EDUCATION 37: “RTS APPROACH”

Bagikan:

Jurnal Suficademic | Artikel No.56 | Oktober 2024

EDUCATION 37: “RTS APPROACH”
Oleh Said Muniruddin

Bismillahirrahmanirrahim.

Kami akan menguraikan 3 tahapan pendidikan. Konsep ini dirumuskan oleh Imam Ali 1400an tahun lalu. Pada kenyataannya, teori pendidikan dari sahabat Nabi ini terkonfirmasi oleh berbagai literatur moderen. Khususnya yang membahas psikologi, neuro-science, spiritualitas, kepemimpinan dan pengembangan diri.

Imam Ali mengatakan, pendidikan terhadap anak ada 3 tahap. Masing-masing dalam kelipatan 7 tahun. Tahap pertama, saat berusia 0-7 tahun, didiklah mereka seperti “Raja” (R). Tahap kedua, ketika berusia 7-14 tahun, didiklah mereka sebagai “Tawanan” (T). Tahap ketiga, pada usia 14-21 tahun, perlakukan mereka sebagai “Sahabat” (S). Konsep ini disebut “Education 37: RTS Approach”.

Sekilas kami pernah menjelaskan prinsip-prinsip umum pendidikan ini pada beberapa tulisan sebelumnya, termasuk dalam “Education 37: Kapan Harus Bertarikat?”. Tiga tahapan usia 7 tahun ini secara simultan terkait erat dengan fase penguatan tauhid, syariat dan tasawuf. Penekanan pada 3 ilmu dasar keislaman ini diberikan pada 3 fase usia 7 tahunan yang berbeda, sesuai perkembangan otak dan jiwa.

Kali ini, kami perluas penjabaran konsep pendidikan yang sangat jenius dari Imam Ali ini. Kajian kita akan masuk lebih dalam pada ranah pendidikan kesadaran, sesuai 3 fase usia 7 tahunan ini. Bahwa, tiga tahapan usia tujuh tahunan seseorang secara berturut-turut harus digunakan untuk penguatan tiga bentuk kecerdasan yang disingkat dengan “IDK”: (1) imajinasi (2) disiplin; dan (3) koneksi.

Tahap Pertama sebagai Raja: “Membangun Imajinasi” (0-7 Tahun)

Usia 0-7, seorang anak masih pada tahap “kesucian awal”, atau periode fitrah. Baru lahir dia. Yang baru hidup cuma ruhnya. Yang berfungsi cuma imajinasi bawah sadarnya. Kehidupannya masih di alam mimpi. Tidur saja kerjanya. Akalnya belum begitu berkembang. Pada periode awal ini, yang paling aktif dari seorang anak adalah gelombang “subconscious mind”-nya, tempat tersimpan semua kesadaran awal sebagai manusia.

Jika pada periode ini kita gagal membuat rekaman yang baik bagi anak, masa depannya akan terganggu. Coba perhatikan. Ada diantara kita yang sampai usia dewasa masih hidup dengan rasa putus asa, minder, takut, was-was, sedih, benci, pemarah, sinis, hasad, angkuh, suka menipu, serta aneka perilaku “ammarah” dan “lawwamah” lainnya. D.R Hawkins (1994) menyebutnya sebagai “forces”. Semua itu bentuk energi yang sangat rendah dan bersifat destruktif.

Kalau kita telusuri apa penyebab itu terjadi, biasanya ada sesuatu dengan masa lalunya. Ada luka batin, pengalaman, kejadian, doktrin atau pola pengasuhan yang kita peroleh pada usia-usia awal yang tanpa sadar menyebabkan kita memiliki kepribadian yang sangat negatif seperti itu.

Usia 0-7 tahun adalah periode paling krusial untuk membangun imajinasi positif bagi seorang anak. Pada usia ini, mereka harus diperlakukan secara nyaman layaknya seorang raja. Harus dipuji, dibesarkan, diapresiasi, dipeluk, dicium, disayang, disanjung dan dijunjung tinggi-tinggi. Berikan pengalaman-pengalaman positif bagi mereka. Ibarat melayani seorang raja, bahkan semua egonya kita penuhi.

Pada usia ini; jangan memberatkan otaknya dengan konsep halal-haram, dosa-pahala, atau surga-neraka. Sebab, ini adalah usia dimana semuanya adalah surga bagi mereka. Mereka masih hidup di Taman Eden, di alam nirwana. Semuanya baik. Semuanya benar. Semuanya dituruti, sejauh tidak membahayakan. Semuanya harus positif bagi suasana batin mereka.

