Jurnal Suficademic | Artikel No. 90 | Agustus 2023
KUNCI BAHAGIA, JADILAH “ANAK-ANAK”
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Ingin tau contoh kehidupan yang bahagia? Lihat anak-anak. Hidupnya merdeka. Kerjaannya bermain saja. Tidak ada konsep “dosa”, “haram” dan sejenisnya. Semua boleh. Semua tersedia. Tinggal minta. Kalau perlu berteriak. Semua terpenuhi. Kerjanya tertawa. Sesekali menangis. Itupun ekspresi dari sifat manja dan wujud kelembutan hati mereka.
Karena bebas dan merdeka inilah, imajinasi mereka berkembang pesat. Kecerdasan meningkat. Bahagianya luar biasa. Pertumbuhannya cepat. Tak ada yang dipikirkan. Selain bersenang-senang. Tidak ada susahnya. Auranya bagus. Beban hidupnya nol. Tidurnya nyenyak. Pikirannya kosong dari ketakutan dan kekurangan. Tidak ada ingatan tentang utang. Juga tidak ada kemauan berlebihan. Mudah terpuaskan. Ringan tangan. Tidak ada dendam. Mudah melupakan kesalahan orang. Tidak ada iri dengki. Cepat memaafkan.
Persis seperti digambarkan Nabi SAW. Anak-anak adalah “pelayan surga” (HR. Tirmidzi). Hatinya lembut. Kehadirannya menyenangkan. Bagi mereka, hukum mengerjakan sesuatu hanya ada dua: “enak” atau “tidak enak”. Tidak ada istilah halal atau haram. Itu konsep untuk menakut-nakuti orang tua.
Itulah kenapa, Nabi SAW mengatakan, surga di isi oleh anak-anak. Atau mereka yang jiwanya muda. Tidak ada orang “tua” di surga. Surga itu tempat bersenang-senang. Tempat untuk mengekspresikan kebebasan. Semua boleh. Mau meniduri 72 bidadari juga dipersilakan. Minum arak juga tak apa-apa. Bahkan katanya, sungai khamar pun ada disana. Itu “imajinasi” tentang surga. Gambaran “bahagia”. Saat segalanya boleh, enak dan halal. Tidak ada polisi yang mengawasi. Juga tidak ada WH.
Ketika seorang anak dilarang-larang, ditakut-ditakuti dengan istilah “haram” dan “dosa”; seketika itu juga ia berubah menjadi ‘orang tua’. Langsung ia terlempar ke luar dari surga. Langsung terjun ke “bumi”. Hidupnya berubah. Penuh tekanan dan ketakutan. Penuh penderitaan.
Orang “tua” adalah, orang yang hidupnya penuh restriksi. Penuh larangan. Penuh istilah halal dan haram. Sedikit-sedikit bid’ah, dosa. Semuanya dicari dalilnya. Apakah yang sedang dikerjakan bertentangan dengan sunnah atau tidak. Hidupnya menjadi was-was. Penuh kekhawatiran. Sekaligus suka menakut-nakuti orang. Bahkan sampai mengkafirkan. Itu gejala “tua”. Gejala frustasi. Tipikal jiwa ammarah, juga lawwamah.
Berbeda dengan anak-anak, orang tua mulai susah tersenyum. Wajahnya lebih sering terlihat kusut. Suka marah. Curiga. Beban hidupnya menumpuk. Mungkin akibat pikiran yang bercabang. Terlalu banyak referensi dan kecurigaan. Terlalu lelah memikirkan kum kredit, pangkat dan jabatan. Makanya, orang tua rawan sakit. Karena imunnya menurun. Bahagianya berkurang.
Karena itu, sudah bisa dipastikan, neraka dihuni oleh orang “tua”. Orang-orang yang bermasalah dalam hidupnya. Orang-orang yang tidak bahagia. Orang-orang yang jiwanya tidak muthmainnah.
