Jurnal Suficademic | Artikel No. 87 | Juli 2023
SPIRITUAL CHECK-UP
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Penyakit yang kita alami menyerang, tidak hanya dimensi lahir. Tapi juga batin. Hanya saja, hampir semua orang tau, jika dirinya secara lahir ada penyakit tertentu. Ada tanda-tanda atau gejala yang muncul pada tubuh yang bisa diketahui secara pasti.
Sementara, hampir semua orang tidak tau, apakah secara batiniah dirinya berpenyakit atau tidak. Sebab, kemunculan penyakit spiritual tidak dipahami secara mudah. Bahkan banyak yang merasa dirinya sehat-sehat saja secara spiritual. Padahal tidak. Kecuali beberapa orang yang sudah punya keahlian, mampu mendeteksi dan melakukan check-up untuk itu.
Karena kita masih berdimensi sebagai “makhluk material”, hanya penyakit klinis saja yang terdeteksi. Sedangkan penyakit ruhani belum. Kecuali seseorang mau melatih dirinya untuk memiliki kemampuan itu. Ada cara untuk menjadi “makhluk spiritual”. Sehingga bisa memahami gejala-gejala pengembangan, atau sebaliknya, kemunduran spiritual.
Penyakit itu ‘Alami’
Penyakit adalah sesuatu yang tidak terhindarkan. Karena ia muncul secara ‘alami’. Makna alami disini adalah, Anda berusaha secara maksimal untuk menghindari penyakit. Tapi, tiba-tiba, sudah kena penyakit. Tidak ada orang di dunia ini yang sengaja mencari penyakit. Berpenyakit itu tidak enak.
Penyakit muncul dari “interaksi” kita dengan alam dan lingkungan sosial. Apakah dengan cuaca. Dengan orang. Dengan makanan. Dengan pekerjaan. Dengan kebiasaan, dan sebagainya.
Kehidupan kita sehari-hari berpotensi untuk “mengumpulkan” penyakit. Lama-lama, pada titik tertentu, tanpa kita sadari, sudah sakit kita. Apa yang kita makan dan kita kerjakan; pada kadar tertentu akan mendatangkan penyakit.
Kita kira, makan itu sehat. Memang, kita sengaja makan dengan tujuan untuk tetap hidup. Untuk bisa terus beribadah, dan sebagainya. Ternyata, perut sumber penyakit. Gara-gara makanan kita sakit. Bahkan, makanan pokok kita, seperti nasi, menjadi biang penyakit. Usia 40 ke atas misalnya, jika makan nasi masih dalam porsi sama banyaknya ketika usia muda, bisa naik gula. Bisa tumbang kita.
Ternyata, hal baik yang kita kerjakan, seperti makan, juga membawa penyakit. Kecuali kita tau cara makan yang baik. Tapi sedikit yang tau dan bisa mengontrol diri. Tidak banyak orang yang mengerti dan bisa mengukur kadar makanan yang seharusnya diasup. Sedikit yang sadar dan paham, kapan harus makan dan kapan harus berhenti. Sedikit yang punya ilmu, makanan apa yang persisnya harus dimakan dan harus dihindari.
Itu baru pada dimensi “fisik”. Sudah dikontrol. Konon lagi pada dimensi spiritual. Lebih susah lagi untuk memahami apa yang sedang terjadi. Ada orang yang rutin check-up kondisi kesehatan badan. Tapi, berapa yang sudah pernah melakukan check-up kesehatan spiritualnya?
Konon, sudah seumur hidup belum pernah kita lakukan itu. Sudah berapa besar penyakit spiritualnya itu? Makanya tidak heran, peningkatan ibadah, tidak selalu membuat hati menjadi tenang. Naik haji belum tentu mabrur. Shalat tidak membuat perilaku jadi luhur. Semakin tua, makin susah hidup kita. Makin kaya, semakin gelisah. Semua ibadah dan tindakan kita telah berkembang menjadi penyakit.
Semakin Beribadah, Semakin Berpenyakit
Orang mengira, dengan shalat bisa sehat jiwanya. Tidak, justru terkadang disitulah terkena penyakit. Tidak semua jenis shalat, itu sehat. Shalat yang lalai, gagal khusyuk (riya’), itu mengandung penyakit. Orang mengira, dengan mendengar ceramah seorang ustadz, menjadi sehat spiritualnya. Tidak, justru disitulah banyak orang diserang penyakit. Tidak semua tausiyah agama, walau dibungkus hadis dan ayat, itu isinya sehat. Terkadang penuh motif.
