
Jurnal Suficademic | Artikel No.44 | Agustus 2024
PEMBENTUKAN KARAKTER, CERAMAH DAN KORUPSI
Oleh Said Muniruddin
Bismillahirrahmanirrahim.
Karakter tidak bisa dibentuk dengan ceramah. Ceramah hanya mengisi otak, tidak membentuk perilaku. Perilaku dibentuk oleh sesuatu yang lain.
Negara kita, mungkin juga agama kita, sudah kelebihan ceramah. Kelebihan penceramah. Saya juga penceramah. Kita menyaksikan, betapa banyak orang tua yang ingin anaknya jadi ulama, jadi penceramah. Kalau ceramah bisa mengubah perilaku, mungkin pejabat negara sudah berakhlak semua dan negara kita sudah lama maju. Kita ngomong apa adanya aja!
Anda mungkin termasuk salah seorang yang pernah ditraining P4 (Pendidikan, Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Dulu, kalau Anda masuk kuliah, seminggu pertama Anda akan diceramahin tentang itu. Selesai kegiatan tersebut, hanya hafalan yang bertambah. Tidak ada perilaku yang berubah. Mungkin, lembaga-lembaga negara yang paling banyak tau dan paling sibuk menjaga dan menceramahin Pancasila, termasuk paling korup di Indonesia. Corruption Perception Index (CPI) sering membuktikan itu.
Artinya begini. Semakin banyak Anda diceramahin, atau semakin banyak Anda menceramahin orang, semakin menjadi iblis Anda. Percayalah, ilmu itu melahirkan iblis. Semakin tau, semakin sombong Anda. Semakin tau, semakin sering Anda menuduh salah dan menilai rendah orang lain. Di kampus sekalipun, alih-alih “konsultatif”, ada pengajar yang justru “konfrontatif” dengan karya mahasiswa. Ini terjadi karena si dosen merasa ilmunya lebih tinggi.
Anda tau, iblis itu makhluk paling tau. Paling bertauhid. Paling bersyariat. Sekaligus paling korup. Makanya tidak heran kalau ada negara atau daerah yang mengaku paling menjaga tauhid, paling bersyariat, bisa jadi paling korup.

Lalu apa yang bisa membentuk karakter?
Karakter dibentuk oleh adab. Adab itu bukan ilmu yang dimasukkan ke otak. Adab itu adalah ilmu yang “dibisikkan” ke dalam DNA dan ke dalam hati (rasa).
Untuk membentuk DNA yang berkarakter, fisiknya harus “dihancurkan”, harus “dimatikan”. Fisiknya harus dibuat lelah. Struktur atomiknya harus diolah. Disinilah diperlukan praktik-praktik pendisiplinan diri yang kontinue. Objek latihannya adalah penataan kecerdasan fisik.
Anda lihat bagaimana latihan militer. Waktu melamar jadi tentara atau polisi, mungkin anaknya masih loyo. Begitu selesai dilatih, bisa setahun lamanya, karakternya berubah total. Sikapnya menjadi berbeda. Menjadi berani mati. Selalu siap untuk menjalankan perintah atasan. Patuh pada pimpinan. Kepasrahan kepada komandannya tinggi sekali. Padahal, otaknya mirip-mirip tidak ada.
Dalam agama juga begitu. Siapa orang yang paling patuh pada Tuhan? Jelas, yang otaknya mirip-mirip sudah “mati”. Kalau cerdas, mungkin lebih banyak bertanya daripada menjalankan kewajiban. Agama itu tidak rasional (suprarasional) sebenarnya. Maka butuh orang yang “ummi” (bodoh) untuk bisa beragama. Muhammad termasuk orang paling ummi. Paling patuh. Paling pasrah. Paling taat. Makanya jadi nabi.
Itulah karakter. Bukan ilmu itu. Melainkan adab. Adab adalah sebuah bentuk kecerdasan emosional dan spiritual yang diperoleh melalui “practices” tertentu, dalam bidang tertentu.
Latihan pembentukan sikap yang berterusan akan mengubah struktur atom menjadi lebih reflektif terhadap kebenaran. Pencerahan akan diperoleh pada level kuantumik (kejiwaan), ketika impulse saraf mengirim pesan-pesan dalam bentuk gelombang kesadaran yang ia terima dari sebuah pengalaman tertentu. Alam kejiwaannnya tanpa sadar akan merekam semua itu. Semua itu akan melahirkan wujud diri yang baru.
Karena itu, bermiripan dengan dunia militer, dunia sufisme juga memiliki kurikulum serupa. Pembentukan adab dibentuk melalui proses “ubudiyah”. Ubudiyah adalah ibadah fisik. Bisa dalam bentuk pengabdian kepada seorang guru, kepada nabi atau pemimpin spiritual. Dalam kelelahan fisik itulah; antena dalam sel saraf menjadi sensitif, sehingga mampu menerima gelombang pesan dari alam lebih tinggi. Pada level itu, kesadarannya terbentuk secara sangat alami. Ada gelombang Gamma yang frekuensinya sangat tinggi, yang secara alami yang mendidik orang-orang ini.
