CERMIN ILAHI

Bagikan:

Jurnal Suficademic | Artikel No. 09 | Januari 2024

CERMIN ILAHI
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM. Allah yang Ahad, itu jauh; sekaligus dekat. Allah yang bisa dijangkau adalah Allah yang dekat. Namun, yang maha dekat itupun, perlu “cermin” untuk bisa dilihat.

Allah Jauh, Allah Dekat

Benar, Allah itu maha jauh (transenden). Tidak serupa dengan apapun. Tidak bisa dibayangkan. Tidak bisa di dengar. Tidak bisa dilihat. Tidak bisa diajak berbicara. Sehingga tidak bisa dijangkau. Itu wujud Dia dalam kemisteriusan abadi, dalam keazalian awal. Jangan mencari Dia dalam wujud ini. Dia adalah “matahari” yang wujud mutlak-Nya tidak akan pernah terjangkau oleh mata inderawi. Kalau dipaksa untuk melihat, bisa buta, bisa gila kita.

Tapi, Dia juga wujud Cahaya, sebuah esensi yang terpancar langsung dan tidak pernah terpisah dari “matahari”. Dia, dalam wujud isyraqi, terpancar kemana-mana. Sehingga membentuk segala sesuatu. Dia hadir dengan ciptaan, dalam ciptaan, melalui ciptaan. Dia ada, dimanapun engkau berada. Dia maha besar. Realitas-Nya maha meliputi, ada disegenap ufuk, juga di dalam diri. Dia bertajalli, termanifestasi dalam segenap tanda-tanda:

اَلَآ اِنَّهُمْ فِيْ مِرْيَةٍ مِّنْ لِّقَاۤءِ رَبِّهِمْ ۗ اَلَآ اِنَّهٗ بِكُلِّ شَيْءٍ مُّحِيْطٌ ࣖ o سَنُرِيْهِمْ اٰيٰتِنَا فِى الْاٰفَاقِ وَفِيْٓ اَنْفُسِهِمْ حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ اَنَّهُ الْحَقُّۗ اَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ اَنَّهٗ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدٌ

"Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kehadiran) Kami di segenap penjuru alam dan pada diri mereka sendiri sehingga jelaslah bagi mereka bahwa itu adalah benar. Tidak cukupkah bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu? Ketahuilah, sesungguhnya mereka dalam keraguan tentang pertemuan dengan Tuhan mereka. Ketahuilah, sesungguhnya Dia Maha Meliputi segala sesuatu" (QS. Fussilat: 54)

Dimanakah Allah yang Dekat itu?

Dia hadir dalam wujud “ayat-ayat qauni” (ufuk alam). Sehingga bisa dilacak dan ada dimana-mana. Dia inheren (immanen) dalam segala sesuatu. Karena itu, alam ini sacred, ada cahaya-Nya, ada ruh malakut-Nya. Demikianlah Kami memperlihatkan kepada Ibrahim wujud malakut Kami di langit dan bumi dan agar dia termasuk orang-orang yang yakin (QS. Al-‘Araf: 75). Ada malaikat-Nya di segenap ufuk alam ini. Siapapun yang berhubungan secara baik dengan alam, adalah sinonim dengan berhubungan dengan Allah. Kita tidak menyembah alam, tapi harus memiliki akhlak yang baik dengan alam. Sebab, ada malaikat (kekuatan/kekuasaan) Tuhan di dalamnya.

Tapi, jika seseorang ingin memiliki hubungan yang lebih dalam dengan Allah, ia harus memiliki akhlak yang baik terhadap dirinya. Ia harus menempuh jalan untuk menjaga kesucian diri, agar Cahaya Allah senantiasa terpancar dalam dirinya. Sebab, wajah Allah yang hakiki, itu justru ada dalam dirinya sendiri. Wajah Allah yang sempurna tidak akan ditemukan di langit, bumi dan gunung (QS. Al-Ahzab: 72). Juga tidak ada pada bintang, bulan dan matahari (QS. Al-‘An’am; 76-78). Allah hadir secara lebih kuat dalam “ayat-ayat nafsani” (jiwa manusia).

