
Jurnal Suficademic | Artikel No.51 | September 2024
KUNCI SUKSES: UBAH DULU TAKDIR, BARU BERIKHTIAR
Oleh Said Muniruddin
Bismillahirrahmanirrahim.
Kunci sukses ada dua. Pertama, ubah dulu bentuk takdir. Kedua, lalu ambil langkah untuk berikhtiar. Keduanya harus dijalankan secara simultan.
Takdir dan ikhtiar merupakan dua hal yang menyatu. Keduanya bisa dipengaruhi oleh manusia. Keduanya ada dalam kontrol manusia. Manusia bisa merumuskan takdirnya. Manusia juga punya kebebasan bertindak untuk mewujudkan takdir yang telah dirumuskannya. Manusia adalah pencipta takdirnya sendiri. Dan manusia juga yang menentukan, apakah ia mampu mewujudkan takdirnya atau tidak.
***
Pandangan ini sekilas terkesan rancu. Selama ini kita mempercayai bahwa takdir itu murni “ketetapan Tuhan”. Anda keliru!
Takdir itu ketetapan-ketetapan awal yang Anda buat bersama Tuhan. Tuhan yang menentukan takdir, bersama Anda. Dalam menciptakan sesuatu, Tuhan sering menggunakan kata “Kami”. Tuhan tidak berkreasi sendiri. Jika Tuhan adalah “Creator”, Anda adalah “co-Creator”. Tuhan melibatkan Anda dalam merumuskan sesuatu. Artinya, memungkinkan sejak sejak awal bagi Anda untuk terlibat dalam keputusan-keputusan kreatif yang lahir dari sisi Tuhan. Itupun kalau Anda tau bagaimana cara melibatkan diri dalam disain pekerjaan Tuhan.
Apa yang kami bahas ini merupakan pemikiran revolutif. Mungkin baru bagi sebagian kita. Kami ingin membuka wawasan kita semua agar lebih dalam memahami konsep takdir dan ikhtiar yang selama ini cenderung dipahami secara dogmatis, jabaris dan segregatif. Seolah-olah takdir dan ikhtiar adalah dua konsep yang terpisah. Pemikiran keimanan dan keislaman sudah saatnya diperbaharui; dalam wawasan yang lebih integratif, saintifik dan spiritual.
Nasib Manusia, dari “Realm” ke “Reality”
Berikut skema bagaimana sesuatu terjadi, atau bagaimana nasib terbentuk:
Realm >> Ikhtiar >> Reality
Wujud itu ada dua: realm dan reality. Realm adalah wujud “mimpi”, “visi”, “disain”, “blue print”, “pemikiran”, “gagasan”, “alam imajinal”, “pandangan kejiwaan”, “alam ruh”, “dunia arketip”, “alam pola dasar” dan sebagainya. Semua ini merupakan wujud awal atau kenyataan pertama; yang sudah terbangun, sudah ada hukumnya, sudah ada modelnya, sudah ada konstruknya, “sudah ditentukan”; sebelum sesuatu terjadi.
Bukankah seharusnya memang begitu?
Setiap melakukan sesuatu, kita idealnya sudah punya “ide” (visi realis) tentang apa yang akan kita lakukan. Ada gambaran atau rumusan awal tentang apa yang akan terjadi/akan kita lakukan, sebelum sesuatu itu kita laksanakan. Seorang arsitek misalnya. Sebelum membuat rumah, ia harus terlebih dahulu menentukan gambar rumah. Semua pekerjaan yang baik, itu ada planning-nya. Planning itulah “realm”, wujud iluminatif, keputusan-keputusan atau ketetapan-ketetapan dari sesuatu sebelum itu tercetak dalam dunia eksternal.
Alam “realm” inilah yang disebut takdir (predestined forms). Sesuatu sudah ada “kadar”, “wujud”, “bentuk”, “ukuran” atau “ketetapan”; sebelum sesuatu itu terjadi di dunia nyata. Sebelum sesuatu tercetak dalam realitas materi, semua sudah ada “qadha”, “qadar” atau “takdir”-nya (bentuk-bentuk/ketetapan) di alam visi.
