
Jurnal Suficademic | Artikel No. 11 | Januari 2024
REJEKI YANG DITAWARKAN
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM. Suatu ketika saya nyantai di sebuah warung di Darussalam, Banda Aceh. Tiba-tiba datang Guru berserta istrinya. Seperti biasa, Beliau bercerita banyak hal. Kami cuma duduk mendengarkan. Banyak ilmu yang kami dapatkan.
Di sela-sela pembicaraan, tiba-tiba Beliau terdiam, seraya memperhatikan sebuah tanda di wajah saya. Bagi yang paham, wajah adalah cermin kehidupan. Di wajah semua orang ada tanda-tanda “bekas sujud”. Bagaimana relasi kita dengan Tuhan dan kehidupan; ada petunjuknya di wajah.
Lalu sang Sufi ini berkata: “Sayed Munir ini, rejekinya lebih banyak datang lewat tawaran. Bukan lewat sesuatu yang diusahakan”. Saya terdiam, seraya mengangguk pelan. Sebab, saya sendiri pun tidak begitu sadar apakah memang begitu.
Itu kejadiannya sudah beberapa tahun lalu. Belakangan saya kembali melakukan refleksi tentang rejeki. Baru aware saya. Ternyata, hampir semua rejeki yang saya dapatkan, ia sesuatu yang ditawarkan oleh orang-orang. Terkadang, dari orang lainlah kita mengetahui, sebenarnya “nasib” kita ini seperti apa. Apalagi informasi ini kita peroleh dari seorang master Sufi. Itulah yang kami sebut dalam tulisan terdahulu sebagai “Cermin Ilahi”.
***
Benar. Saya termasuk orang yang “tidak pro-aktif” dalam mencari rejeki. Saya mirip-mirip tidak peduli, mau kaya atau miskin. Saya lebih suka duduk untuk berpikir, menerawang, menulis dan berbagi dengan orang-orang. Saya tidak punya visi dan usaha mandiri untuk menarik kekayaan. Bahkan, banyak hal yang saya lakukan selama ini, tidak pernah saya uangkan. Saya juga pernah membantu teman untuk duduk pada posisi strategis tertentu. Tapi tidak saya harapkan uang sebagai balasan. Harusnya ada reward yang saya kejar setelah itu.
Saya tidak tau, apa penyebabnya. Disatu sisi, jauh hari, saya juga pernah membangun sebuah usaha. Tapi karena tidak ada feasibility dan salah kalkulasi, saya rugi karena itu. Ada memori tentang kegagalan, yang membuat saya takut untuk kembali membangun hal serupa.
Memang, secara naluriah, saya bisa tidak punya “ambisi” untuk menjadi jutawan. Bukan tidak ingin menjadi milionaire. Tapi tidak mau berusaha untuk menjadi kaya raya. Baru belakangan saya punya ketertarikan untuk membuka pintu rejeki yang lebih luas. Sebab, mulai terasa, ada tantangan tersendiri saat anak sudah empat, dengan berbagai kebutuhan untuk edukasi dan sebagainya. Ada masyarakat yang harus kita pelihara, dan itu butuh biaya.
Disitu saya mulai menelaah kembali, bagaimana saya selama ini bisa mendapatkan rejeki. Mulai saya sadari, ternyata hubungan saya dengan rejeki, itu persis seperti yang disampaikan Guru bertahun-tahun lalu.
Saya menjadi dosen, itu karena ditawarkan oleh dekan saat itu. Yang kebetulan juga adalah paman saya. Saya lulus test dengan angka yang lebih tinggi dari banyak peserta lainnya. Jadi bukan sekedar nepotisme. Tapi, seandainya tidak ditawarkan, saya mungkin tidak ikut seleksi menjadi dosen.
Saya pernah lulus beasiswa S2 dari FF-IFP ke luar negeri, itu juga ada yang tawarkan. Saat sedang di sebuah toko fotocopy, saya lihat ada teman yang sedang memperbanyak formulir beasiswa. Dia tawarkan ke saya, untuk ikut. Saya ikutan. Rupanya, setelah serangkaian proses seleksi, saya lulus. Dia tidak.