Wujud/Wajah dari raja cahaya dunia malakut Ilahi, yaitu Jibril, hanya menempati wadah kejiwaan manusia. Ada Jibril, ada gelombang dan vibrasi kewahyuan, yang tersembunyi dalam semua diri manusia. Eksistensinya “lebih dekat” dari urat leher kita (QS. Qaf: 17). Sebab, Dia menempati qalbu, bagian terdalam dari diri kita. Dia tidak ditempatkan di wujud lahiriah kita. Allah telah mengutus/mengamanatkan Wajah paling hidup dari cahaya-Nya ini, hanya pada manusia. Pada diri basyariah kita semua, yang zalim dan bodoh ini (QS. Al-Ahzab: 72):

اِنَّا عَرَضْنَا الْاَمَانَةَ عَلَى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَالْجِبَالِ فَاَبَيْنَ اَنْ يَّحْمِلْنَهَا وَاَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْاِنْسَانُۗ اِنَّهٗ كَانَ ظَلُوْمًا جَهُوْلًاۙ

"Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya. Lalu, dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya ia (manusia) sangat zalim lagi sangat bodoh" (QS. Al-Ahzab; 72)

“Cermin” untuk Melihat Allah

Jadi, entitas (Wajah/Cahaya/Ruh) Allah yang sifatnya baqa, itu ada dan immanen dalam diri kita. Wujud zat itu adalah sesuatu yang abadi, dan sifatnya hanya pindah-pindah alam saja. Yang mati (hancur/fana), itu hanyalah unsur alam dari diri kita. Semua yang ada dipermukaan (Cahaya yang telah mengalami materialisasi) sifatnya fana, akan hancur binasa. Kecuali Wajah/Ruh/Cahaya batiniahnya itu (QS. Ar-Rahman: 26-27).

Problemnya, karena wujud cahaya dari Dzat ada dalam diri, maka kita tidak bisa melihat-Nya. Dalam bahasa sangat maknawi, dikatakan: “Allah tersembunyi dibelakang mata hitam kita”. Mustahil kita bisa melihatnya. Justru, ketika spiritual seseorang membaik, nanti akan Anda rasakan. Bahwa yang sebenarnya sedang melihat, adalah Dia sendiri. Yang sedang mendengar adalah Dia sendiri. Ketika Anda berbicara, sebenarnya Dialah yang sedang berbicara. Telinga, mata, tangan, kaki dan lisan orang-orang shalih adalah gerak esensial dari Cahaya-nya. Bukan engkau yang membunuh, dan bukan engkau yang melempar; melainkan Allah (QS. Al-Anfal: 17):

وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا وَإِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ

"Tiada hamba-Ku yang mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu (amalan) melebihi dari apa yang Kuwajibkan kepadanya. Hamba-Ku senantiasa mendekat kepada-Ku dengan amalan sunnah sehingga Aku mencintai-Nya. Bila Aku mencintainya, maka Aku menjadi telinga sebagai alat pendengarannya, menjadi mata sebagai alat penglihatannya, menjadi tangan sebagai alat pemegang, dan menjadi kaki sebagai alatnya berjalan. Jika ia meminta sesuatu kepada-Ku, niscaya Aku memberinya" (HR. Bukhari, 6137).

Namun, untuk melihat dan mengaktivasi “potensi” Ketuhanan yang ada dalam diri, dibutuhkan “cermin” untuk melihatnya. Sebab, kita tidak bisa melihat apa yang ada dalam diri kita sendiri. Dan cermin itu adalah para nabi dan wali-walinya. Disinilah kemudian lahir metode sufistik dalam tradisi spiritual. Cara untuk melihat Wajah Allah adalah dengan melihat Wajah Rasulullah. Menyaksikan Allah, adalah dengan menyaksikan Rasulullah. Menyaksikan Wajah Ruhaniah Rasulullah adalah sinonim dengan menyaksikan Allah.

Asyahdu alla ilaha illa Allah, wa-asyhadu anna Muhammadar Rasulullah. Tapi itu cuma “kalimat syahadat”. Sementara, dalam sufisme diajarkan secara khusus metode untuk mencapai syahadah, melalui penggabungan wajah ruhaniah (rabithah), antara murid dengan gurunya. Sehingga, melalui bantuan wajah karamah seorang utusan (seorang nabi/wali), seseorang bisa terkoneksi dengan wajah Allah. Wajah sang waliyullah adalah buraq (Ruh/Jibril/Cahaya) yang akan menteleportasi jiwa seseorang kepada Allah.

