Jurnal Suficademic | Artikel No. 93 | Agustus 2023
MENGUNGKAP TUHAN MELALUI ANEKA KECERDASAN
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM. “Multiple Intelligences” (1983) karya Howard Gardner, merincikan kecerdasan manusia dalam 9 kategori. Psikolog Harvard ini coba mengurai lebih lanjut jenis kecerdasan yang sebelumnya secara sederhana diperkenalkan oleh Daniel Goleman dan para pendahulunya dalam bentuk: IQ dan EQ (“Emotional Intelligence”, 1995); dan kemudian oleh Danah Zohar dalam “Re-Wiring Corporate Brain” (1997) menambah elemen SQ/SI.
Sembilan “kecerdasan majemuk” yang diusulkan Gardner ini adalah: (1) verbal-linguistic, (2) logical-mathematical, (3) visual-spatial, (4) bodily-kinesthetic, (5) musical-rhythmic, (6) interpersonal, (7) intrapersonal, (8) naturalistic, and (9) existensial. Semua ini merupakan cara seseorang menyerap dan mengaktualisasikan pengetahuan.
Kalau Anda jago berceramah, dengan menggunakan jargon dan istilah, itu namanya kecerdasan “verbal-linguistik”. Kalau Anda ahli dalam mengabstraksi sesuatu lewat angka-angka, itu namanya kecerdasan “logis-matematis”. Kalau Anda ahli dalam melukis, menggunakan perangkat aplikasi visual dan gambar-gambar dalam memecahkan sebuah masalah, itu disebut kecerdasan “spasial-visual”. Kalau Anda ahli dalam menggunakan gerak motorik tubuh dalam menghadapi sebuah tantangan, itu namanya kecerdasan “fisik-kinestetis”.
Kalau Anda mampu menyusun nada, suara dan irama dalam memahami sesuatu, Anda punya kecerdasan “ritmik-musik”. Kalau Anda punya kemampuan dalam berkomunikasi dengan orang lain; termasuk ‘kekasyafan’ dalam memahami niat, mood, dan keinginan orang lain; Anda punya kecerdasan “interpersonal”. Jika Anda punya keahlian dalam menyelami emosi, membangun dialog dan menggali informasi baik dengan diri sendiri ataupun orang lain, itu bentuk kecerdasan “intrapersonal”. Sementara, kalau Anda ahli dalam memahami lingkungan dan membaca tanda-tanda alam, itu disebut kecerdasan “natural”.
Terakhir, jika Anda ahli dalam berfikir kritis dalam rangka menggali makna dan tujuan terdalam dari sesuatu, ibarat filsuf, itu disebut kecerdasan “eksistensial”. Gardner tidak memperkenalkan istilah kecerdasan “spiritual” dalam teorinya. Sebab, saat itu ia masih bingung bagaimana cara mengukurnya secara saintifik. Itu kelemahannya. Sebagai gantinya, ia menyebut itu sebagai kecerdasan “eksistensial”. Ini adalah bentuk kecerdasan reflektif-interpretatif yang berusaha mempertanyakan “tujuan hidup”, dan makna-makna religius/transendental dari sesuatu yang selalu kita kerjakan. Termasuk: “Siapa kita?”, “Mengapa kita ada disini?”, “Mau kemana kita”, dan sebagainya.
Dalam riset spiritual yang kami lakukan, dalam tradisi mistik orde sufistik tertentu, indikator-indikator spiritual itu diajarkan oleh seorang supervisor (walimursyid) dalam fase suluk kedua. Disitu terungkap berbagai bentuk “kehadiran” Ilahi dalam tanda-tanda dan ukuran yang pasti (haqq). Jadi, dunia spiritual, itu sangat ilmiah; jika diketahui metodologinya. Seseorang akan mengetahui secara “pasti”, dalam ukuran-ukuran yang jelas, yang mana bisikan setan dan yang mana ilham/wahyu dari Allah.
***
Manusia merupakan makhluk materi. Sekaligus makhluk ruhani. Masing elemen ini ada makanan untuk membuatnya “gemuk” atau “cerdas”. Jika hak-haknya tidak dipenuhi, itu bisa membuat sisi tertentu dari kemanusiaan kita menjadi “idiot”.
Kalau fisik ingin sehat dan kuat, misalnya, perbanyak makan yang bergizi dan rajin berolah raga. Kalau otak ingin terbuka, perbanyak diskusi dan membaca. Kalau ingin mencapai kestabilan emosi; perbanyak silaturahmi, kenduri, komunikasi, humor dan tertawa. Kalau jiwa ingin ketenangan jiwa; perbanyak rileksasi, berlibur, mendengarkan musik, menari dan sejenisnya. Pun kalau ingin ruhani tersucikan secara sempurna, perbanyak zikir dan ibadah yang dapat mengkoneksikan kita secara langsung dengan Allah.
Semua unsur ini harus dipenuhi secara seimbang, agar hidup menjadi tercerahkan, menjadi cerdas lahir dan batin.