Syarat memperoleh pengetahuan hudhuri ini harus dengan menjalani proses penempaan fisik sedemikian rupa. Terkadang dibarengi dengan puasa, zikir, suluk, sedekah dan lainnya. Jika dalam pendidikan militer ada jenderal yang melatih semua tahapan dari pembentukan seorang prajurit, dalam sufisme juga begitu. Ada mentor ruhani yang biasa disebut “wali/mursyid”. Dengan kekasyafannya, ia mengawal perjalanan jiwa dari sang murid.
Jika Anda konsisten dan beruntung dalam mujahadah semacam ini, Tuhan dan para malaikatnya akan turun (tanazzul) secara langsung untuk membenam aneka gelombang kesadaran ke dalam diri Anda. Sehingga lahir jiwa yang kuat, cerdas secara ruhani dan terpuji.
Itulah “akhlak” (karakter), yang pada hakikatnya adalah wujud dari kehadiran sang “Khalik” pada dimensi kejiwaan. Tuhan tidak bisa hadir dalam otak (akal). Akal tidak bisa menjangkau Tuhan. Artinya, ceramah tentang Tuhan tidak akan menghadirkan Tuhan. Ceramah itu hanya untuk sekedar mengisi teori tentang Tuhan ke dalam otak/akal. Bukan untuk menghadirkan Dzat/Ruh Tuhan dalam otak.
Tidak salah juga kalau kita berceramah. Bagus itu. Sebab, manusia juga perlu dicerdaskan otaknya dengan ceramah, kajian dan bacaan. Tapi, kalau ingin menghadirkan (mengintegrasikan) Tuhan ke dalam jiwa, bukan itu caranya. Ada metode “download”-nya. Sistem download ini menjadi prosedur khas dalam dunia sufisme kenabian, guna menyempurnakan akhlak seseorang.
Seorang mahasiswa, silakan saja diceramahin selama berjam-jam dan berhari-hari dalam orientasi mahasiswa baru. Otaknya harus banyak tau. Makin tau, makin bagus. Tapi belum tentu makin patuh. Itu lain lagi. Dulu bahkan ada penetrasi fisik dan emosi (ospek) ala militer untuk mahasiswa baru. Bagus itu. Sebagian karakter dibentuk dengan itu. Apalagi jika ada pendidikan wajib militer untuk menghadapi ancaman tertentu. Tapi, untuk menyempurnakan akhlak, untuk menghilangkan potensi setan (koruptif) dalam jiwanya, itu harus melalui simulasi kehadiran Tuhan. Dan itu sudah diluar metode ceramah.
Penutup
Jadi, jangan heran kalau koruptor itu memang orang cerdas semua. Sekolahnya tinggi-tinggi dan bahkan tau semua dalil tentang kebenaran. Diklatpimnya entah dimana-mana. Tapi semua pengetahuan itu menempel di otak. Tidak mengalir dalam DNA fisik dan emosi. Tidak melekat dalam ruh. Sehingga, antar ilmu dengan tindakan/rasa, tidak sinkron dan jauh sekali gap-nya. Dia tidak menyatu, terpisah dengan Tuhannya.
Pada akhirnya, kita para pendidik akan mengucap “la haula wa la quwwata illa billah” ketika suatu saat menyaksikan anak didik kita menjadi koruptor dan ahli di bidang manipulasi. Hukum dimanipulasi. Anggaran dimanipulasi. Semua dimanipulasi. Padahal semua teori tentang kebenaran telah kita berikan. Itu semua karena kita hanya mampu mendidik mereka dengan cara berceramah di kelas-kelas. Kita tidak mampu mengundang Tuhan untuk turut serta mengajari mereka.
Para da’i juga begitu. Akhlak umat tidak terperbaiki, walau jadwal ceramahnya semakin tinggi. Sebab, bukan Tuhan yang berceramah, tapi kita sendiri. Karena itu, ilmu yang disampaikan tidak masuk ke hati. Tidak ada spirit ketuhanan yang muncul dari proses edukasi. Tidak terjadi transfer of ruh. Yang terjadi hanya transfer of knowledge. Namun demikian, jangan patah semangat. Tetap berceramah, apalagi honornya tinggi. Astaghfirullah!
.:. Penulis adalah Penceramah Pencegahan Korupsi Pengelolaan Keuangan Desa, BINA PEMDES KEMENDAGRI 2024
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: sayyidmuniruddin.com
TikTok: tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/Habib.Munir/
Twitter-X: x.com/saidmuniruddin
Channel WA: The Suficademic
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2
One thought on “PEMBENTUKAN KARAKTER, CERAMAH DAN KORUPSI”