
Jurnal Suficademic | Artikel No. 08 | Januari 2024
JANGAN TERGESA-GESA!
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM. Saya termasuk orang yang suka tergesa-gesa. Ketika sudah bersemangat, seolah-olah tidak ada lagi waktu, saya ingin buru-buru mengerjakan sesuatu. Tidak jarang, saya menjadi sangat reaktif. Kalau ada orang ngomong, rasanya ingin cepat-cepat saya balas. Kalau ada pendapat berbeda, pasti detik itu juga saya bantah. Kalau timbul keinginan, rasanya saat itu juga ingin saya aktualkan.
Lama-lama saya sadar. Ternyata, tergesa-gesa bukanlah sesuatu yang baik. Ada saja persoalan yang kita hadapi, yang memancing reaksi. Mulai sejak bangun pagi sampai tidur lagi. Dari stimulus suara alarm pagi, tidak adanya air di kamar mandi, minimnya menu di dapur, surat yang menumpuk di kantor, jalanan yang macet, anak dan istri yang menuntut, dan entah apa-apa lagi. Semua hal yang memancing getaran pada impuls saraf, seringkali kita respon secara reaktif.
Coba pelajari diri. Kita tersusun dari struktur emosi dan pikiran, yang bekerja sangat cepat. Setiap ada sentuhan dari luar, kita akan bereaksi. Bahkan sangat reaktif. Tidak mau menunggu lama, tanpa berpikir jauh, kita langsung membalas kalau ada yang menyentil perasaan kita. Kita terdorong untuk terpancing, saat ada sesuatu yang kita anggap sebagai serangan. Kita adalah makhluk penuh nafsu dan keinginan, untuk memiliki ini dan itu. Kita langsung mengambil keputusan untuk bertindak atau berbicara, tanpa jeda untuk berpikir tentang baik buruk sesuatu.
Begitulah cara kerja “diri” kita yang paling rendah. Reaktif dan tergesa-gesa. Lama-lama, jika tidak segera diperbaiki, kita akan habis terbakar oleh kebiasaan ini. Sebab, sesuatu yang keluar dari ketergesaan, yang tidak didasari kejernihan spiritual, itu mirip dengan doa-doa yang buruk, yang dia kira baik:
وَيَدْعُ الْاِنْسَانُ بِالشَّرِّ دُعَاۤءَهٗ بِالْخَيْرِۗ وَكَانَ الْاِنْسَانُ عَجُوْلًا
“Dan Manusia (seringkali) berdoa untuk kejahatan sebagaimana (biasanya) dia berdoa untuk kebaikan. Dan memang manusia bersifat tergesa-gesa” (QS. Al-Isra’: 11)
Karena itulah, orang-orang bijak sering meminta kita untuk menghitung sampai 10, sebelum merespon sesuatu. Paling tidak, ada sedikit jeda yang diperlukan untuk munculnya pemikiran menjadi jernih. Bahkan, kita disuruh berwuduk, jika sedang marah. Sebenarnya itu bagian dari mencari jeda dan ketenangan, melalui sentuhan elemen tertentu.
Mengobati Ketergesaan
Mayoritas manusia beroperasi pada mode “respon-reaktif”. Mereka terus menerus melakukan itu, hingga menjadi kebiasaan. Banyak yang tidak sanggup menahan diri saat mendapat sebuah stimulus. Sehingga bisa meledak dan salah dalam membangun persepsi dan keputusan. Sedikit yang ahli dalam mengambil jeda, untuk merespon secara hati-hati apa yang berkembang di sekeliling mereka. Juga untuk merespon dengan intuisi yang mendalam, tentang apa yang terjadi di dalam diri mereka.
Sebenarnya sederhana. Kunci dari semua ini adalah membangun sedikit ruang untuk “sabar”. Sabar adalah sebuah bentuk the art of timing. Jika mau berhenti, atau bersabar sejenak, akan muncul aneka “pencerahan” (keberuntungan). Baik dalam skala intelektual maupun spiritual:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اصْبِرُوْا وَصَابِرُوْا وَرَابِطُوْاۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu, kuatkanlah kesabaranmu, tetaplah bersiap siaga (stay aware/kuatkan rabithah), dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung” (QS. Aali Imran: 200)
Pertama, secara intelektual, jeda adalah timing waktu yang dibutuhkan untuk berpikir lebih dalam. Ada waktu kosong antara sebuah stimulus dan respon yang kita berikan. Di celah waktu inilah muncul respon lebih rasional atas apa yang kita hadapi. Hanya saja, “jeda” ini bisa hanya beberapa detik saja. Bahkan bisa berhari-hari, sebelum kemunculan sebuah pemikiran yang jenius.