Periode ini adalah periode pertama Adam bagi kehidupan mereka. Semua adalah visualisasi tentang alam surgawi, tanpa restriksi ini dan itu. Semua yang diminta ada. Tugas orang tua menyediakannya, sekaligus mengawasi agar aman bagi mereka. Jangan dipaksa mereka menghafal sesuatu yang berat-berat, kecuali bakat intuitifnya ada untuk itu.

Pada usia ini, anak jangan pernah dibentak, dimaki, dimarahi, dicerca atau ditakuti, dicubit atau dipukul. Jangan dilarang-larang, dibuat sedih atau sejenisnya. Besarkan hatinya. Motivasi dia. Inilah periode untuk mengembangkan sisi kanan dari otak. Otak kreatif. Otak emotif.

Ini adalah periode untuk merekam “rasa” (imajinasi) positif, yang itu akan berbuah ketika mereka dewasa. Periode ini adalah periode untuk “membelah dada”, untuk membuang gelombang-gelombang destruktif dalam jiwa, untuk membangun “alam shudur” anak, agar sejak awal sehat secara spiritual.

Seperti dialami nabi, inilah periode awal kehadiran “malaikat-malaikat” pembersih frekuensi dari jiwa. Lingkungan mereka harus kondusif untuk menguatkan dimensi kejiwaan. Karenanya, pada usia ini, anak-anak biasanya dididik dengan cara-cara “fun”, di PAUD dan TK. Guru mereka adalah “malaikat-malaikat” itu.

Tahap Kedua sebagai Tahanan: “Membangun Disiplin” (7-14)

Ini adalah periode kedua Adam di surga. Semua masih dibolehkan. Kecuali yang tidak boleh. Sebagai anak kecil, mereka masih dilayani sedemikian rupa. Tapi mulai ada restriksi. Semua boleh diminta, boleh dimakan, boleh disentuh, boleh dilihat dan boleh dikerjakan; kecuali yang tidak boleh (“khuldi”).

Meskipun kebebasannya masih sangat besar, pada tahap ini mulai ada batasan. Mulai diperjelas hal-hal yang dilarang. Area bermain dan bertindak mulai dipagari. Mulai “dipenjara” mereka. Perlahan diperkenalkan tentang konsep baik-buruk, benar salah. Pendidikan syariat dan adab harus mulai diperkuat. Anak-anak mesti didisiplinkan untuk mengerjakan “kewajiban” dan menjauhi “larangan”.

Pada usia ini mereka dididik untuk bersikap secara sadar. Mereka harus mulai ditertibkan di meja makan, di kamar tidur, di kamar mandi, di ruang belajar dan lainnya. Time management mulai diperkenalkan. Begitu juga dengan kebersihan dan kerapian. Mereka juga harus tau cara menghormati orang tua dan guru. Serta cara bersikap yang baik terhadap kawan-kawannya.

Fokus edukasi pada periode 7-14 tahun sudah mulai menyasar otak “conscious mind”. Hafalan sudah mulai bisa diberikan. Berbagai bidang ilmu sudah bisa ditanamkan. Otak kirinya perlahan harus diaktivasi. Kemampuan kognitif berpikirnya mulai didorong untuk tumbuh lebih kuat. Pada usia ini mereka sudah mulai dibawa ke arah pemikiran kritis sekaligus kreatif.

Jadi begini. Pada tahap sebelumnya, usia 0-7 tahun, tugas kita adalah membangun imajinasi kreatif seorang anak. Visi afeksi ruhaniahnya harus tumbuh kuat pada periode itu. Sebisa mungkin tidak ada luka batin dalam alam bawah sadar mereka. Rasa positif ini akan menjadi “film” atau “disain takdir” untuk masa depan.

Rasa positif dalam jiwa adalah catatan pengalaman di level subsconscious. Rasa ini merupakan emosi yang suatu saat akan mengalami transformasi menjadi perkataan dan tindakan; hingga membentuk nasib mereka. Jika mereka merasakan kebaikan dalam jiwa, maka baik pula nasib dan masa depannya.

