
Jurnal Suficademic | Artikel No.47 | September 2024
KENAPA ADAB LEBIH PENTING DARI ILMU?
Oleh Said Muniruddin
Bismillahirrahmanirrahim.
Ilmu itu penting. Adab juga penting.
Namun, dalam konteks “divine ethics”, adab jauh lebih penting. Adab itu “dudukan” dari ilmu. Ilmu harus didudukkan di atas etika (adab).
Tindakan tidak bermoral, itu dilakukan bukan karena orang-orangnya tidak berilmu. Bukan karena orang-orangnya tidak berpendidikan. Bukan. Melainkan karena tidak dipraktekkan dengan adab.
Apa yang disebut dengan jahil atau “jahiliah”, bukanlah sebuah kehidupan dari masyarakat yang bodoh atau intelektualnya rendah. Tetapi sebuah bentuk kecerdasan otak (IQ), yang minus kecerdasan emotif-spiritual (SQ/AQ/EQ).
Manusia adalah makhluk yang diciptakan “merdeka” (freewill). Manusia bebas memilih. Untuk menjadi makhluk independen, kita diberi akal untuk memahami secara mandiri. Dari akal ini muncul kekuatan rasional. Sehingga kita menjadi makhluk “cerdas”. Kecerdasan ini berfungsi untuk menalar aneka fenomena eksternal yang ada di sekeliling kita. Jadi, akal dengan segala intelijensinya, adalah alat bagi kita untuk memahami, mempengaruhi dan menguasai dunia eksternal atau alam semesta.
Makin banyak Anda tau, itu pertanda semakin jauh Anda mengembara dalam nalar dan logika. Percayalah, semakin Anda tau, semakin jauh Anda dari diri Anda sendiri. Boleh jadi semakin egois Anda. Bahkan semakin angkuh. Sebab, Anda secara mandiri merasa otak Andalah yang telah bekerja untuk menjangkau semua pengetahuan itu.
Konon, ada “malaikat pembangkang” (potensi fujur, QS. Asy-Syams: 18) yang turut kita bawa sejak lahir. Ketika kecerdasan intelektual dikawinkan dengan jenis malaikat yang bablas ini, kita menjadi iblis. Betapa hebat ilmu yang dimiliki barat moderen. Lalu lihat juga, berapa banyak kolonialisme yang mereka praktikkan. Sampai detik ini pun, orang-orang cerdas di negara-negara ini masih mendukung praktik-praktik genosida (i.e. Palestina, dsb) untuk memuaskan ambisi kapitalisme mereka.
Itu bentuk orang-orang berilmu, yang telah kehilangan “nilai” (adab/etik). Ego di depan, hati nurani entah dimana. Ilmu telah menenggelamkan keberadaan Tuhan. Terjadi pembangkangan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Orang-orang ini tidak mau tunduk, patuh dan sujud; selain kepada kepentingannya sendiri. Tanpa adab, kita semua yang cerdas ini, berubah jadi iblis.
Adab itu apa?
Sederhana saja. Adab itu adalah kemampuan untuk merasa bahwa kita “tidak ada”. Yang ada adalah sesuatu yang lebih tinggi, lebih murni dari “ego” kita. Dan itu adalah Tuhan, beserta nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan yang meliputinya.
“Beradab” artinya bertindak untuk melayani Tuhan dan kemanusiaan. Dengan demikian, menjadi makhluk beradab adalah menjadi “hamba Tuhan”, menjadi pasrah, menjadi rendah dan hina dihadapan Tuhan. Beradab adalah kemampuan untuk merasakan bahwa “yang Ada hanya Tuhan”. Adab adalah kepasrahan kepada nilai-nilai, kepada petunjuk, kepada bisikan, kepada arahan, kepada sinyal atau petunjuk (muraqabah) yang datang dari sisi Tuhan.
Dengan demikian, adab adalah sebuah sikap dan tindakan yang semata-mata hanya untuk melayani Tuhan. Adab adalah sikap hormat kepada Tuhan, yang ditunjukkan lewat sikap takzim kepada para utusan Tuhan; kepada para wali, ulama, orang tua dan siapapun yang membawa spirit dan wajah ketuhanan. Adab adalah juga bentuk hormat dan saling mengasihi terhadap sesama makhluk Tuhan, sebagai bentuk cinta kita kepada Tuhan.
Kenapa adab lebih powerful dari ilmu?
Melalui “adab” kita menjadi tunduk, rendah, hina, lebur atau pasrah dalam dimensi ketuhanan yang tidak terbatas. Adab adalah metode paling efektif untuk fana (fokus) kepada Allah.
Sebab, untuk kembali kepada Tuhan (atau menjadi makhluk spiritual); materialitas harus di ‘matikan’. Untuk kembali menjadi esensi cahaya, manusia harus meruntuhkan semua ego material. Otaknya harus ‘dimatikan’. Keinginan (nafsunya) harus ‘dihentikan’.
