SETELAH SELESAI HAJI, APALAGI?

Bagikan:

Jurnal Suficademic | Artikel No.41 | Juni 2024

Oleh: Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

Bismillahirrahmanirrahim.

Ada sejumlah aktifitas (manasik ibadah) yang dilakukan selama berhaji. Dimulai dari niat berhaji atau ihram. Jamaah kemudian melakukan wukuf di Arafah pada 9 Zulhijjah. Selesai wukuf, jamaah menuju Mina dengan bermalam (mabit) di Muzdalifah. Seterusnya jamaah akan melakukan lempar jumrah Mina. Selesai jumrah, jamaah memotong beberapa helai rambut (tahalul). Lalu ke Mekkah untuk melaksanakan tawaf dan sa’i, lalu kembali bertahalul. Kemudian jamaah kembali mabit di Mina dan disana melakukan beberapa jumrah lagi. Haji ditutup dengan tawaf wada’.

Lalu Apa yang Harus Dilakukan Setelah Rangkaian Haji selesai?

Tentu banyak yang bisa dilakukan. Salah satunya adalah mengisi waktu dengan memperbanyak zikir. Sebagaimana disebut dalam surah Al-Baqarah 200:

فَاِذَا قَضَيْتُمْ مَّنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللّٰهَ كَذِكْرِكُمْ اٰبَاۤءَكُمْ اَوْ اَشَدَّ ذِكْرًا ۗ فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَّقُوْلُ رَبَّنَآ اٰتِنَا فِى الدُّنْيَا وَمَا لَهٗ فِى الْاٰخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ

Apabila kamu telah menyelesaikan manasik (rangkaian ibadah) haji, berzikirlah kepada Allah sebagaimana kamu menyebut-nyebut nenek moyang kamu, bahkan berzikirlah lebih dari itu. Di antara manusia ada yang berdoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia,” sedangkan di akhirat dia tidak memperoleh bagian apa pun (QS. Al-Baqarah: 200)

Pertanyaan, Bagaimana Cara Berzikir (Fazkurullah)?

Di ayat 200 dari surah Al-baqarah tersebut juga telah dijelaskan sedikit tentang rahasia atau cara berzikir. Yaitu, diawali dengan “menyebut-nyebut nama leluhur” (kazikrakum Aaba-akum).

Berzikir adalah menyebut nama “nenek moyang”. Karena itu tidak heran, jika dalam prosesi zikir, wirid, tahlil dan sebagainya itu; sering disebut-sebut secara khusus (khushusan) nama “leluhur”, “kakek”, “syekh”, “imam”, “habaib”, atau “walimursyid” lainnya. Inilah yang disebut “wasilah”, kiblat lahiriah dari zikir.

Jadi, menyebut nama Allah dilakukan melalui 3 cara. Pertama, menyebut kata “Allah”. Kedua, menyebut kalimat “La Ilaha Illa Allah”. Ketiga, menyebut nama “Kekasih Allah”. Yang ketiga inilah yang disebut “Kazikrakum Aaba-akum” (menyebut nama orang tua/nenek moyang).

Namun, “nenek moyang” yang dimaksud bukanlah sembarang nenek moyang. Melainkan seseorang, atau orang-orang yang memiliki Ruhani yang suci.

Surah Al-Baqarah 200 menyebut nenek moyang (Aba-akum) dengan kata “Aba” (Abi, Abu, Abah). “Aba” artinya “ayah”, yang lebih kepada makna ideologis. Seseorang yang menjadi panutan bagi kita, walaupun bukan ayah kandung kita, bisa disebut dengan “abah”.

Sedangkan “ayah” dalam makna biologis disebut “walid”. Seperti dalam surah Al-isra: 23, wabil wa lidaini ihsana. Pada ayat ini, seorang anak disuruh berbuat baik kepada kedua orang tua biologisnya (walidaini).

Karena itu, seorang nabi, waliyullah, imam, syekh, habib, mursyid; menjadi “Abah” atau Ayah Ruhani bagi pengikutnya. Siapapun yang ingin mengingat Allah, maka dapat dilakukan dengan mengingat atau menyebut-nyebut nama mereka. Mereka adalah rentetan nenek moyang yang menjadi silsilah atau “tali” ruhaniah kita dengan Allah (QS. Aali Imran: 103). Mereka adalah wujud dari Asma, Hujjah, Ayat-ayat Allah di muka bumi.