Lalu, sesuatu yang membuat realm menjadi reality adalah “ikhtiar”. Ikhtiar merupakan jembatan yang membuat mimpi menjadi kenyataan. Disini, posisi manusia sangat sentral. Manusia adalah sosok yang melalui ikhtiarnya, bisa membuat sebuah visi di alam ketuhanan menjadi kenyataan.
Karena itulah manusia disebut sebagai “Khalifah Tuhan”. Manusia adalah co-Creator, “wakil Tuhan”. Melalui “Kun”, Tuhan menciptakan sesuatu dalam ilmu-Nya di alam spiritual murni sana. Lalu melalui “Fayakun” kita membantu Tuhan mewujudkan itu di alam duniawi kita. Kita adalah para “wali”, yang membantu Tuhan mewujudkan cita-citaNya. Kita adalah citra-Nya, pelaksana visi Tuhan di alam materi.
Makhluk Ikhtiyari
Dalam skema di atas, posisi manusia berada di tengah. Berada diantara alam “realm” dan alam “realitas”. Kita adalah makhluk “ikhtiyari”. Itu sudah pasti. Artinya, kalau Anda menginginkan sesuatu terwujud untuk diri dan dunia Anda, take action! Kalau ingin sukses, Berusahalah. Itu sudah pasti.
Jadi, kesimpulan pertama, sukses itu sangat tergantung pada ikhtiar. Prinsip-prinsip “muktazili” (qadariyah) berlaku disini. Kita makhluk merdeka dan bebas menentukan nasib kita melalui usaha. Lihat peluang. Ciptakan momentum. Betindaklah. Be consistent. Be persistent. Be discipline. Jangan pasif. Jangan tunda-tunda. Berjihadlah secara sungguh-sungguh.
Dalam sebuah tulisan lainnya, kami menyebut ini sebagai “takdir syar’i” (Takdir dan Ikhtiar: Sebuah Uraian Teologis dalam Perspektif “Sufikademis”, 2023). Gigih dan ulet adalah ketentuan-ketentuan syariat yang harus dipenuhi kalau ingin sukses pada wilayah ikhtiyari. Rasionalnya begitu. Yang bersungguh-sungguh pasti dapat. Hukum ikhtiar seperti itu.
“Takdir Takwini”, Hukum Umum (Alami)
Pertanyaan selanjutnya, selain sebagai “makhluk ikhtiyar”, apakah manusia bisa merumuskan takdir bagi dirinya sendiri sebelum sesuatu terjadi? Atau takdir itu murni Tuhan yang tentukan? Dalam bahasa sederhana: disain awal dari nasib (fate/takdir) siapa yang tentukan, Tuhan atau manusia?
Begini. Secara umum, “segala sesuatu” sudah ditentukan oleh Tuhan. Yang dimaksud “segala sesuatu” adalah “hukum-hukum umum” yang mengatur alam semesta. Atau disebut juga Sunnatullah. Sunnatullah ini mengikat seluruh alam ciptaan. Sunnatullah ini merupakan hukum, disain, pola dasar, ketetapan, ketentuan yang mengikat seluruh alam ciptaan Tuhan.
Manusia juga bagian dari alam. Oleh karena itu, ada hukum-hukum alam (hukum fisika) yang sifatnya pasti atau objektif, yang mengikat alam dan manusia. Oleh karena itu, nasib manusia secara umum mengikuti hukum-hukum ini. Hukum ini sifatnya “taqwini” (alami), sudah inheren dan melekat dalam mekanika alam. Semua hukum ini bagian dari kekuatan, kecerdasan, ilmu atau pengetahuan Tuhan. Jadi, secara tidak langsung, ada hukum-hukum, ketentuan atau “tangan Tuhan” yang secara objektif mengatur segala sesuatu yang terjadi di alam.