Tapi ingat, sebuah “visi” bawah sadar tidak akan menjadi sesuatu kalau tidak dibarengi oleh ikhtiar. Harus ada usaha nyata untuk mewujudkannya. Karena itu, salah satu syarat paling penting dalam proses action untuk mewujudkan visi adalah tumbuhnya adab dan kedisiplinan. Inilah yang menjadi fokus bagi anak pada usia 7-14 tahun. Sebuah visi, seindah apapun itu, tidak akan tercapai jika tidak dibarengi tanggungjawab, keberanian, kemauan, kedisiplinan dan tindakan-tindakan logis lainnya. Menurut Hawkins (2014), ini bentuk-bentuk “power” awal untuk mencapai kemajuan.

Karena itulah, Anda bisa melihat bagaimana Nabi saat berusia 7-14 tahun didisiplinkan melalui aktifitas menggembala kambing dan lainnya. Disiplin bukanlah hukuman. Disiplin adalah sebuah bentuk self-control dalam pencapaian tujuan. Semua aktifitas yang memiliki tujuan (goals), apakah untuk profit dan lainnya, membutuhkan bentuk-bentuk kedisiplinan, konsistensi dan persistensi dalam mencapainya.

Karena itu, pada usia 7-14 tahun (usia sekolah dasar) sudah mulai harus dikikis sifat malas, suka menunda dan sejenisnya; yang itu semua memungkinkan ada pada diri sang anak. Bahkan, malas sholat pun bisa dikenakan hukuman “pukulan”. Tapi dalam kadar sewajarnya, bukan untuk menyakiti atau melahirkan luka batin baru.

Terkadang ada lembaga pendidikan yang masih suka “menyiksa” muridnya. Guru yang suka memukul, kalau diselidiki, itu masa lalunya juga sering kena pukul. Yang dia lakukan sebenarnya bukan mendidik. Melainkan membalas dendam terhadap apa yang pernah ia alami. Seorang guru biasanya hanya memberi apa-apa yang pernah mereka terima. Jika jauh di alam bawah sadarnya masih ada memori bagaimana ia mengalaminya kekerasan, itulah yang kemudian ia lakukan pada muridnya. Inilah sanad kekerasan yang terkadang masih tersisa dalam lembaga pendidikan.

Tahap Ketiga sebagai Teman: “Membangun Koneksi” (14-21)

Jika skenario 2 fase pertama berjalan baik, maka otak kanan dan otak kiri sang anak akan berkembang dengan sempurna. Artinya, mereka sudah sah disebut sebagai “manusia”. Agama, pada level dasar, itu memang diturunkan untuk orang yang sudah tumbuh akal dan emosionalnya. Dan ini biasanya terjadi pada usia baligh, sekitar 14 tahunan. Mereka sudah memahami konsep-konsep. Pada usia ini, petunjuk agama dan aneka ilmu tentang kehidupan sudah bisa dicerap oleh IQ dan EQ si anak. Orang-orang seperti ini sepintas sudah bisa dilepas untuk mengembara di muka bumi.

Namun kita harus ingat dengan drama pendidikan Tuhan untuk Adam. Pada fase pertama kehidupannya, Adam adalah makhluk suci. Makhluk surgawi. Makhluk fitrah. Makhluk kuantum (cahaya). Ia lahir dari “fakultas langit”. Makhluk yang berasal dari gelombang subsconscious, “relax and happy”.

Lalu ia mulai tumbuh sebagai makhluk atomik, dan bahkan membandel. Freewill-nya kuat. Agar terarah, ia harus didisiplinkan di “fakultas bumi”. Disinilah ia dipenjara dalam aneka regulasi ibadah dan ubudiyah. Saban hari ia harus membangun awareness, berusaha mendisiplinkan diri agar kembali menjadi makhluk beradab. Ia melanglang buana di muka bumi. Dengan otak kanan dan kirinya ia berusaha memahami apa yang ada.

Tapi ingat. Tujuan Adam bukan untuk terjebak di bumi. Aslinya Adam adalah bersama Tuhan. Dari sana ia berasal, kesana ia harus kembali. Mak tahap terakhir dalam edukasi adalah proses bagaimana seseorang bisa kembali menjadi “sahabat” Tuhan. Hakikatnya adalah bagaimana kita bisa kembali terkoneksi, terhubung dengan Allah SWT.