“Adam”, Makhluk Surgawi di Bumi
Itulah gambaran “Adam”, makhluk surgawi. Sekaligus makhluk bumi. Sebagai makhluk surgawi, Adam dikisahkan hidup bahagia. Bebas bersenang-senang menikmati “surga”. Itu gambaran jiwa, yang hakikatnya memang tidak terikat apapun. Merdeka.
Jiwa atau ruh, adalah “makhluk Ilahi”. Ia hanya akan menemukan kebahagiaannya, ketika terbebaskan dari semua unsur terikat dari materi. “Makhluk ruh” adalah makhluk merdeka. Siapapun dia, ketika berada pada maqam ruh, akan terbebas dari semua ikatan dunia. Ia akan merasakan kehidupan surgawi bersama Tuhannya.
Berbeda dengan jasad, Ruh tidak terikat hukum. Statusnya keberadaannya “above the law”. Azalinya ia adalah esensi Ilahi. Yang tidak terikat dengan apapun. Makhluk ruh adalah makhluk surgawi.
Disisi lain, Adam juga “makhluk bumi”. Makhluk materi. Jasadiah. Lempung tanah, dan air. Ia terikat dengan hukum alam, sekaligus dengan hukum-hukum Ilahi (syariat) yang mengekang geraknya.
Pada unsur materi ini bersemayam nafsu. Pada unsur jasadi, tumbuh potensi “panas” (iblis/api). Unsur-unsur ini kalau dibiarkan akan membakar dan melahap manusia. Pada elemen materi tumbuh gelombang jahat, tabiat merusak, suka bertikai dan bermusuhan. Segalanya bisa hancur, jika gelombang ini berkuasa. Manusia akan kehilangan bahagia, jika dikendalikan oleh gelombang materi. Derajatnya akan turun, terlempar ke “bumi”:
قَالَ اهْبِطُوْا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ ۚوَلَكُمْ فِى الْاَرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَّمَتَاعٌ اِلٰى حِيْنٍ
Dia (Allah) berfirman, “Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain serta bagi kamu ada tempat tinggal dan kesenangan di bumi sampai waktu yang telah ditentukan” (QS. Al-A‘rāf [7]: 24).
Karena itulah, kemudian muncul restriksi-restriksi. Agar manusia mengenal batasan-batasan. Sebagai “makhluk Ruh”, ia merdeka. Sebagai “makhluk materi”, kebebasannya mesti dibatasi. Sebagai makhluk yang nafsu dan iblis bersemayam dalam dirinya, gerak langkah manusia patut dicurigai. Patut dikekang, agar tidak terjerumus dalam keburukan.
Disinilah fungsi “syariat”. Syariat adalah hukum-hukum untuk mengatur dimensi lahiriah manusia. Unsur-unsur nafsu lahiriah yang bisa merusak akal dan jiwa, harus dibatasi. Harus dilarang. Tasawuf pada dimensi lahiriah juga begitu. Ada adab-adab yang sangat ketat, yang diterapkan pada murid, untuk meregulasi “kebebasan”. Yang dikekang adalah “ego kedirian” (iblis/nafsu). Agar tidak merusak eksistensi dan gerak dari jiwa.
Itulah gambaran “Adam”. Ia hakikatnya adalah makhluk surgawi, yang bebas dan merdeka. Ruhnya tidak bisa dibatasi. Tapi kemudian, ada restriksi, ada syariat yang mengatur, agar tidak mendekati “pohon terlarang”. Tapi ia tergoda; oleh “hawa”, juga “iblis”.