Karena itu, dalam relasi dengan hukum alam ini, manusia tidak berdaya. Manusia harus mengikuti hukum-hukum yang ada di alam. Kalau ingin sukses, ikuti, pelajari dan manfaatkan hukum-hukum yang ada di alam. Manusia tidak bisa mengubah hukum alam. Tapi bisa memanfaatkannya. Api, hukum tetapnya adalah panas. Manusia bisa memanfaatkan keadaan tetap dari api itu untuk berbagai kepentingan.
Jadi, secara umum ada yang namanya “takdir takwini/kauni” (hukum alam/sunnatullah di alam). Itu sifatnya objektif, predestined, tidak berubah, dan polanya sudah ditentukan sejak awal oleh Tuhan. Termasuk kita manusia, secara materi adalah wujud alami. Karena itu pasti mati. Pasti binasa. Tidak mungkin abadi. Itu nasib yang harus diterima. Tidak bisa diubah lagi. Ada banyak sekali hukum alam yang “terpaksa” kita terima. Tapi, kalau cerdas dalam memahami hukum-hukum ini, kita bisa sukses dan hidup lebih mudah di alam ini. Pesawat, kapal laut, kereta api dan aneka teknologi moderen lainnya bisa dibuat karena kemampuan manusia dalam memahami hukum-hukum yang melekat pada setiap objek.
Itu takdir secara “umum”, manusia secara material sudah diikat dengan hukum-hukum yang ada di alam. Nasibnya tergantung bagaimana ia berinteraksi dengan ketentuan-ketentuan Tuhan yang ada di alam fisika.
“Takdir Ruhiy/Anfusi”, Hukum Khusus
Pertanyaan lebih spesifiknya adalah seperti ini: apakah segala pencapaian manusia di alam ini sudah ditentukan lebih dulu oleh Tuhan di alam sama? Maksudnya; apakah miskin atau kaya seseorang sudah duluan ditentukan Tuhan? Kalau seseorang ingin sukses dan bahagia di bidang tertentu, apakah itu sudah terlebih dahulu ditentukan oleh Tuhan sebelum itu terjadi?
Jawabannya begini.
Ada Tuhan dalam diri manusia. Tuhan itulah yang menentukan sesuatu terhadap diri kita. Kalau ingin membangun takdir, maka manusia harus menjumpai Tuhan yang ada dalam dirinya itu, lalu bangun takdir untuk masa depannya.
Benar, yang menentukan takdir adalah Tuhan. Kabar baiknya, Tuhan itu ada dalam diri kita. Tuhan itu dekat, lebih dekat dari urat leher. Kalau kita menyadari ini, mudah untuk menjumpai Tuhan. Lalu bangun takdir Anda bersama-Nya.
Begitulah cara membangun Takdir bersama Tuhan. Kita bisa menjumpai dan mempengaruhi Tuhan. Kita bisa bernegosiasi dengan Tuhan. Kita bisa meminta kepada Tuhan. Sebab, ia selalu bersama kita. Jadi, yang membangun takdir adalah kita sendiri, bersama-sama dengan Tuhan. Itu akan terjadi, kalau kita mampu berinteraksi dengan Tuhan di kedalaman ruh kita.
Teknik untuk menjumpai Tuhan adalah “meditasi”. Itu bahasa umumnya. Dalam agama Islam disebut suluk, khalwat atau zikir. Semua nabi menggunakan teknik ini untuk menjumpai Tuhan. Di alam ketuhanan inilah mereka menegosiasikan nasib diri dan umatnya.
Sebelum berjuang, mereka sudah naik ke alam imajinal untuk mendisain model hasil yang diinginkan. Ada bentuk-bentuk sukses yang telah mereka rancang dan “tetapkan” bersama Tuhan. Wujud realm, takdir, atau disain nasib terhadap diri dan umatnya sudah ditentukan sejak awal di alam ruh. Mau jadi apa kita ke depan, bisa dibuat gambar awal di alam spiritual. Kita bisa memvisualisasikan bentuk karir dan kesuksesan sejak dini, di alam kejiwaan.