“Aw Asyadda Zikra”

Namun ada hal yang perlu diingat. Berzikir tidak boleh berhenti pada sekedar menyebut nama “leluhur”. Melainkan “berzikirlah lebih dari itu” (aw asyadda zikra”, QS. Al-baqarah: 200).

Berzikir adalah proses yang melampaui wujud materi dan nama-nama. Ketika berzikir, kita tidak mengagungkan orangnya. Kita tidak memuja sosok manusianya. Kita tidak menyembah wujud baharunya. Melainkan kita memberi takzim kepada entitas “Ruhani” yang ada padanya. Atau kepada “Nur” yang ia bawa.

Kepada wujud Ruhaniah itulah kita sujud, sebagaimana malaikat melakukanya. Malaikat tidak sujud kepada elemen tanah sang Adam. Melainkan kepada Wujud Asma (Tuhan) yang bersemayam dalam diri Adam. Seperti yang kita lakukan saat sholat. Kita tidak sujud kepada bangunan Kakbah. Walaupun kenyataannya terlihat seperti itu. Yang kita sujudi atau sembah adalah Tuhan pemilik Rumah itu, “fal ya’budu rabba hadzal bait” (QS. Quraisy: 3).

Hal yang sama terjadi pada Muhammad. Kita tidak menyembah Muhammad. Kita tidak memuji Muhammad. Kita tidak mengagungkan Muhammad. Kita hanya memuliakan “Wujud Ruhaniah” (Nurun ‘ala Nurin) yang dibawa Muhammad, yang kebetulan terintegrasi dalam diri Muhammad. Kepada Wujud Nurullah inilah kita terus bershalawat. Kita tidak menyembah benda mati. Kita menyembah sesuatu yang hidup dari Muhammad. Sesuatu yang masih hidup dan abadi.

Karena Ruhani suci ini ada dalam diri Muhammad bin Abdillah, maka otomatis sosok Muhammad pun harus dimuliakan. Setiap sosok manusia akan menjadi suci, manakala Ruh Suci (Ruhul Quddus) bersemayam dalam dirinya. Ruh dan fisik sulit dipisahkan. Terkadang kita ingin memuliakan Ruh. Caranya, ya dengan mencium tangan dan kaki dari orang yang Ruh itu ada dalam dirinya.

Karena itulah, mengingat orang-orang suci ini sinonim dengan mengingat Allah. Mengingat atau menyebut nenek moyang (para wali yang ruhnya telah disucikan, atau ruhaninya mewarisi ruhani kenabian) adalah bentuk zikir kepada Allah. Bahkan yang kita lakukan itu sebenarnya bernilai “asyadda zikra”, lebih dari sekedar menyebut nama nenek moyang. Melainkan sedang menyebut Nama Tuhan.

Muhammad Bukan “Abah”, tapi “Rasul”

Jadi, objek zikir harus melampaui wujud lahiriah dari nama-nama yang kita sebut. Memang, pada awalnya kita terlihat seperti sedang mengagungkan sosok “Abah” (orang) yang kita sebut namanya. Padahal tidak demikian. Lebih dari itu, “Asyadda Zikra”. Ada Wujud Batiniah yang lebih tinggi di balik sebuah wajah karamah yang senantiasa kita ingat. Kesanalah tujuan dari zikir kita.

Begini. Kita suka mengagungkan Muhammad. Muhammad yang mana yang kita puja-puja dan bahkan kita bawa-bawa dalam sholat kita? Apakah Muhammad bin Abdillah?

Jika Muhammad bin Abdillah yang kita puja, berarti kita sedang memuja seorang manusia (“Abah”). Apakah boleh? Silakan saja. Itulah zikir paling awal, memuja manusia. Memuja sosok orang yang bernama Muhammad. Pada level ini, kita berzikir dengan mengingat wujud dan nama “nenek moyang” (abah) kita.

