Jurnal Suficademic | Artikel No.72 | Juni 2023
YUSUF DAN ZULAIKHA, SYAIR CINTA ANTARA MEULABOH DAN KUTARAJA
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. “Yusuf dan Zulaikha, Syair Cinta antara Meulaboh dan Kutaraja”. Ini tagline perjalanan kami dari Banda Aceh (Kutaraja) ke Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat pada Selasa, 14/06/2023.
Sepanjang perjalanan, baik saat pergi dan pulang, agar tidak terlalu suntuk; saya bersama istri mencoba mengapresiasi lagu-lagu, yang kami rasa cocok untuk dinyanyikan bersama. Lalu kami rekam, sebagai dokumen “bahagia”.
Hukum Bernyanyi
Bernyanyi. Mungkin bid’ah untuk kalangan tertentu. Untuk kami, kali ini hukumnya “wajib.” Wajib nyanyi, biar suasananya beda. Manusia, kalau kurang hiburan, bisa gila. Bisa sakit jiwanya. Bahkan mengaji pun sampai dibuat ada iramanya.
Sholawatan penting. Menyanyi juga perlu. Bagi yang suka. Karena itu, kaum sufi suka menari dan bernyanyi. Perdebatan tentang musik sudah lama ada dalam dunia Islam. Ada yang pro, ada yang kontra. Sejauh dibawa untuk memperkaya “rasa” akan kehadiran-Nya, atau paling tidak untuk memperhalus gelombang kesadaran jiwa, musik itu besar manfaatnya. Bahkan gara-gara ini, kami pernah menggagas ide “Diskotik Islami” dan lainnya.
BACA: “DISKOTIK ISLAMI”; “SUFI, BERAGAMA DENGAN SENI”; “SUFI, HALAL HARAM SENI DAN KEHADIRAN TUHAN”
Singkat cerita, ada Elvis Presley yang menemani kami menelusuri jalan mulus di pantai barat Aceh yang sangat indah itu. “Always on my mind”, merupakan salah satu tembang lawas yang pernah ia populerkan tahun 70an, berulang kali kami putar. Lagi ini, seolah-olah menjadi permintaan maaf saya kepada istri, yang mungkin sering abai. Lebih jauh lagi, ketika dibawa ke dimensi lebih tinggi, ini menjadi semacam “istighfar” karena lalai, tidak patuh dan sering melupakan Allah.
Maybe I didn’t treat you//Quite as good as I should//Maybe I didn’t love you//Quite as often as I could//Little things I should have said and done//I never took the time//You were always on my mind//You were always on my mind//
Ada juga “Save the Last Dance for Me”, lagu tahun 60an, yang diasah kembali oleh Michael Bublé. Pada level cinta ilahi, liriknya memberi pesan, bahwa boleh saja anda menari dan terikat dengan siapapun di dunia ini. Tapi jangan lupakan Tuhan, Rasul atau Gurumu, yang akan membawamu pulang. Sisakan hatimu dan tarian terakhir, hanya untuk-Nya.
Now you can dance//Every dance with the guy//Who gives you the eye//Let him hold you tight//And you can smile//Every smile for the man//Who held your hand beneath the pale moon light//But don’t forget who’s takin’ you home//And in whose arms you’re gonna be//So darling, save the last dance for me//
Tak ketinggalan Sia lewat “Unstoppable”-nya; yang terus memompa semangat kami untuk mengemudi selama 5 jam ke tujuan. Agak santai memang. Karena, dua anak kami, Sayyid Ahmad dan Syarifah Fathimah ikut serta.
I put my armor on//to show you how strong I am//I put my armor on//I’ll show you that I am//I’m unstoppable//I’m a Porsche with no brakes//I’m invincible//Yeah, I win every single game//I’m so powerful//I don’t need batteries to play//I’m so confident//Yeah, I’m unstoppable today//
Orasi Ilmiah
Malam Rabu, selama hampir 30 menit, sebagai keynote speaker, kami menyampaikan topik “Spiritual Leadership” dihadapan ratusan audien dari berbagai kalangan. Ada unsur Forkopimda Aceh Barat, Anggota DPRK, Kapolres, Dandim, Rektor STAI Dirundeng, para dosen, birokrat, ICMI, pengusaha dan juga kader-kader mahasiswa Islam dari Universitas Teuku Umar (UTU) dan sekolah tinggi lainnya. Juga hadir sejumlah tamu dari Banda Aceh dan Jakarta. Kami berbicara di awal. Ada seremoni lain setelah itu. Acara berlangsung cukup lama. Baru selesai jam 12 malam.