Kedua, secara spiritual juga demikian. Bagi Anda yang mendalami ilmu-ilmu spiritual, “jeda” inilah yang disebut wara’. Secara harafiah, wara’ artinya menahan diri, berhati-hati, atau menjaga diri agar tidak terjatuh pada kecelakaan. Seorang muslim sejati, yang bertaqwa kepada Allah, memiliki kecakapan untuk mengambil jeda, berhenti, menunggu atau diam sejenak (wukuf qalbi); saat menghadapi segala bentuk persoalan dan kejadian. Dalam celah jeda itulah biasanya muncul “suara Tuhan” (wahyu/ilham).
Tapi pengalaman sempurna terkait ini hanya bisa dialami ketika seseorang telah melakukan set-up terhadap wadah kejiwaan (tazkiyah an-nafs). Melalui proses suluk, selama 40 hari misalnya, seperti yang dijalani Musa di gunung Sinai, struktur ruhani seseorang menjadi kuat untuk menerima pesan yang lebih tinggi dari sekedar gelombang akal. Ia bisa terkoneksi dengan gelombang Kalamullah. Sehingga lewat proses diam, ia mampu mendengar dengan jelas respon yang pantas diberikan terhadap sebuah stimulus di alam duniawi. Ia bisa mendengar bisikan, bahkan bercakap-cakap dengan Tuhan.
Tapi, untuk publik awam, teknik “diam” ini diajarkan lewat panduan syariat umum melalui perintah shalat. Minimal ada 5 kali jeda dalam sehari semalam, untuk menjernihkan pikiran. Sebenarnya, makin banyak melakukan shalat justru semakin baik. Tapi, kalau shalat terus menerus, kita tidak bisa bekerja. Padahal, semakin banyak jeda semakin baik.
Karena itu, ada teknik “jeda” lain yang diajarkan dalam tarikat. Dan ini hebat sekali. Kita bisa melakukan jeda “terus-menerus”. Kenyataannya, sepanjang hari kita akan mendapat stimulus. Setiap jam bahkan menit, selama 24 jam, ada saja informasi yang masuk; yang membutuhkan sikap kita untuk merespon. Selama 24 jam itu pula, dalam setiap celah jam dan menit itu, Anda harus mengambil jeda, guna menghadirkan Tuhan untuk menjawab semua persoalan Anda.
Teknik jeda “terus menerus” warisan para nabi inilah yang disebut sebagai “shalat daim” (QS. Al-Ma’arij; 23). Shalat daim adalah metode wukuf qalbi. Sebuah teknik jeda, untuk menarik diri dari “dunia” secara terus menerus. Karena itulah, para nabi, selain sangat sibuk bekerja untuk dunia, pada saat yang sama juga punya kemampuan untuk menarik diri dari urusan dunia; dan membiarkan hanya Tuhan yang bekerja (letting God work).
Para nabi dan orang-orang shaleh, kalau Anda melihat mereka sedang bekerja, itu sebenarnya mereka juga sedang shalat dalam makna hakiki. Saat bekerja, hadir Tuhannya. Dalam sibuk itulah hati mereka senantiasa mengambil jeda. Sehingga, setiap keputusan yang diambil, selalu ikut serta Tuhannya. Karena itulah, kesucian jiwa selalu menyertai mereka.
Penutup
“Jangan tergesa-gesa”. Ini bukan nasehat untuk melambat-lambatkan sesuatu. Bukan pula bermakna menunda-nunda pekerjaan. Bukan juga berarti abai dan tidak mau cepat dalam menuntaskan sesuatu. Melainkan, bersabarlah sejenak. Jangan reaktif. Jangan terburu-buru dengan dorongan nafsu. Ambillah jeda (wukuf) antara sebuah stimulus yang Anda terima, sampai muncul pemikiran yang jernih untuk meresponnya. Lebih dalam lagi, tunggu sampai hadir “tanda-tanda”, sampai Tuhan berbicara:
خُلِقَ الْاِنْسَانُ مِنْ عَجَلٍۗ سَاُورِيْكُمْ اٰيٰتِيْ فَلَا تَسْتَعْجِلُوْنِ
Manusia diciptakan tergesa-gesa. Kelak Aku akan memperlihatkan kepadamu tanda-tanda dari Ku. Maka, janganlah kamu meminta Aku menyegerakannya” (QS. Al-Anbiya: 37)
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: sayyidmuniruddin.com
TikTok: tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/Habib.Munir/
Twitter-X: x.com/saidmuniruddin
Channel WA: The Suficademic
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2
Terima kasih.