APA HUKUM “MENGKHAYAL”?

Bagikan:

Jurnal Suficademic | Artikel No.106 | November 2023

APA HUKUM “MENGKHAYAL”?
Oleh: Said Muniruddin | Rector | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM. Apa hukum mengkhayal?

Hukumnya beragam. Bisa haram, bisa mubah, bisa wajib. Kira-kira begitu. Tergantung apa yang dikhayalkan.

Manusia adalah makhluk “mengkhayal”. Tidak ada manusia yang tidak mengkhayal. Sebab, daya khayal merupakan salah satu perangkat mental yang kita miliki. Bahkan proses berfikir (tafakkur) dan berzikir (tazakkur), sama-sama melibatkan daya khayal.

“Khayal” atau “Mengkhayal” itu Apa?

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikannya sebagai: “lukisan (gambar) dalam angan-angan, fantasi, mereka-reka”. Khayal/mengkhayal dalam berbagai bentuknya juga disebut sebagai proses berimajinasi, melamun, mengingat, membayangkan, menerawang atau memvisualisasi.

Karena luasnya cakupan daya khayal, manfaatnya juga beragam. Mulai dari sangat bermanfaat, sampai sangat berbahaya. Dari wajib hukumnya, sampai kepada haram sifatnya. Karena itu, kita membagi dua jenis daya khayal. Pertama, “daya khayal kreatif” (positif). Kedua, “daya khayal destruktif” (negatif).

Manusia punya dua bentuk kesadaran: “lower-level self” (potensi buruk/fujur) dan “higher-level self” (potensi baik/taqwa). Apapun yang kita lakukan, selama itu mengarah kepada keburukan, itu salah. Termasuk mengkhayal. Sebaliknya, apapun aktifitas kita, selama itu memperkuat potensi taqwa, termasuk dengan mengkhayal, itu bagus.

Karena itu perlu dipahami, apa saja bentuk hal-hal “buruk/keji” (fujur) yang lahir dari mengkhayal. Serta hal-hal “baik/terpuji” (taqwa) yang bisa dicapai lewat mengkhayal.

Map of Consciousness” (Peta Kesadaran Manusia)

Kalau merujuk kepada “Peta Kesadaran” (Said Muniruddin, 2022), manusia terbagi tiga: basyariah, insaniyah dan kamaliyah. Segala potensi buruk, itu terjadi pada manusia kelas “basyariah” (manusia sebagai binatang/makhluk biologis). Sedangkan potensi-potensi taqwa, itu mulai berkembang pada level manusia “insaniyah”. Sementara kesempurnaan taqwa terjadi pada manusia kelas “kamaliyah”. Para nabi dan wali-walinya ada di kelas akhir ini.

“PETA KESADARAN” (Said Muniruddin, 2022)

Pada level “basyariah”, manusia berakting seperti binatang. Penuh ego dan nafsu. Disatu sisi itu bagus. Kita beranak karena potensi kebinatangan. Kita makan untuk mengisi perut juga karena adanya jiwa binatang. Ketika itu tidak terkontrol, kita jadi binatang betulan.

Pada level ini, nafsu/ego menjadi pemain utama yang mendorong kita kepada “kufur” (destruksi jiwa). Nafsu ammarah dan lawwamah muncul pada level basyariah ini. Sejumlah daya (force) yang mencuat pada level kesadaran basyariah meliputi: shame (humiliation), guilt (blame), apathy (despair), grief (regret), fear (anxiety), desire (craving), anger (hate), pride (scorn). Menurut David Hawkins (Power Vs. Force, 2014), semua daya itu bersifat merusak (force/destructive). Level energinya sangat lemah, dibawah 200. Iblis mendorong kita untuk terus berada di level ini.

Karena itu, ada jenis mengkhayal yang dapat membawa Anda ke dalam bentuk-bentuk kesadaran yang sangat rendah. Misalnya; mengkhayal pornografi, mengkhayal tentang kebencian, mengkhayal tentang keburukan/luka masa lalu, mengkhayal hantu, dan sejenisnya. Yang dengan ini semua seseorang bisa terus dalam keadaan putus asa, ketakutan, kebencian dan keras kepala (jahil, bodoh dan sombong).