Kami berterima kasih kepada adik-adik dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Meulaboh yang telah mengundang untuk menyampaikan orasi tentang kepemimpinan dalam perspektif sufisme “iman-ilmu-amal”. Respek kami kepada Kak Dasni Husin, bang Bakhtiar, kak Vivi, kak Eci, kak Marlina serta para Presidium KAHMI dan Forhati Aceh Barat lainnya; yang telah memfasilitasi kami minum “Kopi Khop” selama disana.
Menyintas Jarak dan Waktu
Dalam perjalanan pulang, kami singgah di Kaki Gunung Kulu. Ada restoran “Kuah Chu”, favorit para traveler. Setelah makan malam, kami berangkat pulang. Istri sempat memvideokan suasana resto itu. Kami sempat memperhatikan, jam menunjukkan pukul 20.20 Wib. Saya berlahan menekan gas. Santai memang. Kecepatan mobil sejak awal hanya berkisar 50-60 km/jam.
Awalnya muncul perasaan malas untuk menempuh jalan berkelok di dua gunung yang sudah menunggu: Kulu dan Paro. Saya pasrah saja. Ini lap terakhir menuju kota Banda Aceh. “Bismillahirrahmanirahim“. Saya membaca sebuah ayat. Sudah jarang saya baca ayat itu saat menempuh perjalanan. Kali ini saya baca kembali, sambil mengharapkan syafaat-Nya. Berharap cepat sampai di tujuan, tanpa halangan.
Pendakian Kulu dimulai. Saya teringat, bagaimana kami melewati beberapa kelokan patah yang ada di awal tanjakan. Tapi, hanya beberapa menit kemudian, suasana terasa begitu hening. Anak-anak yang tadi ribut, terlihat tiba-tiba sudah tertidur. Saya mulai curiga, dan sempat melihat ke sisi kiri dan kanan jalan. Suasananya agak beda. Ini bukan Gunung Kulu lagi. Ini sudah masuk jalanan turun di Gunung setelahnya, Paro!
Saya bertanya ke istri, “Dek, ini sudah di turunan Gunung Paro. Perasaan, kita baru saja beberapa menit mendaki Gunung Kulu. Bahkan kita belum turun Kulu, juga belum lewat perkampungan Kulu, yang terletak diantara kedua gunung tersebut”.
Istri saya terdiam. Dia juga menyadari suasana berbeda. “Iya Waled, biasanya setelah naik gunung Kulu, kita akan turun dan melewati desa. Baru kemudian naik lagi ke gunung Paro. Ini tidak terlihat sama sekali kita menuruni Kulu dan perkampungan itu. Bahkan, naik ke gunung Paro pun sebenarnya belum”.
Kami sempat saling lirik, senyum-senyum, lalu diam. Sambil sesekali bersholawat dan beristighfar. Kami menyadari, sesekali Tuhan suka iseng. Dia terkadang menyiapkan jalur unik untuk kita tempuh. Terkadang jarak yang kita tempuh, itu diperpendek. Ada lokasi yang “dilipat”, sehingga kita tidak diizinkan melewati wilayah tersebut. Melalui “celah” tertentu, kita dibuat tembus ke tempat lain. Kita tidak tau apa rahasianya. Boleh jadi, kali ini Dia memangkas jarak, agar kita tidak melewati jalur yang kemungkinan bisa membahayakan. Wallahu ‘alam.
Mobil terus melaju turun. Beberapa saat kemudian, kami sudah tiba di Lhok Seudu, Aceh Besar. Saya minta istri untuk melihat jam. Ternyata baru pukul 20.30 wib. Artinya, hanya dalam 10 menit, atau mungkin kurang dari itu, dalam kecepatan santai, kami sudah melewati kedua gunung itu. Normalnya, itu ditempuh dalam waktu 30 menit atau lebih. Jika macet dan dipenuhi truk, bisa lebih lama dari itu.
Ini bukan pengalaman pertama seperti itu. Beberapa kali sebelumnya juga terjadi hal serupa, dalam model berbeda. Dari beberapa kejadian, kami memahami fenomena perjalanan dalam tiga bentuk. Pertama, lokasi yang “dilipat”, seperti kasus di atas. Kedua, waktu yang “ditahan”. Ketiga, perjalanan yang “dipercepat”.