Dimensi materi telah membuatnya jatuh, dari derajat ruh surgawi ke derajat bumi. Di bumi lah ia hidup menderita. Harus telanjang. Merasakan panas dan dingin. Merasakan penat dan sakit. Materi adalah elemen untuk merasakan cobaan dan derita. Kemudian ia bertaubat. Hanya ketika bangkit kembali sebagai “makhluk ruh”, setiap Bani Adam akan naik kembali ke level surgawi. Cara bangkit adalah dengan mengalami kematian “iradhi”. Atau apa yang disebut dalam tasawuf sebagai “mati sebelum mati”. Kemampuan mengeluarkan dan memperjalankan ruh ke sisi Tuhan (Arab: mikraj ruhani, Jawa: “rogo sukmo”), disaat masih hidup:
قَالَ فِيْهَا تَحْيَوْنَ وَفِيْهَا تَمُوْتُوْنَ وَمِنْهَا تُخْرَجُوْنَ
Dia (Allah) berfirman, “Di sana kamu hidup, di sana kamu mati, dan dari sana (pula) kamu akan dikeluarkan (dibangkitkan)” (QS. Al-A‘rāf [7]: 25)
Makhluk ruh adalah manusia sempurna. Yang tidak ada lagi rasa sakit dan derita atas nama Cinta. Lihat Imam Ali, yang dicabut panah dari kaki saat sedang fana. Tidak ada lagi keluh kesah. Itu makhluk ruh. Begitupun para sahabat yang berjuang bersama Nabi. Tanpa rasa takut untuk mati. Mereka menganggap dirinya sudah mati semua sebagai manusia; dan hidup sebagai makhluk ruh. Apa lagi yang mesti ditakuti. Kekuatan ruh inilah yang mampu memenangkan segala jenis pertempuran. Tanpa ini, manusia akan kembali menjadi makhluk materi: “cinta dunia dan takut mati” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Bangkit Menjadi “Makhluk Ruh”
Kisah Adam sangat simbolik. Kosa kata “surga” dan “bumi”, sangat simbolik. Itu menunjukkan “dimensi” dari manusia. Bahwa, ada elemen surga dalam diri setiap manusia, yaitu “Ruh”. Juga elemen bumi, yakni “jasad”. Kalau berbuat jahat, manusia langsung terlempar menjadi makhluk bumi. Tetapi, ketika menjadi suci, langsung menjadi makhluk langit.
Langit dan bumi, surga dan dunia; itu ada pada satu titik yang sama. Hanya berbeda dimensi (alam). Jadi kita tidak perlu membayangkan Adam “turun” ke bumi seperti gambaran dilempar dari bulan, lalu jatuh ke bumi. Memangnya Adam turun ke bumi naik pesawat apa? Dia adalah makhluk bumi. Tentu tercipta di bumi. Hanya ruhnya saja berdimensi ukhrawi (tercipta di alam surgawi).
Hidup ini hanya bagaimana memainkan kedua unsur ini. Apakah kita ingin menjadi makhluk surgawi, atau makhluk bumi; itu pilihan. Manusia diberikan “kehendak bebas” (freewill) oleh Allah, untuk menjadi makhluk malakut dan Ruh. Ataupun ingin menjadi iblis dan setan. Setiap saat kita berperang dengan dua daya yang saling tarik menarik ini.
Karena itu penting untuk meng-upgrade diri, dari dimensi materi, ke dimensi ruh. Untuk menjadi “makhluk langit” (berjiwa insani), spiritualitas harus diasah. Sampai seseorang mampu mendengar “bisikan-bisikan” dari langit (wahyu/ilham/muraqabah). Dengan arahan dari “bisikan langit” inilah kita berbicara, bergerak dan bertindak. Sehingga setiap saat terjaga dari dosa. Pada level ini, kita akan menjadi “makhluk ruh”. Makhluk yang merasakan kedekatan dan kebahagiaan. Karena, pada titik ini seseorang telah bergerak bersama Tuhan. Itulah fungsi “uzlah” (suluk/khalwat) dengan berbagai metode pencerdasan spiritual.
BACA: “UZLAH”, TRADISI SPIRITUAL PARA NABI
Jika tidak mampu menangkap petunjuk-petunjuk langsung dari surga, manusia akan terdorong untuk menuruti akal, nafsu dan bisikan-bisikan biologis syaitaniyah yang ada dalam dirinya (jiwa basyari). Pada level ini, manusia akan terjatuh ke “bumi”. Akan merasakan derita.
Perjalanan dari syariat, ke tarikat, sampai ke hakikat dan makrifat; adalah perjalanan untuk membebaskan diri dari penjara materi. Perjalanan untuk kembali menjadi makhluk surgawi. Perjalanan untuk wushul dengan Ilahi. Perjalanan untuk hidup dengan hukum-hukum yang lebih hakiki. Hakikat kita adalah “Ruh”. Bukan “materi”.