Karena itu, agama mengajarkan maaf, berfikir positif, zikir dan sejenisnya; untuk mengobati sekaligus mengupgrade kesadaran kita agar naik ke level “insaniyah”.

Selanjutnya, level “insaniyah”. Pada level ini, binatang (hayawan) sudah menjadi manusia (insan). Sudah berakal dia. Karenanya, ia tidak lagi dikontrol oleh ego/nafsu. Adalah mind/akal yang menjadi “raja”. Karenanya penting memperkuat potensi aqliyah (intellect/reasoning), agar seseorang bisa berfikir rasional. Sehingga ia tidak mudah tertipu oleh naluri-naluri yang rendah.

Orang-orang pada level insaniyah akan mulai melakukan “tafakkur/tadabbur”. Kepribadian yang bertauhid, wahdatusy syuhud atau transcendental mindset terbentuk pada level insaniyah ini. Ia mulai berpikir tentang alam dan Tuhan. Ia mulai mengamati tanda-tanda di alam sebagai bentuk eksistensi Tuhan. Alam mulai dipahami sebagai wujud kebesaran Tuhan.

Manusia yang hidup pada level ini sudah mulai memiliki “power” (daya) yang positif/konstruktif. Dalam agama, kelompok insaniyah ini disebut sebagai orang-orang yang memiliki jiwa “mulhamah”. Mindsetnya mulai diilhami oleh ide-ide yang cerdas.

Dalam dirinya muncul daya semacam courage (affirmation), neutrality (trust), willingness (optimism), acceptance (forgiveness) dan reason (understanding). David Hawkins (Power Vs. Force, 2014), mengatakan, orang-orang pada level kesadaran ini memiliki nilai energi 200-499. Akal menjadi unsur independen yang mengarahkan gerak-gerik manusia.

Oleh sebab itu, ada daya khayal yang mendukung pengembangan potensi akal dan logika. Sekolah, mulai dari SD sampai menjadi profesor, adalah proses memahami ilmu melalui berbagai bentuk imajinasi aktif. Proses tadabbur juga bentuk “mengkhayal” untuk memahami hukum-hukum yang berlaku di alam. Lewat proses inilah lahir sains dan teknologi. Jadi, silakan mengkhayal sebagai bagian dari bentuk “reasoning and research” untuk memahami dan memecahkan berbagai persoalan dalam aneka sektor kehidupan.

Bahkan, mengkhayal hal-hal indah sekalipun, tentang masa lalu; itu juga dibolehkan. Relaksasi maupun visualisasi yang dilakukan banyak pengamal meditasi, juga bagian dari membangun “positive image” di alam bawah sadar. Kalau sering mengkhayal tentang sukses misalnya, besar kemungkinan kita akan sukses. Itu salah satu bentuk usaha membangun keberanian, keyakinan, optimisme, penerimaan dan pemahaman terhadap diri dan lingkungan. Semua ini bagian dari “positive thinking”.

Terakhir, level “kamaliyah”. Kalau merujuk ke David Hawkins (Power Vs. Force, 2014), orang-orang yang berada pada level ini sudah memiliki kesadaran energi pada angka 500-1000.

Mereka yang berada pada maqam ini sudah terserap dalam energi murni Al-Ilahi. Mereka bukan lagi sekedar “makhluk aqliyah”. Melainkan sudah mulai menjelma menjadi “makhluk ruhaniah”. Jiwanya sudah mulai terkoneksi dengan Jiwa Yang Maha Tinggi. Dalam bahasa Jalaluddin Rumi, mereka sebenarnya bukan lagi manusia. Melainkan sudah mulai mengalami transformasi menjadi “malaikat”. Kerjanya bukan lagi tafakkur an sich. Melainkan “tazakkur”. Bahkan sudah dizikirkan, sudah diingat dan dishalawati, oleh Allah. Sudah mengalami wahdatul wujud, ruhnya tercelup (sibghah) dalam Zat-Nya. Mereka mulai melihat dengan “mata” Allah. Mendengar dengan “telinga” Allah. Geraknya adalah gerak Allah. “La haula wala quwwata illa billah”. Kalamnya adalah wahyu ilahi. Fatwa-fatwanya adalah ilham laduni.