Untuk kasus kedua, waktu yang “ditahan”, terjadi pada perjalanan dari Banda Aceh ke Blang Pidie, yang tiba hanya dalam waktu 5 jam. Itu sudah termasuk dua jam istirahat di jalan, untuk makan pagi di Krueng Sabe dan ngopi di Simpang Empat Nagan. Artinya, waktu tempuh hanya 3 jam. That is impossible! Normalnya, untuk jarak 365 km, butuh sekitar 7-8 jam perjalanan. Untuk kasus ini, kami merasakan, waktunya “ditahan”. Sementara, kita terus bergerak. Matahari pagi seperti tidak beranjak naik. Tiba di tujuan pukul 11 menjelang siang. Padahal, berangkatnya pagi, jam 6.
Ada juga kasus perjalanan yang “dipercepat”. Mirip nonton video dengan mode fastforward. Semua tempat kita lalui. Jam pun berjalan normal. Tapi gerak perjalanan kita seperti “sangat cepat”. Waktu itu berangkat dari Sigli, pukul 6 menjelang magrib. Dalam waktu hanya 1 jam, sudah tiba di Banda Aceh, pas waktu magrib. Padahal, sore itu, jalanan cukup padat. Sore hari memang waktu-waktu padat di jalur nasional itu. Jika padat, normal waktu tempuh bisa mencapai 3 jam. Tetapi jalanan seperti “dibuka”, sehingga kita bisa melaju pada celah jalan itu. Seperti ada foreijder yang membimbing di depan. Seperti ada kekuatan yang menggerakkan mobil, tanpa hambatan.
Agama Dinamis dan Agama Statis
Mungkin Anda juga pernah mengalami hal serupa. Justru yang unik, ketika Anda sering mengalami hal seperti itu. Kami sempat menuliskan pengalaman-pengalaman ajaib para murid di sebuah camp zikir di Aceh, dalam buku berjudul, “Karamah Auliya: Pengalaman Spiritual Para Murid di Dayah Sufimuda” (2019). Mukjizat, karamah dan berbagai keajaiban; bukanlah sesuatu yang dicari. Itu hanyalah sebuah “kondisi” yang biasanya dialami para salik ketika menempuh perjalanan spiritual. Ketika zikir hidup, ada sisi dunia lainnya yang ikut aktif.
Dalam hal ini, agama ada dua jenis. Pertama, agama “statik”. Agama statik adalah agama dan ritual yang sifatnya “jalan di tempat”. Rigid, rutin dan kaku. Tidak ada mukjizat dan keajaiban apapun. Semua serba rasional. Bagus, tapi membosankan. Begitu-begitu saja. Tidak ada pengalaman baru.
Kedua, agama “dinamik”. Ini merupakan agama yang penuh hal ihwal. Sepanjang jalan, Allah akan memperlihatkan berbagai “tanda” yang bersifat suprarasional,.sebagai bukti kekuasaan-Nya. Pengalaman ini biasanya ditemukan oleh para “pejalan” (salik) yang melakukan mikraj ruhani dari satu makam ke makam lainnya.
Karena itulah; mukjizat, karamah atau fenomena spiritual menjadi hal yang biasa dijumpai dalam kehidupan para nabi dan sufi. Di dunia ruhiyah, mekanisme kehidupan supra-sadar (supra-conscious) berjalan cukup dinamis. Dalam dunia ini, Anda akan merasakan hidup dalam qudrah iradah sebuah kekuatan Yang Maha Besar. Kehadiran Tuhan dirasakan begitu nyata.
Penutup
Yusuf dan Zulaikha akhirnya tiba di Banda Aceh. Tidak ada lagi cerita tentang keajaiban. Tidak ada lagi musik dan lagu untuk dibuat rekaman. Selanjutnya mereka kembali mengatur strategi untuk menjalani hari-hari penuh tantangan. Tidak perlu berharap banyak mukjizat. Harapan kami, semoga kita semua hidup dalam keadaan damai. Bisa rukun dan bahagia, itupun sudah menjadi sebuah keajaiban terbesar dalam sebuah keluarga. Karena itu, dalam hidup ini, kelihatannya kita perlu syair-syair cinta untuk dinyanyikan bersama. Mungkin, syair-syair ini dapat membuat Anda bersama pasangan mampu menembusi berbagai ruang dan waktu. Lalu dengan itu Anda dapat merasakan kehadiran-Nya.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.
#powered by SUFIMUDA
___________________
FOLLOW US:
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok: tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter: twitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2
Aamiin.
Terima kasih.
Subhanallah