Tentu ini tidak sulit. Adam membuktikan, setelah menemukan “wasilah”, ia bisa kembali terintegrasi dalam Asma Allah. Ia bisa kembali melebur dalam wujud gelombang ruhani terawal. Ia bisa menjadi citranya (tajalli) Allah. Begitu hebatnya dia, bahkan kualitasnya melebihi malaikat. Sehingga semua sujud kepadanya. Itulah gambaran derajat manusia, ketika mampu menjadi “manusia sempurna” (insan kamil).

Karena itu, pendidikan pada usia 14-21 adalah sudah mulai masuk dalam kurikulum “prophetic education” (pendidikan khas kenabian). Fokusnya adalah pendalaman spiritual. Usia 14 adalah usia akil baligh. Sebuah usia matang bagi seorang anak untuk mulai mendalami hakikat-hakikat kehidupan.

Karenanya, pada usia ini, anak harus diperlakukan sebagai “sahabat”. Sebab, ilmu-ilmu rahasia hanya bisa ditransfer secara berlahan kepada seseorang yang Anda temukan sebagai sahabat. Hanya kepada mereka yang bisa menyimpan rahasia, Anda boleh menyampaikan ilmu-ilmu khusus.

Secara normatif, anak pada usia 14-21 mulai masuk ke masa remaja. Emosi mulai matang. Akal telah berkembang. Sehingga seorang ayah dapat menjadikan mereka sebagai partner diskusi untuk urusan-urusan yang lebih produktif dan strategis. Namun lebih dari itu, secara spiritual, mereka harus diperkenalkan aneka jalan dan metode untuk menuju Tuhan. Untuk menjadi “khalilullah”, sahabatnya Tuhan.

Memang, setelah melewati dua fase terdahulu, otak kiri dan kanannya sudah berkembang. Tapi ada jenis “otak” lain yang harus diaktivasi. Yaitu, “otak ketuhanan”. Dan itu tidak terletak di otak. Melainkan di “hati” (qalbu).

Kecerdasan akal (IQ) boleh saja berkembang. Pun emosi boleh saja tumbuh (EQ). Tapi jika ruh (SQ) tidak aktif, kita akan “tersesat” di dunia. Sebab, puncak tujuan kita adalah kembali kepada keterkoneksian dengan gelombang ketuhanan.

Ada titik dimana kita semua akan merasa kosong, lelah, dan seperti tidak bertujuan; jika hanya bertumpu pada akal pikiran. Harus ada metode pendidikan yang memberi rasa yang nyata terhadap kehadiran Tuhan. Harus ada hijab yang tersibak, sehingga gelombang kesadaran Anda bisa terus memuncak, untuk berjumpa dan menemukan Wajah-Nya.

Karena itulah dalam sirah diceritakan bagaimana Nabi pada usia remaja mulai menjalani kehidupan spiritual. Pada usia 12, saat dalam perjalanan dagang menuju Syams bersama pamannya Abu Thalib, ia berjumpa dengan seorang spiritualis. Namanya Buhaira. Ia adalah ulama Nestorian yang mewarisi ketauhidan dan amalan-amalan Nabi Isa as. Anda harus memahami, bahwa ini adalah sebuah bentuk “perjumpaan spiritual” sosok Muhammad remaja dengan pewaris nabi sebelumnya. Buhaira ini pula yang meneguhkan, bahwa Muhammad akan menjadi sosok agung pengganti Isa as.

Kehidupan Muhammad remaja sampai dewasa bukanlah hanya sebagai pedagang. Melainkan juga sebagai “rahib”, yang rutin melakukan meditasi di tempat-tempat sunyi. Di Gua Hirak salah satunya. Ia pebisnis. Juga ahli suluk (zikir). Pendidikan spiritual ini tentu telah ia terima atau pelajari dari para leluhurnya yang hanif, atau dari para spiritualis sebelumnya. Muhammad terus berlatih, sampai energinya terhubung dengan aneka gelombang malakut dari sisi Tuhannya. Sampai ia merasakan high level of energy dalam bentuk love, joy, peace, and enlightened. Semua bentuk energi ini digambarkan sebagai mukjizat atau “power” Hawkins (2014).

Dengan ketauladanan pada apa yang dijalani Nabi, tidak hanya pikiran “conscious” dan “subconscious” yang harus dihidupkan dalam diri, vibrasi ruh (super conscious mind) juga harus aktif. Itulah yang membuat menjadi manusia sempurna. Kecerdasan terakhir itulah yang benar-benar membuat kita kembali menjadi makhluk bertuhan.Walaupun diangkat menjadi rasul pada usia 40, pada usia 21, kekeramatan atau kemuliaan Muhammad sudah sangat tinggi.

