DUA KUNCI REJEKI

Bagikan:

Jurnal Suficademic | Artikel No. 05 | Januari 2024

DUA KUNCI REJEKI
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM. Bahkan seorang nabi pun harus berdagang, untuk mendapatkan uang. Apalagi kita.

Artinya, tidak ada rejeki yang turun dan bisa diakses secara langsung dari langit. Tidak ada yang namanya “hujan duit”. Hujan selalu dalam bentuk air. Bagaimana cara kita memanfaatkan air, itulah yang akan menentukan perolehan rejeki.

Iya, rejeki sudah disiapkan Tuhan. Itu bahasa cliche-nya. Namun, mesti ada “mediating” variabel untuk mendapatkannya. Ada unsur “perantara” (mediator) yang harus ditemukan, guna menjolok rejeki yang ada di sisi Tuhan. Perantara tersebut adalah usaha, bisnis, lobi, negosiasi, dan berbagai semangat dan skil entrepreneuship lainnya.

Jadi, rejeki itu diperoleh dengan berkat “ikhtiar”. Harus ada etos kerja yang kuat untuk memperoleh rejeki. Ketika ini tidak ada, seribu tahun berdoa pun, rejeki tidak akan datang.

Karena itulah, rajin beribadah tidak menjamin seseorang untuk mudah rejeki. Sholat siang malam, tidak akan mendatangkan uang. Cina bisa kaya, tanpa perlu sholat. Yahudi juga begitu, walau jahat, tapi kaya raya. Rejeki adalah wilayah dalam “hukum rahman” Tuhan, sebuah sunnatullah yang berlaku universal. Siapa yang giat, dia dapat. Siapa yang cerdik, rejeki bisa ditarik.

Itu hukum pertama dalam mendapat rejeki. Ada variabel “mediator” yang menjembatani antara kita dengan rejeki. Rejeki hanya bisa diperoleh dengan cara bekerja. Perlu usaha untuk mendapatkannya. Itulah fenomena imam syafii. Harus bekerja, baru dapat rejeki.

Hukum 1: “Rejeki tidak turun dari langit”

***

Hukum kedua adalah, ada “moderating” variabel untuk memperoleh rejeki. Kemudahan untuk mendapat rejeki, dipengaruhi oleh amalan tertentu. Besar atau kecilnya kesempatan mendapat rejeki, juga dipengaruhi oleh hubungan kita dengan Tuhan. Rejeki bisa sempit, kalau kita banyak dosa. Rejeki bisa tertutup, kalau kita jauh dari Tuhan. Begitu juga sebaliknya.

Disinilah kemudian ada amalan-amalan, yang dapat membuka peluang dan menarik rejeki. Zikir malam dan sholat subuh misalnya, kalau dilakukan pada level gelombang kesadaran tertentu (pada model kekhusyukan tertentu), bisa mensingkronkan alam dengan kebutuhan kita. Rejeki juga bisa berlimpah misalnya, ketika dimoderasi oleh sedekah.

Ada “hukum rahim” Tuhan yang bekerja, sebuah sunnatullah yang bisa memperkuat atau memperlemah hubungan kita dengan rejeki. Ada pintu rejeki yang terbuka dari arah tidak terduga, jika amalan dan kedekatan dengan Tuhan bisa dibangun (QS. At-Thalaq: 2-3). Kedekatan dengan guru dan orang tua juga begitu, bisa melapangkan banyak urusan dan menyelesaikan banyak masalah.

Itulah kenapa Imam Malik, duduk-duduk saja, bisa dapat rejeki. Yang antar, imam Syafii. Bukan Imam Malik tidak bekerja. Ia bekerja. Meskipun pekerjaannya tidak secara langsung untuk menarik uang, tapi apa yang dia lakukan dengan amalan-amalannya, bisa memperkuat hubungannya dengan rejeki.

Hukum 2: “Jiwa adalah magnet bagi rejeki”

Penutup

Umat Islam mesti giat dan cerdas dalam bekerja. Agar kaya raya. Selanjutnya, bangun hubungan khusus dengan Allah SWT, agar jiwa menjadi baik; sehingga banyak memperoleh keberuntungan dan kebaikan, serta dilapangkan segala urusan. Kita bukan umat fatalis, yang pasrah pada nasib. Kita harus progresif, sekaligus rendah hati.

Iya, kita tidak membantah bahwa rejeki ada disisi Tuhan. Tapi itu diperoleh dengan dua variabel kunci: “dimediasi” oleh usaha, dan “dimoderatori” oleh amal shaleh tertentu. Keduanya harus digunakan. Rejeki diperoleh dengan cara dimediasi secara langsung oleh proses dan strategi kerja, dan juga perlu dimoderasi oleh doa-doa. Nabi kita mati-matian, berdarah-darah dalam memperjuangkan Islam. Itu hukum pertama. Tapi, tanpa pertolongan Tuhan, mirip-mirip mustahil Beliau bisa menang. Itu hukum kedua.

Sering seseorang bekerja mati-matian, namun hasilnya menyakitkan, tidak seperti yang diharapkan. Ketika “let’s work” tidak berkerja, boleh dicoba “letting it work”. Pasrahkan saja. Biarkan Tuhan yang bekerja. Itulah doa.

Kalau kita perluas lagi, rejeki bukan hanya uang (materi). Tapi juga berbagai bentuk “keluangan” (kelapangan hati/jiwa) dan juga kesehatan. Banyak orang kaya, punya jabatan, rumahnya luas dan besar; tapi hidupnya tertekan. Tidak sedikit yang mengakhiri hidupnya, justru saat berada dipuncak kekayaan dan kemasyhuran. Jiwanya sempit, sehingga tidak mampu menampung dunia dengan segala persoalan. Itulah kenapa, relasi dengan Tuhan akan memperkaya jiwa. Jiwa yang sehatlah yang akan menarik rejeki, lahir dan batin.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: 
sayyidmuniruddin.com
TikTok: tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/Habib.Munir/
Twitter-Xx.com/saidmuniruddin
Channel WA: The Suficademic
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2

Bagikan:

2 thoughts on “DUA KUNCI REJEKI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Next Post

AGAMA ITU SYAHADAH

Sun Jan 7 , 2024
Jurnal

Kajian Lainnya

SAID MUNIRUDDIN adalah seorang akademisi, penulis, pembicara dan trainer topik leadership, spiritual dan pengembangan diri.