***
Terakhir. Anda jangan cemburu dengan Nabi, atau mungkin juga para wali. Terkadang, hidup mereka sedikit “unik”. Ada hukum-hukum khusus yang melekat pada mereka. Yang hukum ini tidak berlaku pada manusia umumnya.
Sebab, mereka sebenarnya bukan lagi makhluk materi. Melainkan “makhluk ruh”. Makhluk maksum (suci). Makhluk telah hidup dalam wilayah penuh mukjizati; pada dimensi malakut, yang melampaui qadar hukum-hukum formal duniawi.
Namun, untuk mengajarkan kita bagaimana hidup yang baik pada level materi, para utusan Tuhan juga secara disiplin mengajari kita tentang syariat. Karena, syariat adalah langkah awal pendisiplinan dalam penyucian diri. Tapi, inti pengajaran mereka yang sesungguhnya adalah, menginginkan kita semua melakukan evolusi. Dari “evolusi alami” ke “evolusi ikhtiyari”. Mereka mengharapkan kita mengalami ‘mati’ sebagai manusia. Lalu hidup kembali sebagai malaikat, yang beribadah dalam hukum-hukum malakut dan Ruh. Mereka ingin kita semua menjadi Adam pada dimensi “surgawi”. Bukan Adam pada dimensi “bumi”. Kesanalah kita semua harus kembali. Ke surga. Untuk menjadi “anak-anak” lagi.
BACA: DUA TAHAP EVOLUSI, “ALAMI” DAN “IKHTIYARI”
Kesimpulan
Surga hanya diisi oleh “anak-anak”. Yang jiwanya selalu muda (QS. Al-Waqiah: 17):
يَطُوْفُ عَلَيْهِمْ وِلْدَانٌ مُّخَلَّدُوْنَۙ
Mereka dikelilingi oleh anak-anak yang selalu muda (QS. Al-Wāqi‘ah [56]: 17)
Surga di isi oleh generasi muda, para “perawan” yang jiwanya penuh cinta (QS. Al-Waqiah: 35-37):
عَنِ الْحَسَنِ قَالَ: أَتَتْ عَجُوزٌ إِلَى النَّبِيِّ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-، فَقَالَتْ: (يَا رَسُولَ اللَّهِ، ادْعُ اللَّهَ أَنْ يُدْخِلَنِي الْجَنَّةَ) فَقَالَ: يَا أُمَّ فُلاَنٍ، إِنَّ الْجَنَّةَ لاَ تَدْخُلُهَا عَجُوزٌ. قَالَ: فَوَلَّتْ تَبْكِي فَقَالَ: (( أَخْبِرُوهَا أَنَّهَا لاَ تَدْخُلُهَا وَهِيَ عَجُوزٌ إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَقُولُ : { إِنَّا أَنْشَأْنَاهُنَّ إِنْشَاءً فَجَعَلْنَاهُنَّ أَبْكَارًا عُرُبًا أَتْرَابًا }
Diriwayatkan dari Al-Hasan RA: “Seorang nenek tua mendatangi Nabi SAW. Nenek itu pun berkata, ‘Ya Rasulullah! Berdoalah kepada Allah agar Dia memasukkanku ke dalam surga!’ Beliau pun mengatakan, ‘Wahai Ibu si Anu! Sesungguhnya surga tidak dimasuki oleh nenek tua.’ Nenek tua itu pun pergi sambil menangis. Beliau pun mengatakan, ‘Kabarkanlah kepadanya bahwasanya wanita tersebut tidak akan masuk surga dalam keadaan seperti nenek tua. Sesungguhnya Allah ta’ala mengatakan: (35) Sesungguhnya kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung. (36) Dan kami jadikan mereka gadis-gadis perawan. (37) Penuh cinta lagi sebaya umurnya” (QS Al-Waqi’ah: 35-37)”.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.
#powered by SUFIMUDA
___________________
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok: tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter: twitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2
Terima kasih.