Selama beberapa tahun saya juga pernah menjadi advisor di sebuah perusahaan seni arsitektural masjid. Pendapatannya lumayan. Itupun karena ditawarkan oleh adik saya yang menjadi pengelolanya. Kalau tidak ditawarkan, mungkin saya tidak mau terlibat. Setahun lalu, saya juga tawarkannya untuk umrah. Saya ikut. Kalau tidak ditawarkan, mungkin sampai sekarang tidak terpikir untuk pergi umrah. Saya lagi menunggu, siapa yang mau menawarkan saya untuk naik haji. Haha!
BACA: “ZIARAH KE KOTA SUCI”
Beberapa tahun sebelumnya, saya banyak ikut membantu penelitian dan pengabdian industrial yang dikerjakan oleh kolega di kampus. Saya terlibat, setelah diajak. Kalau tidak diajak, mungkin tidak saya tidak peduli. Setelah kawan yang suka mengajak ikut project ini berangkat S3 ke luar negeri, sampai sekarang tidak ada lagi yang mengajak. Selain Ketua Jurusan, yang beberapa hari silam tiba-tiba menghubungi untuk menawarkan skema penelitian dan pengabdian, untuk dosen-dosen yang sudah swekian waktu tidak aktif di bidang itu.
Ada beberapa project pelatihan yang saya kerjakan, juga demikian. Termasuk pelatihan leadership, kaligrafi dan lainnya. Termasuk juga menjadi pemateri di seminar-seminar public speaking dan sebagainya. Saya lakukan setelah ditawarkan oleh pihak tertentu, dengan anggaran yang sudah disediakan. Kalau tidak ditawarkan, saya pun tidak meminta. Walaupun saya tau, saya punya keahlian di bidang itu.
Dulu, ketika mahasiswa, saya pernah terpilih menjadi Ketua Umum HMI Cabang Banda Aceh periode 2000-2001. Sebuah jabatan berprestise, yang saya tidak pernah terpikir untuk mendudukinya. Itupun terjadi setelah semua ketua komisariat sepakat menawarkan dan mendorong saya untuk menjadi ketua mereka. Padahal, ada beberapa calon lain yang ingin berkuasa.
Saya bergabung dengan sebuah tarikah sufisme, sehingga bertemu Guru, juga bukan keinginan saya. Melainkan setelah ditawar dan rayu-rayu oleh beberapa kawan saya. Di tempat ini saya mendalami dan rasakan banyak hal terkait dunia spiritual, yang sebelumnya hanya saya pahami secara teoritis. Kalau tidak diajak, mungkin sampai sekarang saya tidak ada disitu.
***
Saya tidak mau memaparkan lebih banyak. Itu hanya sedikit dari beberapa kasus besarnya saja. Intinya adalah, rejeki yang saya dapatkan, itu hampir semuanya adalah tawaran kolega, saudara dan teman-teman. Sedikit sekali yang memang betul-betul saya jemput atas inisiatif saya sendiri.
Disatu sisi saya baru paham, mungkin inilah yang dimaksud “rejeki hamba di atas hamba”. Kita memperoleh rejeki setelah diantar/tawarkan oleh orang lain. Dalam hal ini, networking sangat berperan. Jangan mengisolasi diri. Silaturahmi adalah salah satu kunci rejeki. Dalam hal ini saya juga belajar, “jangan pernah menolak tawaran”. Pernah satu kali saya menolak tawaran dari seseorang. Dan ini baru saya sadari, itu merupakan salah satu kesalahan besar dalam hidup saya. Sebab, khusus bagi saya, sampai saat ini, itu pintu rejeki utama dari Tuhan.