Orang mengira; dengan puasa, bersedekah, mengaji, naik haji, dan sebagainya; spiritualnya akan tinggi. Tidak. Semua ibadah punya latent penyakit. Spiritual kita melemah, bukan hanya disebabkan kurangnya ibadah. Tapi juga karena kebanyakan ibadah, tapi berpenyakit. Sama seperti orang yang rutin dan banyak makan, tapi berpenyakit.
Orang mengira; dengan membaca, berdiskusi dan melakukan berbagai ragam aktifitas intelektual; jiwa dan pikirannya akan sehat. Tidak. Kita bisa saja mendownload banyak ilmu dan info. Tapi kita tidak sadar. Ada “junk files” yang selalu menyertai semua berita yang kita terima. Jika sistem spiritual kita tidak punya mekanisme yang robust untuk secara reguler men-delete informasi-informasi sampah yang melekat di alam bawah sadar ini, jiwa kita akan berpenyakit. Banyaknya informasi yang masuk, membuat orang cerdas, sekaligus berpenyakit.
Karenanya, penyakit orang beragama terkadang cukup mengerikan. Setan yang masuk dalam tubuh agamawan dan ilmuan, itu besar-besar. Belum pernah kita lihat orang berjenggot, hafal Quran dan hadis, tapi jadi penjagal kepala manusia; semacam ISIS. Tauhidnya ketinggian. Shalat malam tidak pernah ketinggalan. Kecuali dirinya, semua dianggap kafir.
Anda tau iblis itu apa? Iblis itu “orang berilmu”, “orang yang rajin beribadah”, “orang yang banyak hafal ayat”. Tapi bersetan. Angkuh. Riya. Sombong. Suka menuduh orang lain rendah, bid’ah, dan sesat. Setan tidak selalu masuk ke perbuatan haram, ke tubuh orang-orang bodoh dan jahat. Tapi juga masuk ke hal-hal yang kita anggap baik, ke dalam aliran darah orang-orang terdidik dan beragama.
Karenanya, sulit kita cegah masuknya unsur-unsur iblis dan setan ke dalam diri. Kecuali orang-orang yang “ikhlas” dalam amal perbuatannya. Ikhlas itu bukan ilmu akal dan perasaan, seperti yang selama ini kita pahami. Melainkan ilmu ruh. Ikhlas itu “ilmu kehadiran” (ilmu mukasyafah). Orang ikhlas memang benar-benar bisa merasakan kehadiran Allah, dalam berbagai isyarah spiritual dan ketersingkapan ruhani. Ilmu kehadiran (hudhuri) dan filter ruhani (muraqabah) biasanya diperoleh seorang mistikus setelah beberapa waktu melakukan khalwat (an intense spiritual observation). Tapi harus dibimbing oleh seorang supervisor yang waliyammursyida (QS. Al-Kahfi: 17).
BACA: TUJUH LANGKAH MENJADI MISTIKUS
Detektor Penyakit
Pada dimensi lahiriah, kehadiran penyakit itu ada “tanda-tanda”, yang bisa diketahui secara pasti. Bisa Anda rasakan sendiri. Ada indikatornya. Misalnya demam. Lelah. Nyeri pada bagian tertentu. Sulit bernafas. Penurunan berat badan, dan lainnya. Itu indikasi bahwa ada organ yang sedang diserang oleh “makhluk halus” (virus, kuman, dan lainnya). Jika tidak segera ditangani dan disembuhkan, bisa fatal.
Sakit itu “rasa”. Bisa dirasakan kehadirannya. Secara verbal, mungkin sulit diungkapkan. Banyak pasien yang bingung cara mengutarakan rasa sakit yang dialami. Meskipun subjektif, hanya dirasakan oleh si penderita, penyakit itu ada. Indikatornya bisa diperjelas. Apalagi dalam dunia medis moderen. Ada berbagai alat dan teknologi kesehatan yang digunakan untuk mendeteksi penyakit. Namun itu hanya untuk mendapatkan peta gelombang dari penyakit. Bukan untuk menangkap “rasa” sakit.
