Jurnal Suficademic | Artikel No.81 | Juli 2023
“AHLULLAH”
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. “Ahlullah”, artinya “keluarga Allah”. Adalah sebuah istilah dalam Islam yang menggambarkan kedekatan seseorang dengan Allah.
Sebagaimana halnya dalam terminologi sosiologis. Ada perbedaan antara “keluarga”, “tetangga”, atau “masyarakat umum” lainnya. Masing-masing menunjukkan level hubungan atau kekerabatan. Istilah “keluarga” menggambarkan pertalian darah yang sangat kuat. Ada genetik kita pada mereka. Keluarga adalah teman bicara utama. Orang dalam. Kelompok paling dicintai oleh seseorang adalah anggota keluarganya.
Karena itu; Ahlullah merujuk kepada para nabi, wali, dan orang-orang shaleh lainnya yang menjadi “teman” diskusi Allah SWT. Ada “DNA” Allah dalam diri mereka. Ada Ruh Ilahi yang mengalir dalam darah mereka. Istilah lain untuk Ahlullah adalah “khalilullah”, “kalamullah”, “ruhullah”, “habibullah”, dan hamba pilihan sejenisnya.
Ahlullah merupakan gelar dan pangkat esoteris seseorang. Melalui mujahadah yang panjang, orang-orang semacam ini telah mampu menembusi materialitas diri, untuk berada di “langit” kesadaran Ilahi. Pusat mentalitasnya telah berada di qalbu. Qalbu merupakan wilayah kehadiran Ilahi (divine consciousness).
Tidak semua orang mampu menerima “amanat” kehadiran Ilahi (The Divine-Self). “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya, lalu dipikullah amanat itu oleh manusia” (QS. Al-Ahzab: 72). Hanya qalbu mukmin yang tenang yang mampu menampung gelombang dari Wujud-Nya ini. “Tidak dapat memuat dzat-Ku bumi dan langit-Ku, kecuali hati hamba-Ku yang mukmin lunak dan tenang” (HR. Abu Dawud).
Ahlullah adalah orang-orang yang telah punya kemampuan bercakap-cakap secara akrab dengan Allah. Allah telah bertajalli, hadir dalam dirinya. Dia sangat mengenal dan dikenal oleh Allah. Dia telah menjadi orang pertama sebagai tempat atau wadah Tuhan menumpahkan Kalam-Nya. Karena itu pula Dia sebut sebagai “Ahlul Quran”. Ada Kalam Ilahi (wahyu/ilham) yang senantiasa “turun” (tanazzul) kepadanya. “Tanazzalul malaa-ikatu war-Ruuh” (QS. Al-Qadar: 4). Kekuatan Ruh dan malakut dari Quran, itu “hidup” dalam dirinya. Dia berpikir, berbicara dan bergerak dengan itu.
Sebagaimana diriwayatkan dari Anas RA. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah itu mempunyai keluarga yang terdiri dari manusia.”Lalu Rasulullah saw. Ditanya: “Siapakah mereka itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “yaitu Ahlul Qur’an (orang yang dalam jiwanya ada gelombang Kalam Tuhan). Mereka adalah keluarga Allah dan orang-orang yang istimewa bagi Allah” (HR. Ahmad ). Jadi, Ahlullah bukan sekedar orang-orang yang mampu menghafal Quran dengan kecerdasan IQ. Melainkan ada Kalam yang hidup dan senantiasa berbicara pada sisi spiritualnya. Hakikat ilmu bukanlah sesuatu yang menempel di otak. Melainkan apa yang mengalir dalam gerak subtansial dari jiwa. Ahlullah itu kecerdasannya beyond texts. Allah telah hadir dalam dirinya. Dia justru telah mampu menjangkau esensi “suci” dari batin Quran.
Untuk menjadi Ahlullah, kesucian jiwa menjadi sebuah keniscayaan. Tidak mungkin Allah yang Maha Suci bisa didekati oleh jiwa-jiwa yang tidak suci. Menjadi Ahlullah harus melalui tadzkiyatun nafs. “Tidak ada yang dapat menggapai martabat ini kecuali orang-orang yang telah disucikan” (QS. Al-Waqi’ah: 79).
Merujuk kepada “Al-Asfar al-Arba’ah” karya Mulla Sadra (1572-1641 M), Ahlullah adalah orang-orang yang telah berjalan “dalam” Allah, atau telah tenggelam dalam samudera makrifatullah. Atau selanjutnya, telah menjadi “khalifah-Nya”. Telah berjalan di tengah makhluk dan mampu mengelola makhluk, dengan membawa serta “kehadiran” Allah.