Tapi tahukah kita, bahwa dalam diri Muhammad bin Abdillah itu ada wujud “Muhammad” lainnya, yang disebut sebagai “Nur Muhammad”. Nur ini utusan Tuhan (rasul) yang bersemayam dalam diri Muhammad bin Abdillah. Karena kehadiran Nur inilah, Muhammad bin Abdillah menjadi “Rasulullah”. Bahkan, Muhammad bin Abdillah sendiri juga ikut bersyahadat, menyaksikan bahwa Nur Muhammad yang dalam dirinya itu adalah utusan Allah. Jadi, syahadat itu adalah proses naik saksi untuk melihat/mengakui entitas Ruhani yang Suci yang ada pada diri sang Nabi. Entitas suci dari kerasulan ini terus terwarisi sampai akhir zaman.

Karena itulah, dalam konteks lebih tinggi (asyadda zikra), Muhammad bukan lagi “Abah” (ayah ideologis/material) dari Siti Fatimah ataupun kita semua. Melainkan “rasul” (utusan Tuhan). Muhammad adalah Dia yang mengutus dirinya ke muka bumi. Muhammad adalah Kalam, Kalimah, Kekuasaan, Logos atau Pengetahuan Tuhan dalam rupa manusia:

مَا كَانَ مُحَمَّدٌ اَبَآ اَحَدٍ مِّنْ رِّجَالِكُمْ وَلٰكِنْ رَّسُوْلَ اللّٰهِ وَخَاتَمَ النَّبِيّٖنَۗ وَكَانَ اللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمًا ࣖ

Muhammad itu bukanlah bapak dari seseorang di antara kamu, melainkan dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (QS. Al-Aḥzāb [33]: 40)

Karena itulah, menyebut nama Muhammad bisa berada pada 2 level. Level pertama adalah menyebut nama sosok manusia yang bernama Muhammad (bin Abdillah) sebagai sosok “Aaba-akum” (nenek moyang kita). Ini juga diakui sebagai bagian dari sholawat atau zikir untuk mengingat Allah.

Level kedua adalah zikir yang bernilai “asyadda zikra”, atau melampaui wajah/wujud fisik dari seorang “Abah”. Yaitu, mengingat wajah karamah Muhammad sebagai wujud dari wajah ruhaniah Allah. Sebab, memandang wajah ulama yang ada Nur Muhammad (entitas kerasulan), adalah bagian dari mujahadah untuk memandang wajah Allah. Dalam suluk biasanya diajarkan teknik untuk mencapai zikir level kedua ini.

Karena itulah, menyebut nama “Muhammad bin Abdillah”, itu sinonim dengan menyebut “Nur Muhammad” yang merupakan nama (Nur) Allah. Begitu pula dengan menyebut-nyebut nama para “Abah” (wali/mursyid) yang mewarisi sanad Ruhaniah (Nur) Muhammad, juga bentuk dari zikrullah. Sebenarnya mereka bukan “Abah” (ayah bagi seseorang dalam makna tradisional). Melainkan “Rasul” (ayah ruhani) bagi para pengamal zikir.

Penutup

Jadi, setelah selesai manasik haji, jamaah diperintahkan mengisi waktu dengan mengamalkan zikir. Ketika Mekkah masih dipenuhi pusat-pusat tariqah, para peziarah mengisi waktu untuk belajar zikir dari para guru sufi, baik sebelum ataupun sesudah haji. Sebab, semua ritual/rukun haji memiliki signifikansi spiritual, yang hakikatnya hanya dapat dirasakan ketika vibrasi spiritual seseorang telah kuat. Begitu juga paska haji, koneksi dengan Tuhan, melalui ingatan (zikir) kepada para leluhur, harus terus dilakukan.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: 
sayyidmuniruddin.com
TikTok: tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/Habib.Munir/
Twitter-Xx.com/saidmuniruddin
Channel WA: The Suficademic
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2

Bagikan:

One thought on “SETELAH SELESAI HAJI, APALAGI?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Next Post

ASYRAF ACEH BERQURBAN (2024)

Tue Jun 18 , 2024
SAID

Kajian Lainnya

SAID MUNIRUDDIN adalah seorang akademisi, penulis, pembicara dan trainer topik leadership, spiritual dan pengembangan diri.