Karena itulah, “rasa” disebut ilmu hudhuri. Ilmu yang hadir dalam diri. Meskipun level pengalamannya subjektif, namun bisa diketahui dan dirasakan secara pasti. Begitu juga dengan ilmu spiritual. Indikator batiniahnya jelas sekali. Walaupun bersifat spiritual (rasa).
Bagi para mistikus, kecerdasan spiritual sangat membantu dalam memahami kondisi batin. Mereka bisa mengetahui apakah jiwanya sehat atau tidak. Bahkan bisa mengetahui jenis penyakit apa yang melekat pada jiwanya, dan letaknya di bagian “lataif” mana. Setelah tau penyakit dan letaknya, baru kemudian diobati lewat “Az-Zikr” (Quran).
Itulah yang setiap hari dikerjakan. Zikir, zikir dan zikir. Setiap pagi, tengah malam atau subuh; berzikir. Sore dan malamnya juga zikir lagi. Tujuannya; selain untuk membersihkan noda, kuman dan penyakit yang menghinggapi akibat aktfitas sehari-hari; juga untuk menguatkan stamina spiritual.
Bekerja di kantor seharian, pasti ada “penyakit” (gelombang rusak) yang masuk ke jiwa. Duduk di warung kopi, juga banyak “penyakit” yang melekat ke kita. Nonton TV, buka YouTube, main TikTok, baca dan berdebat di WA; semua aktifitas kita ada anasir penyakitnya. Bahkan, terlalu lama dalam terang juga bisa menyebabkan penyakit. Makanya ada malam, untuk mengurangi interaksi tubuh dengan cahaya.
Semua informasi yang masuk secara “berlebih” dalam jiwa, akan menjadi “kolesterol” bagi ruhani. Lama-lama jadi penyakit. Tidak hanya penyakit ruhani. Tapi juga sakit fisik. Kalau ditelusuri, hampir semua penyakit medis, terjadi akibat gangguan yang terjadi pada alam mental dan ruhani. Sebenarnya, kalau ruhani sehat, sehatlah kita. Kalaupun sudah terlanjur sakit, carikan obat. “Segala penyakit ada obatnya” (HR. Muslim).
Madu dan Zikir sebagai Obat
Menurut hadis. Obat itu ada dua. “Madu dan Quran (Az-Zikr)”, HR. Bukhari. Dalam makna umum, madu adalah segala sesuatu untuk dikonsumsi. Mencakup semua jenis obat, herbal, buah-buahan dan makanan; yang menyembuhkan pada sisi material. Termasuk beberapa yang tersebut dalam Quran dan hadis. Misalnya kurma, habbatusaudha, minyak zaitun dan jahe. Sekarang juga ada jenis obat-obatan kimiawi (farmasi) yang juga digunakan sebagai pemicu kesembuhan.
Selanjutnya adalah “zikir”. Yaitu segala bacaan dan wirid terkait ayat dan Asma. Ini obat jiwa. Sebagai obat, ada tata cara (kaifiyat) untuk mengkonsumsi zikir. Tata cara zikir secara detil diajarkan dalam dunia sufi (tariqah). Berapa kali harus “dikonsumsi”, “kapan”, “bagaimana caranya”, “dimana” dan sebagainya.
Orang awam mengira, zikir itu cuma tasbih 33 kali setelah shalat. Iya, bisa. Tapi itu obat “generic”. Kalau mau obat kelas satu, itu ada bacaan dan wirid yang diamalkan secara khusus, pada kondisi dan tempat-tempat khusus. Obat-obatan ini tidak untuk dijangkau oleh anak-anak. Ada resep dan petunjuk khusus dari dokter untuk meminumnya. Karena “obat” ini tidak pernah dilihat dan diketahui oleh “anak-anak”, maka anak-anak suka membid’ahkannya. “Orang-orang suka membid’ahkan sesuatu hanya karena mereka tidak tau”, sebut S.S.A.Sufimuda.
Kenapa zikir menjadi obat? Karena zikir itu juga “madu”. Zikir adalah minuman yang keluar dari perut lebah (QS. An-Nahl: 68-69). “Lebah” adalah para salik; yang membuat sarang, dan bermeditasi di bukit-bukit atau pokok-pokok kayu. Para salik tidak makan sembarangan, apalagi unsur darah. Coba lihat tradisi para mistikus, mereka hanya mengkonsumsi saripati makanan nabati yang baik. Semua itu di proses lewat energi shalawat, sampai menjadi obat. Zikir itu obat. Yaitu zikir yang dilahirkan oleh para salik, penempuh jalan Tuhan. Karena itu ada kaitan erat, antara kesehatan jiwa (via zikir) dengan fisik.