Kalau merujuk ke David Hawkins (Power Vs. Force, 2014), orang-orang seperti ini sudah memiliki kesadaran yang sangat agung (pure consciousness). Kesadaran mereka diliputi energi “gamma”. Penuh penampakan keajaiban Ilahi (revelation, karamah, mukjizat). Karakter mereka meliputi sifat-sifat seperti love (reference), joy (severenity), peace (bliss) dan enlightened (ineffable). Semua sifat ini, kalau dalam perspektif agama, dipunyai oleh mereka yang jiwanya sudah muthmainnah, mardhiyyah, radhiyah atau kamilah.

Para nabi, imam, wali, dan orang-orang shaleh ada pada level energi ini. Karena itu mereka disebut sebagai “utusan Tuhan” (khalifah), yang hadir untuk membawa power/syafaat atau “Rahmat” dari Tuhan (Rahmatan Lil’alamin, QS. Al-Anbiya: 107). Kalaupun bukan nabi, mereka disebut sebagai pewaris nabi (“tali Allah” dimuka bumi).

Apakah orang-orang ini masih hidup dengan cara mengkhayal? Iya, khayalan mereka sudah kelas tinggi. Mereka sudah hidup dengan “mengkhayal” (menghadirkan) Wajah Allah.

Apakah Allah punya Wajah? Iya, tapi bukan dalam makna fisik. Ada Wujud Ruhani dari Wajah itu. Itulah yang dihadirkan oleh para nabi dan wali-wali. Karena wujud Wajah tersebut ada pada dimensi ruhani, maka kita sebut sebagai “khayal”. Sebab, yang disebut khayal adalah “imajinasi mental”.

Bayangkan, shalat itu adalah bentuk perjumpaan kita dengan Allah. Shalat itu adalah ibadah untuk “mengkhayal”, untuk menghadapkan wajah mental-ruhaniah kita dengan Wajah Allah. “Inni wajjahtu wajhiya lilladzi fatarassamawati wal-ardh.” Kalau kemampuan “mengkhayal” kita tidak canggih, maka kitabtidak akan berhadapan dengan Allah.

Sebab, berbagai khayalan muncul dalam shalat. Apakah khayalan tentang pekerjaan, tentang jabatan, tentang anak, tentang istri dan sebagainya. Itulah yang disebut “lalai”. Khayalan kita terseret keberbagai hal ihwal duniawi. Maka, Sebaik-baik khayalan dalam shalat, adalah “mengkhayal” Wajah Tuhan kita. Sebab, itulah Wajah yang otonom dan kekal. Lainnya palsu, binasa:

O وَيَبْقَىٰ وَجْهُ رَبِّكَ ذُو ٱلْجَلَٰلِ وَٱلْإِكْرَامِ O كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ

“Semua wujud yang ada di bumi itu binasa. Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan” (QS. Ar-Rahman: 25-26).

Karena itu, dalam shalat dan semua ibadah, pikiran tidak boleh “kosong”. Hadirkan (“khayalkan”) selalu Wajah Allah. Kalau belum mengenal Wajah Allah, “khayalkan” wajah karamah, yang Allah ada bersamanya. Itulah yang dalam agama disebut “syahadat”: menyaksikan Allah, atau paling tidak menyaksikan (Wajah) Rasul Allah (syahadat rasul dan shalawat). Atau dalam tasawuf disebut “rabithah”. Menyaksikan wajah para pewaris Rasulullah. Wajah itulah yang menjadi “sanad ruhaniah” untuk wushul Ilallah.

Mengkhayal apapun, secara fikih tidak membatalkan shalat. Maka, khayalkan saja wujud yang dicintai Allah. Jangan kita khayal atau hadirkan berbagai wujud duniawi yang penuh setan. Berkiblatlah secara ruhaniah hanya kepada Wajah Allah. Atau kepada wajah yang tidak pernah menghadapkan qalbu dan wajahnya selain hanya kepada Allah.

Setiap orang pasti “mengkhayal”, apakah dalam zikir, shalat, ibadah dan pekerjaan lainnya. Pastikan kita hanya khusyuk mengkhayal kepada unsur-unsur suci, yang ada Cahaya Allah. Sebab, pada saat yang sama, Allah sebenarnya juga sedang “mengkhayal” (mengingat/bershalawat) kepada Kekasih-Nya itu. Dia tidak pernah melupakan para nabi dan wali-Nya. Di Wajah itulah pada hakikatnya kita bertemu dengan Allah. Vibrasi dan gelombang Al-Ilahi ada pada koordinat wajah yang suci.

