Jurnal Suficademic | Artikel No.121 | Desember 2023
AGAMA DAN SAINS: DARI “DUGAAN” KEPADA “KEPASTIAN”
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM. Coba perhatikan.
Kalau kita mengirim WA ke seseorang, jika sudah tercentang biru, itu indikasi bahwa pesan sudah diterima/dibaca. Coba kirim artikel ke jurnal akademik tertentu, kalau sudah muncul pesan “accepted”, itu indikasi bahwa tulisan Anda sudah diterima. Kalau muncul “reviewed”, berarti sedang diperiksa. Coba isi laporan kinerja semesteran, lalu upload ke platform instansi tempat Anda bekerja. Kalau sudah terkirim, pasti muncul pesan “sedang diperiksa”. Setelah diperiksa, muncul notifikasi “lulus” atau “belum lulus”.
Ada banyak sekali teknologi dalam jasa bisnis dan layanan publik, yang memberikan kepastian terhadap sebuah “proses” maupun “hasil”. Apakah sudah diterima, sudah lulus, sedang diperiksa, sudah sampai, sudah sesuai, sudah disetujui dan sebagainya. Ini pertanda, sains punya alat indikatif, bahwa sesuatu dapat terkonfirmasi secara pasti.
Karena itulah sains dan teknologi begitu digandrungi, dianggap ilmiah dan mampu memberi jawaban yang konkrit terhadap sebuah kebutuhan. Teknologi bisa mengumpulkan dan mengolah data secara cepat, lalu menyajikan informasi secara akurat. Sains telah bekerja secara sangat efektif dan efisien. Sains telah memberi kemudahan dan kepastian dalam berbagai bidang kehidupan. Karena itu, orang-orang seperti Yuval Noah Harari percaya, bahwa sains dan teknologi dengan kecanggihan cara kerja algoritma, akan menjadi “tuhan” di masa depan.
Bagaimana dengan agama, bisakah memberikan jawaban dan kepastian terhadap kebutuhan manusia?
***
Agama sebenarnya juga bisa begitu. Agama juga sains, tapi dalam ranah spiritual (sains metafisika). Sebagaimana halnya sains, agama juga memiliki dua level pengetahuan: (1) “hipotetis”, dan (2) “kepastian”. Pada level hipotetis, agama dan sains hanya berupa keyakinan/dugaan (beliefs). Tidak ada jawaban yang pasti. Sesuatu hanya diduga ada, atau diduga tidak ada. Diduga benar, atau diduga salah. Diduga baik, atau diduga buruk. Silakan menduga-duga.
Misalnya, tadi pagi Anda melaksanakan shalat subuh. Pertanyaannya, apakah shalat tersebut telah pasti diterima oleh Allah? Tidak ada jawaban pasti. Paling-paling hanya dugaan, “InsyaAllah diterima”. Pada level hipotetis, orang-orang berusaha untuk berbaik sangka (husnuzhan). Walau juga ada kemungkinan ibadah kita tidak diterima.
Bayangkan, agama sebagai kebenaran tertinggi, menjadi sesuatu yang “tidak pasti”. Hanya dugaan dan husnuzhan semata. Kita tidak tau apakah shalat, puasa, zakat, sedekah, haji dan berbagai amalan yang kita lakukan sepanjang hari ini; itu diterima atau tidak. Kita tidak tau mana yang diterima, mana yang ditolak. Wallahu ‘alam bish-shawab. Hanya Allah yang tau. Agama menjadi begitu “abu-abu”.
Itu agama dan sains pada level hipotetis, tidak ada jawaban yang pasti. Sementara, agama dan sains ketika sudah melewati tahap metodologis, akan mampu memberi jawaban secara pasti. Itulah agama yang “haq” (haqqul yakin). Agama yang hak adalah agama yang sudah pada level kepastian; proven, konfirmatif dan validatif.
Misalnya, Anda melaksanakan shalat. Anda akan mendapat jawaban secara “pasti”, bahwa shalat Anda diterima ataupun ditolak. Sehingga Anda tidak perlu berspekulasi dalam ibadah. Anda dapat mengulang kembali shalat yang keliru, sehingga benar-benar diterima. Atau memperbaiki dimana yang salah, sehingga kedepannya tidak tertolak lagi. Itu ilmu pasti. Itulah kebenaran atau pengetahuan yang hakiki. Levelnya “haq” (pasti). Kalau masih level menduga dan berbaik sangka, itu pengetahuannya masih bersifat “ilmul yakin” (teoritis/hipotetis).
Dalam tradisi ilmiah, pengetahuan yang bersifat teoritis dan hipotetis ada di Bab 2. Masih diperlukan pembuktian. Perlu metode dan teknik/teknologi untuk memperoleh jawaban yang pasti. Semua hal terkait metodologi, itu ada di Bab 3. Baru kemudian di Bab 4 kita dapatkan jawaban-jawaban yang pasti terhadap apa yang kita duga/yakini sebelumnya. Sementara Bab 5 adalah “kesimpulan” (pengetahuan makrifah) terhadap terhadap sesuatu.
Sains, melalui aneka metodologi dan teknologi, telah mampu mencapai derajat “kepastian” dalam memberi jawaban terhadap banyak fenomena/hal. Sementara agama justru tertinggal. Agama justru masih hidup di wilayah “belief” (teori dan hipotesa).
Itulah agama yang belum ter-upgrade. Cara kita beragama rata-rata masih di Bab 2. Masih berkutat dengan hipotesis, dalil teori dan argumentasi (syariah). Sementara, agama para “expert” semacam nabi; sudah masuk ke Bab 3, 4 dan 5. Semuanya sudah bisa dibuktikan dan dirasakan secara pasti. Allah sekalipun bukan lagi wujud teori. Malah bisa diajak berkomunikasi. Malaikat bisa dijumpai. Akhirat bisa dilihat. Qadar pun bisa diketahui. Itu agama yang “pasti”. Hijab fenomena telah tersibak. Jawaban sudah bisa diperoleh secara “hakiki”. Wujud ontologis yang ingin dipahami sudah tidak gaib lagi.
Untuk masuk ke level memperoleh jawaban-jawaban pasti, agama harus di up-grade, dari dalil teori (syariah) ke metodologi pembuktian (tarikah). Pada level tarikah inilah nantinya akan diperkenalkan teknologi spiritual, yang bisa mengakses berbagai jawaban secara “pasti”. Dalam layar jiwa manusia bisa muncul jawaban-jawaban indikatif dan langsung dari sisi Tuhan. Ada isyarah yang hadir, apakah sesuatu yang ia kerjakan bernilai halal, haram, diterima, ditolak dan sebagainya. Sehingga seseorang mengetahui secara akurat; apakah shalat, puasa, zakat, haji dan semua muamalah yang ia kerjakan sepanjang hari, diterima atau ditolak.
“Al-haqqu min rabbik”. Bagi yang sudah sampai pada level mukasyafah rabbaniyah, agama adalah kebenaran yang pasti. Jika tidak, agama akan terus menjadi dugaan, perdebatan atau argumentasi. Agama itu sains spiritual, yang harus terus di update; agar sampai pada tingkat kebenaran yang valid, absolut atau objektif.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.
#powered by SUFIMUDA
___________________
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok: tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter: twitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2