Karena itulah Tuhan mengatakan, “Allah tidak mengubah nasib suatu kaum hingga kaum itu mengubah alam kejiwaannnya” (QS. Ar-Rad: 11). Untuk mengubah nasib, ubah dulu takdir, yang letaknya ada di alam imajinasi kejiwaan. Inilah yang disebut “takdir ruhiy” (anfusi).
Takdir itu adalah “bentuk-bentuk tetap” di alam subconscious mind. Kalau gambaran kejiwaan kita penuh kekacauan, hidup kita akan kacau. Kalau wujud jiwa kita penuh dengan kesedihan, nasib kita akan dipenuhi duka. Kalau wujud jiwa kita rakus dan kotor, perilaku kita pasti koruptif. Kalau wujud visual dari ruhani kita sangat compang camping, kehidupan kita pasti miskin. Realitas kehidupan dan karakter kita akan mengikuti “gambar-gambar yang telah menetap” (telah menjadi qadha) dalam alam kejiwaan.
Kalau buruk catatan dalam DNA ruhani, buruk pula nasib kita di alam eksternal ini. Itulah yang disebut “qadha buruk”, sesuatu yang buruk yang sudah terformat sejak awal di alam ruhani. Sebaliknya, kalau kita mampu memformat frekuensi ruhani pada gelombang yang positif, positif pula pencapaian kita di dunia. Ini disebut “qadha baik”. Disain kesadaran yang baik sudah ada sejak di alam azali ruhaniah kita. Artinya, apa yang kita ketik dan lukis di alam “realm” kejiwaan, apakah itu hal baik (dimensi taqwa) atau buruk (dimensi fujur), itulah yang tercetak di alam nyata. Perbaiki dulu gambar itu, maka takdir akan berubah.
Metode untuk Mendisain Takdir
Sekali lagi, metode untuk Mendisain atau mengubah takdir adalah zikir, suluk, khalwat atau meditasi. Itu semua metode “doa” dengan cara khusus dan sangat reflektif. Kenapa bisa begitu?
Sebab, satu-satunya cara untuk masuk ke alam ketuhanan (kejiwaan) yang sangat iluminatif itu adalah dengan teknik “peleburan diri”. Metode pasrah atau fana fillah.
Sebab begini. Manusia adalah makhlak dua dimensi: “atomik” (materi/fisik) dan “kuantumik” (cahaya/energi). Yang disebut ikhtiar adalah maksimalisasi fungsi dari gerak materi. Ikhtiar itu gerak jasad dan pikiran sadar. Untuk sukses, akal harus berpikir keras. Jasad harus dibuat sampai berkeringat, baru bisa sukses. Kira-kira begitu. Sementara, “takdir” itu dibangun pada dimensi jiwa, tempat Tuhan berada. Jiwa adalah energi, wujud batiniah manusia.
Hakikat manusia, itu ruh atau energi. Wujud atomik manusia, kalau diurai lebih dalam, itu bukan lagi materi. Menurut fisika kuantum, manusia itu makhluk energi. Bukan makhluk materi. Materialitas kita hanya “tipuan mata”. Segala sesuatu yang membentuk manusia, pada elemen sub atomik, adalah energi semua. Atom tersusun dari kuanta-kuanta cahaya, gelombang elektromagnetik, atau energi; yang memiliki vibrasi dan frekuensi. Itulah wujud dari jiwa kita, “cahaya”.
Tidak hanya manusia, segala sesuatu yang ada di alam semesta adalah energi semua. Jadi, kalau ingin sukses dalam sebuah bidang, kita sejak awal harus fokus memformat bidang energi yang ada di alam bawah sadar. Energi ini harus divisualisasikan dalam bentuk-bentuk terbaiknya, sesuai tujuan yang diinginkan.
Inilah yang disebut membangun takdir di alam bawah sadar. Alam bawah sadar adalah kumpulan energi yang membentuk wujud manusia. Kalau Anda bisa membangun “visi”, “mimpi”, “gambar”, “pola”, “mindset”, “mental” atau aneka bentuk realm yang sempurna, takdir takdir Anda buruk. Selanjutnya tinggal berikhtiar untuk “mencetak” semua mimpi yang sudah terbangun itu.