Ada momen ketika semua ini dapat dihentikan (kendalikan), sebuah dimensi lain akan “aktif” dalam diri manusia. Percayalah, manusia tidak benar-benar mati. Kalau otaknya mati, ruhnya tetap hidup. Kalau nafsunya mati, ruhnya tetap bekerja. Kita tidak akan pernah benar-benar mati. Selama ini, ruh kita saja yang tidak aktif, karena dominannya fungsi otak dan ego.
Tidak ada yang dapat mematikan otak dan ego; kecuali melalui pendidikan adab. Adab adalah pendidikan untuk menyadari adanya sebuah eksistensi yang lebih besar dari diri kita sendiri. Adab adalah pendidikan “letting go”, cara kita melepaskan semua kemelekatan pada diri. Selama unsur-unsur rendah ini masih melekat pada diri (belum disucikan), potensi ketuhanan yang maha suci tidak pernah tanazzul dalam diri.
Karena itulah, bentuk-bentuk edukasi yang terbaik terkait adab, itu bisa melahirkan orang-orang yang “super cerdas” (semacam nabi, wali, resi, rabi, dan utusan Tuhan lainnya). Cerdasnya bukan lewat berpikir atau membaca. Melainkan sebaliknya, melalui “peniadaan dirinya”. Ketika dirinya menjadi tiada, disaat itulah Tuhan menjadi Ada!
Ketika kesadaran rasionalnya (consciousness) menjadi hilang, muncul kesadaran supra-rasional (supra-conscious). Ketika potensi kuantamik (cahaya) dari seseorang lebih dominan dari dimensi atomiknya, muncul kecerdasan iluminatif yang sangat kreatif. Otak orang-orang ini secara sadar akan terhubung dengan pusat pengetahuan dari alam ini.
Karena itulah, mereka terkadang menjadi tau sesuatu sebelum itu terjadi. Mereka bisa melihat sesuatu yang orang lain tidak bisa lihat. Mereka mampu merasakan sesuatu yang orang lain tidak bisa rasakan. Mereka bisa membaca sesuatu yang belum ditulis oleh buku. Mereka bisa mengetahui sesuatu yang belum diberitakan oleh media. Kesadaran mereka adalah wujud dari “ayat-ayat Ilahi”. Ini yang disebut kecerdasan emotif-spiritual (makrifat).
Kunci untuk memperoleh kecerdasan ini adalah dengan memperdalam adab. Membaca, menghafal atau mengaji itu bagus. Tapi tidak membuka kesadaran spiritual. Membaca, menghafal dan mengaji adalah metode untuk memperkuat kecerdasan otak. Sesuatu yang juga sangat kita butuhkan untuk memahami konsep dan menalar sebuah fenomena. Coba perhatikan, seringkali semakin cerdas seseorang, semakin tau dan semakin banyak hafalan; semakin suka menyebut orang lain sesat. Memang begitu pola kesadaran dari ilmu (otak).
Karena itulah, edukasi syariat yang bermain pada wilayah nalar (otak), sifanya masih sangat basic. syariat melahirkan “ahli kitab” (argumentasi). Sedangkan mukjizat atau karamah (makarimal akhlak) tidak muncul melalui metode belajar ini. Karamah atau mukjizat (pengetahuan iluminatif/miracles) justru muncul dengan “meniadakan” segala bentuk kecerdasan ini. Yaitu dengan cara menjadi bodoh kembali, menjadi “ummi”. Dengan merendah, dengan menunduk, dengan merangkak, dengan bersujud, dengan menghinakan diri dihadapan “Adam”. Dihadapan kiblat ketuhanan. Sampai hilang semua atribut kedirian.
Penutup
Jadi, otak/akal berfungsi sebagai alat untuk memperoleh ilmu “physic” (dunia eksternal/alam kasat). Sedangkan esensi “metaphysic” (alam internal/ketuhanan), diperoleh melalui pengayaan hati/ruh (adab-adab batiniah). Memang keduanya harus dimiliki. Namun ditegaskan, adab lebih penting dari ilmu. Artinya; mengenal, merasakan dan patuh pada Tuhan jauh lebih penting daripada sekedar tau segala hal.
Salah satu metode pendidikan terbaik untuk menata adab adalah dengan menemukan “Adam”. Lalu seperti diperintahkan Tuhan, sujudlah kepadanya. Disinilah nanti terbukti, bahwa pendidikan adab pada level iluminatif, itu berat sekali. Kemungkinan, melalui pendidikan ini, setengah dari kita akan menjadi iblis. Setengah lagi menjadi malaikat. Bahkan disini kita akan menyadari, ternyata, setengah dari diri kita sendiri adalah iblis (fujur).
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: sayyidmuniruddin.com
TikTok: tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/Habib.Munir/
Twitter-X: x.com/saidmuniruddin
Channel WA: The Suficademic
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2
One thought on “KENAPA ADAB LEBIH PENTING DARI ILMU?”