وَأَوْحَىٰ رَبُّكَ إِلَى ٱلنَّحْلِ أَنِ ٱتَّخِذِى مِنَ ٱلْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ ٱلشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ ثُمَّ كُلِى مِن كُلِّ ٱلثَّمَرَٰتِ فَٱسْلُكِى سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلًا ۚ يَخْرُجُ مِنۢ بُطُونِهَا شَرَابٌ مُّخْتَلِفٌ أَلْوَٰنُهُۥ فِيهِ شِفَآءٌ لِّلنَّاسِ ۗ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَءَايَةً لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: “Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia. Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan (QS. An-Nahl: 68-69)
Dalam tulisan sebelumnya “Sufisme dan Bahasa Simbolik”, kami menjelaskan. Quran itu tidak hanya punya makna lahiriah. Melainkan juga batiniah. Termasuk makna “lebah”, “madu”, “bukit”, “salik”, dan lainnya. Surah An-Nahl 68-69 di atas juga perlu dipahami secara esoteris, sehingga bisa diketahui metodologi para salikin (lebah), yang memperoleh wahyu selama fase spiritual, sehingga tidak lahir apapun dari perutnya, kecuali beragam macam obat.
BACA: SUFISME DAN BAHASA SIMBOLIK
Spesialis Kesehatan Spiritual
Cara hidup sehat adalah dengan mengenali (gejala) penyakit, serta tau cara menyembuhkan. Bahkan mengetahui langkah-langkah preventif sebelum itu terjadi. Ini berlaku baik dalam dunia “medis” (evidence-based) dan “supra-medis” (spiritual-based). Anda sudah paham bagaimana hal ini diterapkan oleh dokter dalam dunia medis. Hal serupa juga dipraktikkan oleh para mistikus, para salik (lebah), dalam dunia spiritual.
Spiritual itu ada sekolahnya. Dikenal dengan suluk atau khalwat, yang dibimbing seorang “master” (jibril/khidir/nabi/wali). Kurikulumnya penuh dengan SKS terkait riyadhah spiritual (i.e., puasa, zikir, pelayanan, dan lainnya). Tujuannya untuk mengaktivasi kecerdasan “spiritual medical”. Melalui itu, seorang bisa meneropong kondisi ruhani, tau jenis-jenis penyakit, gejala kemunculan dan bagaimana cara menyembuhkannya.
Karena penyakit adalah “rasa”, maka ilmu rasa harus dilatih. Berbeda dengan penyakit medik umum yang sifatnya melekat pada sisi material tubuh, penyakit yang hadir pada sisi jiwa jauh lebih halus dan dalam.
Satu-satunya cara untuk menangkap kehadiran penyakit batin adalah dengan mengaktifkan “qalbu” (hati/jiwa/ruh) sang dokter. Qalbu merupakan alat “sensorik” dari jiwa. Qalbu secara sederhana bekerja seperti umumnya alat dunia medik (i.e., stetoskop, otoskop, termometer, tensimeter dan lainnya). Qalbu bisa digunakan untuk mengobservasi kondisi alam ruhani. Pada level lebih ahli, qalbu bisa difungsikan secara lebih canggih; semacam alat ukur gelombang elektrokardiogram (EKG), electroencephalography (EEG), ataupun peralatan scanning lainnya seperti CT Scan.
Qalbu merupakan mata “bashirah” untuk melihat ke “dalam”. Kebetulan, fungsi-fungsi ini ada dalam diri manusia yang sudah terlatih secara spiritual. Karena itu dikatakan, manusia adalah makhluk yang sempurna dalam kejadiannya (QS. At-Tin: 4). Tinggal diaktivasi saja. Kalau sudah aktif, qalbu menjadi alat paling canggih untuk mendeteksi segala macam unsur yang hadir dan melekat pada jiwa. Kalau ada gelombang setan yang masuk, seperti mesin X-Ray di bandara, ia akan “berbunyi” dan memberitahukannya kepada kita. Begitu juga, ketika ada unsur malaikat yang datang, ia juga akan memberi “tanda”. Bahkan, ia mampu menangkap gelombang kehadiran Allah. Lebih dahsyat lagi, melalui alat ini, ia mampu berkomunikasi secara langsung dengan-Nya. Karena itulah, dalam terminologi Qurani, “hati” memiliki beragam fungsi aplikasi. Mulai sebagai instrumen shadr, qalb, fuad, lubb sampai ke fungsi Ruh (Sirr).