Jadi, “mengkhayal” yang buruk-buruk, yang membuat jiwa kita terjatuh rendah, itu haram. Karena itu termasuk bagian dari “thulul amal” (panjang angan-angan). Sedangkan, “mengkhayal” wujud/wajah yang membawa kita dekat dengan Allah, itu sunnah. Bahkan wajib bagi para penempuh jalan menuju Allah. Sementara, kalau Anda ingin menghayal alam semesta untuk menemukan berbagai rahasia guna pengembangan peradaban manusia, ya silahkan saja.

Terkadang kita tidak tau, yang mana persisnya khayalan yang baik ataupun buruk. Apa yang kita anggap baik, terkadang buruk dalam pandangan Allah. Atau sebaliknya. Seorang ahli makrifat, mereka biasanya tau mana imajinasi yang baik dan mana yang buruk, berdasarkan teguran Allah.

Seringkali, saat sedang melamun, mereka ditegur langsung oleh Allah; manakala yang dikhayalkan itu masuk kategori “thulul amal” (panjang angan-angan). Sebab, pikiran kita bisa menjadi liar dan masuk ke lorong tidak berujung. Allah akan peringatkan kekasihnya agar tidak melanjutkan lamunannya itu. Atau sebaliknya, apa yang divisualkan itu akan dikonfirmasi sebagai sebuah kebenaran oleh Allah, jika itu memang kebenaran. Itulah kelebihan daya khayali para ahli sufi, yang ruhnya telah tercelup dalam samudera Ilahi.

Penutup

Berikut sejumlah dalil tentang pentingnya “mengkhayal” (menghadirkan) unsur-unsur suci dalam beribadah:

يَنْبَغِي لِلْمُصَلِّي أَنْ يَسْتَحْضِرَ فِي هَذَا الْمَحَلِّ جَمِيعَ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْمُؤْمِنِينَ. (فتح الباري بشرح صحيح البخاري للحافظ ابن حجر العسقلاني، بيت الأفكار الدولية بعمان، 2000، ص643)

“Seyogyanya bagi orang yang tengah melakukan shalat menghadirkan pada posisi ini (saat membaca tahiyat) seluruh nabi, malaikat dan orang-orang beriman” (Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari, Yordania: Bait al-Afkar ad-Dauliyah, 2000, hlm. 643)

فَإِنْ لَمْ يَحْضُرْ قَلْبُكَ وَلَمْ تَسْكُنْ جَوَارِحُكَ لِقُصُورِ مَعْرِفَتِكَ بِجَلَالِ اللهِ تَعَالَى فَقَدِّرْ أَنَّ رَجُلًا صَالِحًا مِنْ وُجُوهِ أَهْلِ بَيْتِكَ يَنْظُر إِلَيْكَ لِيَعْلَمَ كَيْفَ صَلَاتُكَ فَعِنْدَ ذَلِكَ يَحْضُرُ قَلْبُكَ وَتَسْكُنُ جَوَارِحُكَ. (بداية الهداية لحجة الإسلام أبي حامد الغزالي، دار صادر ببيروت، ط1، 1998، ص79)

“Apabila (di dalam shalat) hatimu tidak hadir dan anggota badanmu tidak tenang karena keterbatasan pengenalanmu terhadap keagungan Allah Swt. maka bayangkanlah orang shalih dari keluargamu sedang melihatmu dan mengawasi shalatmu, niscaya saat itu hadirlah hatimu dan tenanglah anggota badanmu” (Imam al-Ghazali, Bidayah al-Hidayah, cet. ke-1, Beirut: Dar Shadir, 1998, hlm. 79)

يُرْوَى عَنْ حَاتِم الْأَصَم رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ صَلَاتِهِ فَقَالَ: إِذَا حَانَت الصَّلَاةُ أَسْبَغْتُ الْوُضُوءَ وَأَتَيْتُ الْمَوْضِعَ الَّذِي أُرِيدُ الصَّلَاةَ فِيهِ فَأَقْعُد فِيهِ حَتَّى تَجْتَمِعَ جَوَارِحِي ثُمَّ أَقُوم إِلَى صَلَاتِي وَأَجْعَل الْكَعْبَةَ بَيْنَ حَاجِبي وَالصِّرَاطَ تَحْتَ قَدَمِي وَالْجَنَّةَ عَنْ يَمِينِي وَالنَّارَ عَنْ شِمَالِي وَمَلَكَ الْمَوْتِ وَرَائِي. (إحياء علوم الدين لحجة الإسلام أبي حامد الغزالي، دار ابن حزم ببيروت، ط1، 2005، ص179)