Cahaya Allah ini pernah hadir dalam wajah Adam as, Ibrahim as, Nuh as, Isa as, Muhammad saw; dan para khalifatullah/waliyullah penerusnya. Cahaya Allah pernah hadir dalam wajah Arab, wajah Bani Israil, wajah Bani Quraisy dan seterusnya. Dia adalah wujud batin dari Cahaya, yang menzahir. Dia ada sejak awal sampai akhir. Dia diutus sepanjang zaman, sesuai tempat, dalam aneka bahasa kaumnya:

لَقَدْ جَاۤءَكُمْ رَسُوْلٌ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ عَزِيْزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيْصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ

"Sungguh, benar-benar telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, dan (bersikap) penyantun dan penyayang terhadap orang-orang mukmin" (QS. At-Taubah: 128)

Penutup

Para nabi dan wali-walinya adalah “cermin Ilahi”. Dzat yang maha immanen dalam diri bisa tersingkap, ketika Anda menemukan cermin yang bersih, yang membantu Anda untuk melihat “Diri” anda sendiri. Dikatakan, man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu. Siapa yang mengenal “diri”, akan mengenal Tuhannya.

Makna “diri” disini ada dua. Pertama adalah mengenal “diri” Anda sendiri, yang di dalamnya ada cahaya Ilahi yang tersembunyi. Yang kedua adalah, “Diri” dari seorang imam/guru/wali/khizir, yang menjadi utusan Tuhan untuk menjadi “cermin” bagi manusia untuk melihat cahaya dalam diri. Para nabi dan warisnya diutus Allah untuk menjadi petunjuk bagi kita, untuk berhijrah dari gelap dan fananya dunia materi, menuju kebaqaan dan terangnya alam ukhrawi (Cahaya). Para utusan Tuhan adalah Cahaya, Wasilah, pembawa Nur Muhammad, tali Allah, Nurun ‘ala nurin bagi para salik untuk melihat Diri-Nya.

Melalu Cahaya sekaligus cermin inilah, kita bisa melihat. Kita adalah manusia, yang pada lapis biologis terluar kita ini adalah hanya mineral, tumbuhan dan juga binatang. Pada lapis selajutnya, kita adalah iblis. Pada lapis kemudian, kita adalah malaikat. Pada pusat kesadaran, kita adalah sesuatu yang tidak terungkap lagi oleh kata-kata. Sebagaimana diungkap oleh Rumi:

Aku mati sebagai mineral dan menjelma tumbuhanAku mati sebagai tumbuhan dan terlahir binatangAku mati sebagai binatang dan kini manusia. Kenapa aku mesti takut? Maut tak menyebabkanku berkurang! Namun sekali lagi aku harus mati sebagai manusiadan melambung bersama malaikat. Dan bahkan setelah menjelma malaikataku harus mati lagi; segalanya kecuali Tuhan, akan lenyap sama sekali. Apabila telah kukorbankan jiwa malaikat ini, Aku akan menjelma sesuatu yang tak terpahami. Oo,..biarlah diriku tak ada! Sebab ketiadaan menyanyikan nada-nada suci, “KepadaNya kita akan kembali.” (Jalaluddin Rumi)

Orang yang tidak pernah “bercermin”, tidak akan pernah mengenal “Diri”. Mungkin saja mereka percaya kepada adanya Allah. Tetapi tidak akan pernah sampai kepada makrifatullah. Bahkan, tanpa cermin, kita akan cenderung menuhankan “diri”. Sebab, tidak pernah melihat Esensi lain selain diri.

BACA: “APA HUKUM MENGKHAYAL?”

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: 
sayyidmuniruddin.com
TikTok: tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/Habib.Munir/
Twitter-Xx.com/saidmuniruddin
Channel WA: The Suficademic
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2

Bagikan:

4 thoughts on “CERMIN ILAHI

  1. Terima kasih.

    Laut tiada bercerai dengan ombaknya, ombak tiada bercerai dengan
    lautnya. Demikian juga dengan Allah Swt., tiada bercerai dengan alam,
    tetapi tiada di dalam alam dan tiada di luar alam dan tiada di bawah alam
    dan tiada di kanan alam dan tiada di kiri alam dan tiada di hadapan alam
    dan tiada di belakang alam dan tiada bercerai dengan alam dan tiada
    bertemu dengan alam dan tiada jauh dari alam.
    – Hamzah Fansuri –

  2. Pingback: ALLAH TIDAK GAIB

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Next Post

"BUBARNYA AGAMA", DIKAJI OLEH TIGA AKADEMISI UIN SUNAN KALIJAGA

Wed Jan 10 , 2024
JOGYAKARTA.

Kajian Lainnya

SAID MUNIRUDDIN adalah seorang akademisi, penulis, pembicara dan trainer topik leadership, spiritual dan pengembangan diri.