Nur Muhammad atau Quran dalam wujud ruhaniah; ke dalam qalbu para warisnya. Kedua unsur ini, antara orang dengan Quran dalam bentuk cahaya, itu menyatu. Karena itu, ulama pewaris nabi pasti orang-orang suci (berakhlakul karimah, berakhlak dengan akhlak Allah), memiliki unsur-unsur gaib dari “al-kitab/al-mahdi” (hudan lil-muttaqin). Karena ada unsur Nurullah ini dalam diri, mereka menjadi sangat dekat dengan Allah. Wa Nahnu aqrabu ilaihi min habl al-warid. “Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” (QS. Qaf: 16). Karena dekat, mereka mampu berkomunikasi dengan Allah.
Siapapun dari umat Muhammad SAW yang mampu menemukan wasilah Nur Muhammad pada diri para pewaris ini, pasti akan menemukan wujud dari Kitab yang hakiki dan merasakan kedekatan dengan Allah (mengalami muraqabah dan pengalaman trance ruhaniah lainnya). Bacaan lahiriah Quran seseorang akan memiliki power ketika tersambung dengan wujud Quran batiniah ini. Tanpa mengalami kesatuan wujud dengan elemen-elemen ruhani yang tinggi, bacaan Quran seperti kabel tanpa arus listrik. Boleh jadi cantik sekali kabelnya, tapi tidak punya Ruh (tidak ada arus). Mushaf/teks/bacaan Quran itu hanyalah material kabel. Baru berpower, “hidup” dan tersambung dengan Allah ketika teraliri arus (terisi oleh Ruh/Nur Muhammad). Kalau ini terjadi, iblis dan setan akan lari. Kekuatan Quran pada level ini bisa menyembuhkan, menghidupkan dan sebagainya.
Itulah para nabi, Muhammad SAW dan ahli warisnya. Mereka adalah makhluk-makhluk suci, wujud nyata dari Kalam Ilahi. Karena, dalam dirinya ada unsur-unsur mukjizati dari elemen Ruhani (Jibril), yang merupakan emanasi dari Dzat Allah. Muhammad SAW, sebagaimana para nabi terdahulu, merupakan Logos, Firman, Ruhullah, Ayatullah, Kalimah ataupun Kalamullah. Semuanya adalah Kitab dalam dimensi tertinggi. Jiwa mereka adalah Kitab Suci, kumpulan pengetahuan Ilahi.
Kalimat Vs. Kalimah
Dari catatan di atas, kita bisa menyimpulkan. Quran memiliki dua wujud. Wujud pertama sebagai “kalimat”. Ini wujud rendah dari Quran. Kalimat adalah kumpulan huruf yang dapat dibunyikan dalam bentuk lagu dan irama. Ada fasahah dan tajwidnya. Semua ayat Quran adalah kalimat. Contoh kalimat lainnya adalah kalimat tauhid. Kalimat ini merupakan gabungan sejumlah huruf yang membentuk tulisan “La ilaha illa Allah”. Itu juga hanya tulisan dan bacaan pada dimensi materi. bendera ISIS juga memiliki tulisan ini. Tidak ada mukjizat apapun setelah Anda mengibarkannya. Kecuali Anda memiliki wasilah untuk tersambung dengan wujud batiniah dari huruf-huruf ini.
Elemen-elemen batiniah inilah yang disebut “Kalimah”. Kalimah adalah arus hidup, jaringan energi Ilahi, gelombang jiwa yang murni, elemen-elemen malakut dari Jibril. Arus energi inilah wujud azali dari Quran yang tanazzul (turun) dalam jiwa Muhammad SAW pada malam qadar. Disebut qadar, artinya “power” (kekuatan). Quran dalam bentuk teks tidak berpower. Sifatnya “mati” (berwujud tinta dan kertas). Hanya Quran yang asli yang hidup dan berpower (karena berupa wujud ruh gaib alam malakut). Kita pun semuanya sebenarnya mati. Karena ada jiwa yang gaib, kita menjadi berkesadaran dan hidup. Mushaf Quran juga begitu, “makhluk mati”. Kecuali kita mampu menemukan Ruh gaibnya pada saat membaca dan menghafal itu semua.
Karena itulah, setelah berbicara tetang Alif-Lam-Mim sebagai Kitab, ayat selanjutnya dari Al-Baqarah juga menekankan kembali tentang alam gaib. “Al-lażīna yu’minūna bil-gaibi…” (QS. Al-Baqarah: 3). Semua wujud/ontologi tertinggi yang menjadi rukun keimanan, itu sifatnya gaib. Allah, malaikat, kitab, rasul, hari akhir, taqdir; semuanya gaib. Kita disuruh percaya dan diminta mampu membuktikan/terhubung dengan semua wujud gaib itu. Baru setelah itu, gerak amal dan ibadah keislaman kita menjadi sempurna. Mereka yang yakin dan paham dengan elemen-elemen gaib ini berpotensi menjadi orang yang bertaqwa (lā raiba fīhi, hudal lil-muttaqīna). (BACA: Filosofi Sufistik rukun Iman dan Relasinya dengan Rukun Islam).
Penutup
Quran itu unik. Setelah surah Fatihah, ayat pertama setelah itu (Al-Baqarah: 1) langsung dimulai dengan kalimat yang membingungkan semua orang “Alif-Lam Mim“. Begitu bingungnya, sampai-sampai diberi footnote: “Hanya Allah yang tau”. Padahal, Quran itu petunjuk. Seandainya sejak ayat pertama kita sudah paham apa makna dari “Kitab”, kita akan memahami hakikat dari Quran. Sejak dini Allah telah memberi petunjuk yang sangat simbolik, Kitab itu sifatnya gaib.
Kitab adalah Allah itu sendiri (Alif), yang beremanasi dalam wujud Ruh (Lam) dan menjelma dalam rupa para Wali/Nabi-Nya (Mim). Muhammad SAW dengan segala unsur ruhaninya, itulah sosok maskulin (dzalika) dari Kitab. Ruhani kita juga begitu, jika tergabung (bersanad) dengan Rasulullah/Wali Allah, akan menjadi lembaran-lembaran Kitab.
Kitab adalah Kalimah Allah, kesatuan wujud dari huruf/kata: Alif-Lam-Mim. Alif Lam Mim adalah lafadz kalimat, sekaligus Kalimah yang sempurna. Alif adalah “isim” Absolut yang tidak terikat dengan waktu (Allah). Lam adalah “fi’il”-nya Allah, Jibril/Ruh, rasul, atau amar-nya Allah yang telah diutus pada masa lampau (madhi), sekarang dan akan datang (mudhari’). Sedangkan Mim adalah “harf” (huruf/tugas) yang tidak punya makna jika tidak disandingkan dengan kedua elemen sebelumnya. Itulah Muhammad, manusia biasa “basyar”, yang tidak bermakna hidupnya di dunia (tidak akan pernah menjadi petugas Allah) jika tidak menyerap Asma/Ruh Allah. Kita semua juga sosok yang sama seperti Muhammad/Adam, yang tidak berguna dan tidak akan pernah sempurna bertugas menjadi khalifah-Nya; jika jiwa rendah kita tidak pernah terhubung dengan elemen Ruh yang lebih tinggi (Asma Allah).
BACA: Quran itu Orang, Bukan Kertas
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.
#powered by SUFIMUDA
___________________
FOLLOW US:
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok: tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter: twitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2
3 thoughts on ““ALIF LAM MIM”: ITULAH KITAB!”