Disisi lain, saya juga menyadari. Bahwa ada potensi yang selama ini tidak pernah saya gunakan. Yaitu, “inisiatif sendiri”. Saya belum pernah serius membangun visi personal untuk membangun korporasi. Yang semuanya saya set-up sendiri. Yang itu mungkin saja menjadi pintu lain dari rejeki. Sebab, ketika tawaran menurun, kita punya mesin pencari uang sendiri. Ini yang masih saya rasakan sebagai sebuah kelemahan pribadi. Yang seiring waktu harus segera saya perbaiki.
Penutup
Kita semua bisa mengevaluasi diri. Terkait pola rejeki yang selama ini kita peroleh. Dari situ akan ketahuan, bagaimana cara Tuhan bekerja untuk masing kita. Atau, apa problem yang menghambat Tuhan untuk memperkaya kita.
Terkadang kita terlalu ‘relijius’, sehingga antipati dengan kekayaan. Spiritual meninggi, tapi jumlah simpanan di rekening menurun. Mungkin itu kritik terhadap kelompok pseudo-relijius, yang merasa seolah-olah tidak butuh kaya. Sehingga hidupnya susah terus. Ada alam bawah sadar kita yang salah. Mungkin kita pernah membenci status orang kaya. Atau ada prinsip-prinsip yang salah dalam kita memahami sesuatu. Misalnya, “Tidak masalah miskin, yang penting bahagia”. Dan itu menjadi penghambat dalam diri untuk menarik banyak rejeki.
Atau, kalau kebutuhan kita hanya untuk minum kopi sehari-hari. Maka hanya sebesar itulah kekayaan yang akan diberikan Tuhan kepada kita. Tuhan, selain tidak membebani masalah melebihi kemampuan masing orang; juga tidak akan memberi kekayaan melebihi kebutuhan orang itu. Ada orang yang kebutuhan bersedekahnya tinggi. Karena itulah Tuhan menurunkan lebih banyak rejeki kepadanya. Bahkan orang yang sedang dikejar hutang pun, bisa mendapatkan uang untuk membayar hutangnya. Sebab, ia sedang tertekan dan butuh itu untuk melunasinya. Itulah kebutuhan, yang mendatangkan uang.
Atau, “mungkin karena agak pelit, hidup kita jadi sempit”, begitu saya mengevaluasi diri. Kalau rajin menulis untuk memperoleh ridha Tuhan, maka Tuhan akan terus menurunkan ilham untuk menulis. Begitu juga kalau kita rajin bagi-bagi uang untuk mendapatkan kerelaan Tuhan. Uang akan terus datang. Ini masalah kebiasaan positif, yang juga dapat menghadirkan rejeki.
Disisi lain, cara kita umat Islam memandang uang mesti diperbaiki. Harus ada kecerdasan finansial yang tinggi. Harus ada visi untuk hidup kaya dan sejahtera. Di sekolah-sekolah tidak diajarkan itu. Harus ada gerakan nyata, untuk bertindak dan berusaha. Jangan banyak berpikir. Frekuensi dan jumlah dokumen bukti kita berpikir, sudah bertumpuk dan mubazir. Harus ada keberanian untuk menjemput rejeki. Bukan sekedar menunggu.
Penutup
Kuadran rejeki ada dua. Yaitu: kuadran yang “dikasih” (diantar), dan kuadran yang “diusahakan” (dipikir, dicari dan diusahakan sendiri). Rejeki yang “ditawar” masih termasuk kategori yang harus diusahakan. Hanya saja, ia muncul dari akibat skil dan relasi. Terkait dua macam kuadran rejeki ini (dikasih dan diusahakan), akan kita bahas lebih dalam pada kajian selanjutnya: “Cashflow Quadrant, Rejeki Pekerja dan Rejeki Penguasa”.
BACA: CASHFLOW QUADRANT, REJEKI PEKERJA DAN REJEKI PENGUASA
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: sayyidmuniruddin.com
TikTok: tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/Habib.Munir/
Twitter-X: x.com/saidmuniruddin
Channel WA: The Suficademic
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2
2 thoughts on “REJEKI YANG DITAWARKAN”