Jadi; rajin membaca, berdiskusi dan melakukan kalkulasi secara kritis, itu bagus. Biar otak menjadi pintar. Tapi harus diimbangi dengan makan dan berolahraga yang cukup, biar fisik juga ikut cerdas. Namun jangan lupakan musik, lagu dan tarian; biar emosi juga tercerahkan. Termasuk memperbanyak silaturahmi, komunikasi dan berbagi; agar terbangun empati, keakraban sosial dan kecerdasan emosional. Selain itu, kita sesekali butuh menyepi. Agar bisa melakukan refleksi dan berinteraksi dengan energi murni dari alam. Di atas itu semua, kita bisa secara transenden terhubung dengan Tuhan, bisa merasakan Wujud hakiki dari tujuan hidup, melalui zikir dan meditasi.
***
Karena itu, kita tidak bisa melabeli orang yang rajin bermusik dan menari itu sebagai bid’ah. Hanya gara-gara kita tidak suka, atau tidak punya kecerdasan musik dan motorik seperti mereka. Karena, musik dan tari, itu juga bagian dari spiritualitas manusia. Semua itu jenis kecerdasan yang secara alamiah ada dalam diri manusia. Hanya saja, beberapa orang dominan dengan kecerdasan tertentu. Beberapa lainnya tidak mampu mengeksplore berbagai kecerdasan lain yang tersembunyi dalam dirinya.
Agama, idealnya hadir untuk mengasah semua kecerdasan ini. Bukan untuk mematikannya. Karena itulah kita temukan, ada jenis agama yang melatih zikir bagi para penganutnya. Sekaligus mengajarkan mereka bagaimana cara bersyair, bermusik dan menari. Ini agama yang keren. Agama yang paham aneka kecerdasan manusia.
Mungkin Anda akan terkejut kalau sempat tinggal di Yaman. Saat melihat para habaib, ulama dan wali disana menari-menari bersama audien dalam pertemuan-pertemuan keagamaan. Karena itu pula, seorang pemimpin syair dan tari dalam tradisi sufi, semacam Saman, disebut “syeikh”. Orang yang mengerti agama tidak hanya bertugas menjadi imam dalam sholat. Bahkan menjadi pemimpin ruhani dalam ritual seni. Itu wujud sakralitas dari islamic art. Perhatikan juga tarian para darwish dalam ordo Rumi. Sebelum menari, terlebih dahulu membungkuk, memberi salam kepada master spiritual yang membimbing mereka.
Ada juga agama yang kaku. Sibuk bertapa, dan tidak pernah menari. Ada juga agama yang sibuk mensurah isi kitab, sampai lupa cara bermain musik. Bahkan mengharamkannya.
Memang ada unsur-unsur haram dalam berbagai kegiatan. Yaitu, ketika lalai dari mengingat Tuhan. Sholat pun dicela sebagai perbuatan “celaka”. Kalau gagal mengingat Tuhan. Bukan kemudian sholatnya harus dilarang. Tapi metode khusyuknya harus diperbaiki.
Karena itulah, tujuan belajar adalah untuk mencapai “makrifat”. Belajar apapun, tujuannya adalah untuk mengenal Allah. Kalau tidak mengenal Allah, maka pendidikannya gagal. Pendidikan yang tidak membawa seseorang dekat dengan Allah, pasti membawa orang tersebut dekat dengan setan. Karena itulah sering kita temukan, makin pandai seseorang, makin angkuh dia. Makin banyak yang dibaca, makin sombong dia. Mereka tidak menemukan Allah dalam proses belajar. Sehingga gagal menjadi arif rabbani. Berilmu, tapi tidak membuatnya “karamah” (mulia disisi Allah).
***
Pada dimensi spiritual, sembilan kecerdasan yang diperkenalkan Howard Gardner, itu sebenarnya menjadi bentuk-bentuk kecerdasan untuk mengungkap tentang Tuhan. Seseorang menari dan bernyanyi, idealnya adalah ekspresi dari spiritualitas. Orang cerdas menemukan Tuhan dalam syair, irama dan notasi.
Orang cerdas juga menemukan Tuhan dalam berbagai ukuran dan kehadiran matematis. Angka-angka menjelaskan pola dari sebuah alam imajinal yang tinggi. Para pelukis dan seniman, juga mengungkap Tuhan lewat karya seni dan visual. Karena itulah kaligrafi, arabesk, geometri pada berbagai bangunan arsitektural disebut sebagai karya agung para sufi.
Tuhan hadir dalam aneka eksistensi, dalam aneka keindahan dan kesucian ekspresi. Dia bisa hadir dalam bacaan mengaji. Dia bisa hadir dalam lagu, musik dan tari. Dia bisa hadir dalam angka dan proporsi. Dia bisa hadir dalam kata-kata dan orasi. Dia bisa hadir dalam geometri dan kaligrafi. Dia bisa hadir lewat tanda-tanda di alam ini. Dia bisa hadir dalam ziarah dan silaturahmi. Dia bisa hadir dalam zikir dan meditasi. Dia Maha Meliputi, dan hadir dalam semua bentuk intelijensi.
Tujuan pendidikan adalah mengasah berbagai kecerdasan. Bukan untuk mematikannya. Lalu diarahkan, bagaimana cara menemukan Tuhan dalam berbagai keahlian itu. Sebab, Tuhan tidak hanya ada dalam teks dan hafalan Quran. Dia juga bisa diobservasi di berbagai ufuk alam. Dia juga bisa ditemukan di kedalaman jiwa. Butuh aneka metodologi dan kecerdasan untuk mengungkap Dia, yang jejak ontologisnya ada dimana-mana.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.
#powered by SUFIMUDA
___________________
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok: tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter: twitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2
Terima kasih.