Pada level ini berlaku “Law of Attraction”. Kita akan menarik segala sesuatu yang ada di alam ini, sesuai apa yang ada dalam alam khayali kita (alam takdir). “As within so without”. Apa yang ada dalam wujud “realm” diri kita, itulah realitas yang kita dapatkan di luar sana. “As above so below”. Apa yang sudah kita bangun bersama Tuhan di atas sana, itulah nasib yang akan kita capai di alam dunia bawah ini. Segala sesuatu adalah energi. Kalau energi dalam diri kita baik, kita akan menarik yang baik-baik. “Like attracts like”. Atau sebaliknya, nasib kita di dunia akan buruk, kalau wujud visual dari energi dalam jiwa kita buruk sekali.
***
Jadi, level meditasi untuk memperbaiki takdir dan mencapai sukses itupun bertingkat.
Level pertama adalah apa yang sekarang umum dipraktikkan dalam dunia hipnoterapis atau “mind technologi”. Apa yang dilakukan adalah melakukan “meditasi” (relaksasi) untuk masuk ke level energi bawah sadar (subconscious). Ini salah satu metode untuk menselaraskan energi kita dengan energi lain yang ada di alam semesta. Kalau ini terjadi, frekuensi energi kita bisa sinkron dengan alam. Alam akan selaras dengan keinginan kita. Rejeki yang ada di alam akan bisa ditarik jika energi kita telah kuat untuk menjadi magnet terhadap itu.
Metode ini mirip-mirip “bertuhan” kepada alam semesta. Bagi para pelaku praktik ini, Tuhan adalah alam semesta itu sendiri. Semua yang kita butuhkan, ada di alam ini. Rejeki kita diberi oleh alam. Karena itu, buku-buku meditasi barat, tidak memperkenalkan Tuhan. Sebab, bagi mereka, sejauh ini, alam itulah Tuhan. Kalau seseorang bisa selaras dan konek dengan alam, alam bisa memberinya keberlimpahan rejeki.
Jadi, meditasi, pada level awal memang dapat menyambungkan Anda dengan alam. Tanpa bertuhan pun, Anda bisa menarik rejeki dari alam melalui kekuatan pikiran bawah sadar ini. Karena itu, dunia barat banyak mempraktekkan meditasi jenis ini. Mereka tidak bertuhan. Tuhan mereka adalah alam semesta. Tuhan mereka adalah energi, yang ada di alam ini. Konsep Tuhan secara khusus belum ada pada mereka. Spiritualitas mereka berujung kepada energi. Kecuali sejumlah penulis yang memang sudah memiliki background relijius, nama Tuhan sudah disebut-sebut dalam buku-buku transformasi diri karya mereka.
Mungkin butuh 100 tahun lagi bagi dunia Barat untuk menemukan wujud Tuhan dalam meditasi mereka. Sejauh ini, mereka sudah mencapai maqam energi. Sementara Tuhan, itu “Energi di atas energi”. Cahaya di atas Cahaya. Gelombang di atas gelombang. Kesadaran di atas kesadaran. Sirr di atas sirr.
Karena itu, sejauh ini, Barat masih mempraktekkan “agama meditatif”. Barat sudah punya spiritualitas, khususnya meditasi, yang diadopsi dari Budha dan Hindu. Terlebih sejak ditemukan teori Quantum Physics diawal 1900an, Barat tidak sepenuhnya lagi menganut materialisme. Namun, sejauh ini baru ditemukan “energi” sebagai wujud Tuhan. Barat masih berproses untuk menyelidiki asal usul energi ini. Ketika ditemukan “Energi di atas Energi”, mungkin disitu akan lahir buku-buku baru.