“Diriwayatkan dari Hatim al-Asham Ra. bahwa beliau pernah ditanya tentang shalat beliau, maka beliau berkata: Apabila tiba waktu shalat, aku sempurnakan wudhu lalu datang ke tempat shalat dan duduk di sana hingga terkumpul (kesiapan) anggota badanku, kemudian aku berdiri melakukan shalat dan menjadikan/membayangkan Ka’bah di hadapan mataku, titian Shirath al-Mustaqim di bawah kakiku, surga di kananku, neraka di kiriku dan malaikat maut di belakangku” (Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, cet. ke-1, Beirut: Dar Ibn Hazm, 2005, hlm. 179)

عن ابن عباس – رضي الله عنهما - قال: قيل: يا رسول الله, أيُّ جلسائنا خيرٌ. قال: » من ذكَّركم الله رؤيته, وزاد في علمكم منطقه, ذكَّركم بالآخرة عملُه « [رواه أبو يعلى, ورواته رواة الصحيح إلا مبارك ابن حسَّان].
Dari Ibnu Abbas semoga Allah meridhoi keduanya, dia berkata: 'Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam pernah di tanya; 'Ya Rasulallah, siapakah teman duduk yang paling baik? Beliau menjawab: "Orang yang ketika kamu melihatnya membuatmu teringat Allah, dan apabila kamu mendengar perkataannya akan membuatmu bersemangat untuk menambah amal kebaikan , dan orang yang amalannya membuatmu mengingat akhirat" (HR Abu Ya'la dan para perawinya semuanya shahih selain Mubarak bin Hasaan)

نَّ اَبَا بَكْرِ الصِّدِّيْق رَضِىَ الله عَنْهُ شكا لِلنَّبِىِّ عَدَمَ انْفِكاَكِهِ. عَنْهُ حَتىَّ فِى الْخَلاَءِ

"Bahwa Abu Bakar as Shiddik mengadukan halnya kepada Rasulullah Saw bahwa ia tidak pernah lekang (terpisah ruhaninya) dari Nabi Saw sampai ke dalam WC" (HR. Bukhari)

 قَالَ: الَّذِيْنَ إِذَا رُؤُوْا ذُكِرَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ رضي الله عنه قَالَ: سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: مَنْ وْلِيَاءُ اللهِ

Dari Abu Sa’id al-Khudri RA, berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya: “Siapakah para wali Allah?” Beliau menjawab: “Yaitu orang-orang yang apabila dilihat, maka orang yang melihatnya akan ingat kepada Allah

كن مع الله وان لم تكن مع الله فكن مع من كان مع الله فانه يوصلك الى الله
“Hendaklah kamu bersama Allah, dan kalau tidak bersama Allah, hendaklah kamu bersama orang yang bersama Allah karena sesungguhnya orang itulah yang akan menyampaikan kamu kepada Allah” (HR. Abu Daud).

 ‏عن ‏ ‏أسماء بنت يزيد، أنها سمعت رسول الله ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏يقول: « ‏ ‏ألا أنبئكم بخياركم؟ قالوا: بلى يا رسول الله! قال: خياركم الذين إذا رءوا ذكر الله عز وجل» 

“Dari Asma binti Yazid, bahwa ia telah mendengar Rasulullah, Saw bersabda: “Ingatlah aku memberitakan kepada kalian dengan sebaik-baiknya kalian”? mereka berkata: “baik ya Rasulullah”, Nabi Saw bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah orang-orang yang apabila dilihat maka menjadi ingat kepada Allah” (Hilyatul Auliya)