Artinya begini. Sejak usia baligh, sekitaran usia awal SMA sampai tamat kuliah; anak-anak sudah bisa diperkenalkan dengan kekhasan dunia suluk dan zikir. Dalam Islam ada sosok agung seperti imam Ali, yang sejak remaja sudah cerdas otak dan emosinya, sekaligus “karamah” wajah qalbunya. Sebab, ia sudah mendalami dunia spiritual sejak kecil.

Penutup

Konsepsi “Education 37: RTS Approach” adalah pemaknaan terhadap kurikulum pendidikan yang dijalani Nabi Adam as.

Pada awalnya, Adam adalah seorang “raja” di surga (0-7 tahun). Ini disebut juga sebagai periode evolusi pendidikan “Adam 1.0” (one point zero). Lalu ia didisiplinkan sebagai “tawanan” dalam penjara ibadah dan ubudiyah (7-14 tahun). Ini fase evolusi pendidikan kedua, atau “Adam 2.0” (two point zero). Sampai kemudian ia menempuh jalan untuk kembali menemukan kesadaran ketuhanan, sampai ia kembali menjadi akrab sebagai “sahabat” Tuhannya (14-21 tahun). Evolusi edukasi terkahir ini disebut “Adam 3.0) three point zero). Setiap Bani Adam, idealnya juga mengikuti evolusi pendidikan semacam ini.

Terakhir, kalau Anda melihat peta “gelombang otak” (brainwave), konsep edukasi yang dipaparkan Imam Ali adalah juga sebuah peta perjalanan gelombang kesadaran manusia dari lahir, kemudian bertumbuh dan kembali kepada Tuhan.

Kehidupan awal manusia dimulai dari kesadaran pada gelombang Delta (0-4 Hz). Selanjutnya tumbuh ke Theta (4-8 Hz). Seterusnya meningkat ke Alpha (8-12 Hz). Ini semua bentuk-bentuk dari gelombang “bawah sadar” (otak kanan), yang dominan pada anak usia 0-7 tahun. Ketika benar-benar terjaga secara intelektual, maka kita akan berada pada gelombang Beta (12-30 Hz). Itulah gelombang “sadar” (otak kiri), yang dominan pada usia 7-14 tahun. Melalui pendidikan spiritual, tinggi gelombang bisa dinaikkan sampai ke level “atas sadar” atau Gamma (30+ Hz). Inilah wilayah gelombang kesadaran para nabi.

Kalau kita telusuri, ternyata, perjalanan hidup manusia adalah seperti kata Imam Ali: dari “tidur” ke “terjaga”. Kehidupan ini adalah sebuah proses perjalanan dari “mati” ke “hidup”. Dari Delta, Theta, Alfa (low wave freckuency); ke Beta dan Gamma (high wave freckuency).

Pertanyaannya, bisakah pendidikan kita disain sedemikian rupa? Pada usia 0-7 tahun, otak kanan (emotif/bawah sadar) bisa tumbuh sempurna. Usia 7-14 tahun, otak kiri (intelektual/sadar) menjadi hebat. Lalu, pada usia 14-21 tahun, qalbunya (ruhani/atas sadar) tercerahkan (enlightened) sehingga mampu membangun komunikasi dan benar-benar terkoneksi dengan Allah.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: 
sayyidmuniruddin.com
TikTok: tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/Habib.Munir/
Twitter-Xx.com/saidmuniruddin
Channel WA: The Suficademic
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2

Bagikan:

2 thoughts on “EDUCATION 37: “RTS APPROACH”

  1. Masya Allah, izin bertanya Ustadz, bagaimana memperbaiki “kerusakan” yang disebabkan oleh pendidikan yang kurang tepat pada masa usia 0-21 tahun yang telah dialami oleh orang dewasa ? Terima kasih ustadz🙏

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Next Post

SUKSES UNTUK BINAPEMDES KEMENDAGRI

Mon Oct 14 , 2024
SAID

Kajian Lainnya

SAID MUNIRUDDIN adalah seorang akademisi, penulis, pembicara dan trainer topik leadership, spiritual dan pengembangan diri.