Itulah yang diaktivasi para nabi dan wali-wali, dalam sekolah-sekolah spiritual mereka. Maka sangat menguasai metode ini. Jalan ini yang diajarkan kepada kita. Mereka ingin murid-muridnya hidup sehat secara ukhrawi. Disamping juga sehat secara duniawi.
Orang-orang yang sudah terbuka “mata hati”, bisa melakukan spiritual health-check setiap saat. Iman itu naik turun. Hanya dengan kecerdasan spiritual (SQ), seseorang bisa mengetahui indikator kesehatan jiwa secara pasti (subjektif-hudhuri), seberapa jauh naik atau turun. Orang dengan mata batin yang kuat juga bisa mengecek posisi spiritualnya saat ini, apakah sudah berada di surga atau masih neraka. Apakah sudah masuk dalam kategori “golongan kanan” (ashahbul yamin/maimanah). Atau masih dalam “golongan kiri” (ashhabusy syimal/masy’amah).
Jadi, orang-orang mukmin yang cerdas spiritualnya, bisa melakukan check-up apakah dirinya sudah masuk surga atau masuk neraka, secara Haqqul Yaqin. Karenanya, mereka berusaha memastikan, sebelum mati sudah disetujui (dijamin) berada di surga. Jangan sampai ketika mati, tiba-tiba masuk neraka. Padahal amalannya banyak sekali. Ternyata “investasi bodong” semua. Banyak orang yang terjebak investasi bodong. Baik untuk urusan dunia maupun akhirat.
Inilah pentingnya keahlian komunikasi spiritual dengan Tuhan. Dan Allah tentu hanya mau berkomunikasi dengan orang-orang yang segelombang dengan-Nya. Karena itu penting untuk menemukan hotspots gelombang ketuhanan agar bisa berkomunikasi dengan-Nya, agar tau dimana posisi kita. Agar bisa mengkonfirmasi kebenaran yang kita lakukan.
BACA: SPIRITUAL HOTSPOTS
Kesimpulan
Untuk bahagia di dunia, seseorang harus sehat secara duniawi. Harus tau apa penyakit dan cara menyembuhkannya. Sementara, untuk bahagia di akhirat, seseorang juga harus tau penyakit apa yang ada dalam dirinya. Serta tau cara mensucikannya.
Suluk/khalwat yang dipraktikkan Nabi, itu bisa memiliki dua fungsi. Pertama, sebagai “rumah sakit” tempat opname bagi mereka yang mengalami gangguan spiritual (was-was, spiritually disoriented). Di akhir proses diharapkan tercapainya kembali a bliss and peaceful life (muthmainnah). Kedua, menjadi tempat “fitness” bagi mereka yang ingin memperkuat otot-otot spiritual. Tujuannya untuk menghasilkan bermacam jenis “madu” dari proses pengolahan energi spiritual. Sehingga bisa memberi syafaat dan kesembuhan bagi orang. Pastikan, dokter atau coach yang menangani Anda di sekolah-sekolah seperti ini memang seorang master di bidangnya. Kalau tidak, penyakit pasien justru bisa bertambah parah.
Salah satu ciri spiritual master adalah, saat melihat kita, ia langsung tau apa penyakit yang kita dera. Mata batinnya tajam. Kasyaf. Tidak perlu bicara, ia sudah tau apa rahasia masa lalu kita. Bahkan terkadang ia juga bisa melihat masa depan kita. Ahli medis profesional memang begitu. Dilihat muka kita, telapak tangan kita; sudah tau dia apa yang terjadi. Seorang dokter pun bisa tau kapan seseorang akan mati, atau berapa sisa usia pasiennya. Bukan syirik itu. Mata Tuhan, Telinga Tuhan, Tangan Tuhan, Lisan Tuhan; ada padanya. Itulah hakikat seorang rasul, “dokter” yang memiliki ijazah dari Tuhan yang Maha Tau dan Maha Menyembuhkan, “untuk mensucikan jiwa manusia” (QS. Aali Imran: 164).
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.
#powered by SUFIMUDA
___________________
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok: tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter: twitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2
Terima kasih.