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَوْ غَيْرِهِ أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ - صَلَّىاللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فِي النَّوْمِ فَبَقِيَ بَعْدَ أَنِ اسْتَيْقَظَ مُتَفَكِّرًا فِي هَذَا الْحَدِيثِ فَدَخَلَ عَلَى بَعْضِ أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِينَ ، وَلَعَلَّهَا خَالَتُهُ مَيْمُونَةُ، فَأَخْرَجَتْ لَهُ الْمِرْآةَ الَّتِي كَانَتْ لِلنَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَنَظَرَ فِيهَا فَرَأَى صُورَةَ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - وَلَمْ يَرَ صُورَةَ نَفْسِهِ ، وَنُقِلَ عَنْ جَمَاعَةٍ مِنَ الصَّالِحِينَ أَنَّهُمْ رَأَوُاالنَّبِي َّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –
Al Imam Ibn Hajar Al Asqalany di dalam kitabnya Fathul Bari bisyarh Shahih Al Bukhari mencantumkan satu riwayat dari ibnu abbas, dari ibnu jamrah, mengingat bahwa salah satu istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ummulmu'minin maimunah binti harits, radhiyallahu anhu, ketika didatangi oleh salah seorang sahabat yang ingin melihat wajah nabi”, berkatalah ummul mu’minin ra: “apakah engkau ingin melihat wajah Rasulullah?”, sahabat itu berkata: “iya, wahai ummul mu’minin”, maka ummul mu’minin mengeluarkan sebuah cermin kecil dan di cermin itu tergambarkan wajah wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Cermin itu ketika dipakai bercermin oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam maka cermin itu tidak mau lagi memunculkan wajah yang lainnya kecuali wajah nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam maka cermin itu tidak mau menangkap pemandangan yang lain selain wajah nabi Muhammad shallallahu‘alaihi wasallam, ummul mu’minin berkata: “ Jika aku merindukan Rasulullah maka aku buka cermin ini dan aku melihat wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam” (Diriwayatkan dari Ibnu Abbas dalam kitab syarah al-Syama`il dan Fathul bari, karya Ibn Hajar)

السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِىُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ , أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ , اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ
Doa rabithah/tasyahud/salam terhadap Nabi, wali dan orang-orang shaleh dalam shalat. Qalbu kita membayangkan wajah Nabi SAW, serta orang-orang shaleh yang memiliki sifat dan akhlak yang agung

اِنِّىۡ وَجَّهۡتُ وَجۡهِىَ لِلَّذِىۡ فَطَرَ السَّمٰوٰتِ وَالۡاَرۡضَ حَنِيۡفًا‌ وَّمَاۤ اَنَا مِنَ الۡمُشۡرِكِيۡنَ‌ۚ‏
"Aku hadapkan wajahku kepada (Wajah Allah) yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik" (QS. Al-An'am: 79)

وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِ وَهَمَّ بِهَا لَوْلَا أَنْ رَأَى بُرْهَانَ رَبِّهِ كَذَلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ
“Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih” (QS. Yusuf: 24)

“يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ” (المائدة: 35)

“Wahai orang-orang, beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (bertawassullah) untuk mendekatkan diri kepada-Nya” (QS. al-Ma’idah: 35)

“يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ” (التوبة: 119)

“Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu (selalu) bersama orang-orang yang benar/shalih (secara lahir maupun batin)” (QS. at-Taubah: 119)

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اصْبِرُوْا وَصَابِرُوْا وَرَابِطُوْاۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ ࣖ
Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu, kuatkanlah kesabaranmu, tetaplah bersiap siaga di perbatasan (negerimu), dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung

قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ ۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
Katakanlah (Nabi Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang

O وَيَبْقَىٰ وَجْهُ رَبِّكَ ذُو ٱلْجَلَٰلِ وَٱلْإِكْرَامِ O كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ
“Semua wujud yang ada di bumi itu binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan” (QS. Ar-Rahman: 25-26)

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. (QS. Ali ‘Imran: 190)

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

#powered by SUFIMUDA
___________________
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: 
saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok:
 tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twittertwitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2

Bagikan:

One thought on “APA HUKUM “MENGKHAYAL”?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Next Post

KUASAI DUNIA DENGAN AKAL, KUASAI AKHIRAT DENGAN HATI

Thu Nov 9 , 2023
Jurnal

Kajian Lainnya

SAID MUNIRUDDIN adalah seorang akademisi, penulis, pembicara dan trainer topik leadership, spiritual dan pengembangan diri.