Agama akan berubah dari bentuk “meditatif” menjadi “dialogis”, ketika seseorang menemukan Tuhan. Tuhan adalah wujud paling nyata, yang bisa diajak berbicara. Para nabi sudah mencapai tahap ini. Sudah bermain pada gelombang Gamma yang sangat tinggi. Meditasi sebenarnya hanya bentuk praktik dari “berdiam diri”, berbicara secara pasif dengan energi sendiri pada level gelombang Alfa, Theta dan Delta. Sementara, mereka yang menemukan Tuhan, bisa berkomunikasi secara sadar, aktif dan nyata. Ini yang belum dicapai oleh teknik-teknik meditasi moderen. Belum sampai ke Tuhannya. Dan takdir bisa dibangun secara lebih kreatif dan dialogis pada level perjumpaan ini.
Karena itulah, Tuhan menitipkan kepemimpinan sejati kepada manusia-manusia sejenis nabi. Sebab, para nabi ini mampu masuk ke alam ruhani yang sangat dalam itu, untuk membangun pola dan disain takdir yang sangat visioner bagi diri dan umatnya. Setelah itu, mereka juga mampu mengambil langkah-langkah ubudiyah yang nyata untuk mewujudkan itu dalam realitas dunia.
Sebenarnya alamiah saja, pemimpin suci atau pemimpin besar lahir dari alam ruhani yang sangat tinggi. Mental imej-nya tentang dunia perfect sekali. Tanpa visualisasi yang kuat dan baik pada level ruhani, nasib seseorang di dunia ini pasti akan mengecewakan. Kita semua adalah pancaran wujud dari alam takdir (visi ruhani). Ubah wujud itu menjadi lebih baik, maka dunia kita akan ikut berubah.
Penutup
Melalui tulisan ini kami ingin mengoreksi pemikiran kita yang selama ini menduga bahwa ada keterpisahan antara takdir dengan ikhtiar. Seolah-olah takdir itu wilayah Tuhan, dan ikhtiar wilayahnya manusia. Tidak. Keduanya ada keterlibatan kita. Keduanya satu kesatuan yang harus kita simulasikan, untuk memperoleh kehidupan yang sukses dan bahagia. Kita bisa mendisain takdir di alam realm, dan mewujudkannya dalam dunia nyata (reality).
Pada tahap awal, dengan pertolongan Tuhan, manusia bisa mendisain visual takdir di alam realm melalui aneka metode spiritual (meditasi, zikir, suluk atau khalwat). Manusia bisa mendisain takdir terus menerus, kapan saja tanpa henti. Sebab, konstruksi takdir disusun setiap saat di alam bawah sadar melalui perjalanan kuantum dari jiwa. Praktik inilah yang dikerjakan secara kontinue oleh para nabi. Karena itulah mereka senantiasa memiliki visi (ketetapan-ketetapan) dari langit terhadap segala sesuatu.
Tahap selanjutnya adalah melakukan ikhtiar secara maksimal untuk mewujudkan visi (takdir) yang sudah dirumuskan di alam ruhani. Jadi, jihad atau ikhtiar adalah usaha-usaha kreatif pada dimensi atomik untuk mencetak takdir yang telah kita susun bersama Tuhan, agar terwujud di alam nyata. Ikhtiar inipun ada seninya.
Kalau ditanya, apakah saya sudah sukses? Jawabannya, dalam beberapa hal saya sangat sukses. Sebab, saya atas pertolongan Tuhan telah mampu membangun takdir sekaligus aksi di bidang itu dengan sangat baik. Sementara, saya memerlukan lebih banyak syafaat dan fokus untuk merekonstruksi takdir pada beberapa bidang kehidupan yang saya masih berjuang untuk lebih sukses. Terkadang saya tau Tuhan telah membuka jalan bagi saya sukses pada bidang tertentu. Tapi saya gagal membangun aksi untuk mencapai itu. Kemampuan untuk menemukan takdir, dan ikhtiar untuk mencapainya, harus sama-sama kuat.
BACA JUGA: Takdir dan Ikhtiar, Sebuah Uraian Teologis dalam Perspektif “Sufikademis”
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: sayyidmuniruddin.com
TikTok: tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/Habib.Munir/
Twitter-X: x.com/saidmuniruddin
Channel WA: The Suficademic
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2
3 thoughts on “KUNCI SUKSES: UBAH DULU TAKDIR, BARU BERIKHTIAR”