Ahlullah adalah “Ahlul Baitullah”, Ahlul Bait-nya Allah. Yaitu, orang-orang yang hidup dalam “Rumah Allah”. Mereka adalah pemegang kunci “Rumah Allah”. Pemegang “kunci” syurganya Allah. Dalam artian, mereka punya otoritas dari Allah untuk memberi syafaat atau rahmat kepada orang-orang yang mereka kehendaki. “Tidak ada yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya kecuali mereka yang telah mendapat izin-Nya” (QS. Al-Baqarah: 225). Dalam ayat lain disebutkan, “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan rahmat bagi semesta alam” (QS. Al-Anbiya: 107).
Karenanya, Ahlullah adalah orang-orang yang pantas di ingat, dipuji dan di shalawati dan di ziarahi. Mereka adalah “tali Allah” di muka bumi. Dengan memegang dan patuh kepada ajaran mereka, berarti otomatis akan memiliki pertalian kepada Allah. Jika di langit ada Allah, di bumi ada mereka sebagai pengemban otoritas-Nya. Mereka adalah wujud zhuhur di bumi, dari kegaiban Allah di “langit” sana. Ada Allah bersama mereka. Ada Kalam Allah pada lisan mereka. Ada Kebesaran Allah pada setiap tindak tanduk mereka. Ada Kekuasaan Allah pada wujud mereka.
Maka, berbuat baiklah kepada mereka. Mengerjakan amal shaleh kepada mereka menjadi “moderating variabel”, penguat hubungan seseorang dengan Allah. Kalau ingin bertemu Allah, jumpai mereka. Mereka adalah “pintu masuk” kepada Allah. Karena itu dikatakan, “Makrifat adalah mengenal para imam (red. Ahlullah) pada setiap masa” (hadis).
Allah itu ada. Tapi “gaib”, “jauh”, “tidak serupa dengan apapun”. Semua ini menunjukkan atribut ketuhanan yang secara esensial pada wujud Ahadiyah sulit dijangkau. Tapi, jika seseorang bisa memperoleh frekuensi keberadaan-Nya dari para “pewaris Allah”, tentu Allah menjadi mudah untuk diakses. Allah mewariskan bumi kepada orang-orang shaleh. Mereka adalah waris, wali, wakil atau khalifah-Nya di bumi. “Dan sungguh, telah Kami tulis di dalam Zabur setelah di dalam Az-Zikr, bahwa bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang shaleh” (QS. Al-Anbiya: 105).
Ahlullah adalah wasilah (“mediating variabel”) untuk memungkinkan terjadinya hubungan “langsung” antara seorang hamba dengan Allah. Karena itu, tidak perlu susah payah mencari Allah. Carilah Ahlullah. Carilah “Rasulullah” (QS. At-Taubah: 128-129). Carilah para pewaris “Nur” Allah. Qalbu mereka adalah Baitul Makmur, ‘Arasy atau “Baitullah”; tempat bersemayamnya rahasia Allah.
BACA: NUR (MUHAMMAD): “VARIABEL MEDIATOR” DALAM BERMAKRIFAT
Ahlullah adalah “kiblat” bagi manusia yang secara ruhaniah ingin ruju’ atau wushul dengan Allah. Setiap umat ada “qiblat”-nya. “Dan setiap umat mempunyai kiblat yang dia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan. Di mana saja kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu semuanya. Sungguh, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu” (QS. Al Baqarah: 148). Setiap zaman ada sosok Ahlullah; ada nabi, imam atau walimursyid yang wajah karamahnya menjadi alat “teropong bidik” atau “titik fokus” (rabithah) bagi umatnya dalam menempuh arah yang pasti (Haqq), untuk menuju Allah.
Kesimpulan
Rasulullah bersabda, “Janganlah kalian bershalawat kepadaku dengan shalawat buntung.” Para sahabat bertanya, “Bagaimana shalawat yang buntung itu?”. Nabi menjawab, “Kalian bershalawat kepadaku tetapi tidak kepada Keluargaku” (HR. Bukhari dan Muslim). Apa maknanya?
Maknanya begini. Beragama jangan “buntung”. Jangan cuma mengikuti Rasulullah saja. Dia punya Keluarga dan waris sebagai jalan untuk diikuti. Pada level lebih tinggi, kita jangan cuma menyembah dan memuji Allah semata. Allah juga punya Keluarga dan waris untuk kita ikuti. Para wali dan ulama-ulama shaleh di muka bumi merupakan Ahlullah, para pewaris Cahaya Allah. Tali Rasulullah. Jalan yang membawa kita untuk sampai kepada Allah.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.
#powered by SUFIMUDA
___________________
FOLLOW US:
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok: tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter: twitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2
Terima kasih.