PROF. NASARUDDIN UMAR

Bagikan:

Jurnal Suficademic | Artikel No.58 | Oktober 2024

PROF. NASARUDDIN UMAR
Oleh Said Muniruddin

Bismillahirrahmanirrahim.

Saya mengenal Prof. Nasaruddin Umar ketika masih mahasiswa. Saat itu saya sedang menjabat sebagai Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Banda Aceh. Sekitaran tahun 2000-2001. Pertama sekali berinteraksi dengan beliau adalah saat diundang pada sebuah seminar terkait perempuan, yang diadakan oleh Mitra Sejati Perempuan Indonesia (MiSPI). LSM ini dipimpin oleh Ibu Syarifah Rahmatillah. Salah satu pembicaranya Dr. Nasaruddin Umar. Cukup memukau juga isi ceramahnya. Perspektif relijiusnya unik dan sangat argumentatif. Saya kagum dengan gaya orang Makasar ini. Penyampaiannya tenang, intelek dan mencerahkan.

Beberapa bulan kemudian, beliau diundang lagi ke Banda Aceh. Saya lupa acara apa dan penyelenggara siapa. Tempatnya di Hotel Cakradonya, sekarang sudah berubah menjadi Hotel Arabia, Peunayong.

Spontan saya menemui panitia. Lalu meminta izin untuk berdiskusi dengan beliau setelah acara. Dr. Nasaruddin setuju. Beliau menyediakan waktu malam, sekitar jam 10, setelah beliau selesai mengisi materi.

Saya membawa serombongan pengurus dan kader HMI Cabang Banda Aceh ke hotel ini. Ruangan sudah disediakan. Bertindak sebagai moderator, saya mulai membuka kesempatan untuk beliau menyampaikan sesuatu terkait pengembangan leadership dan spiritualitas bagi mahasiswa.

Mungkin ada sekitar 40 menit beliau bicara. Lalu dimulailah sesi tanya jawab. Anda bisa bayangkan sendiri kalau kader HMI berdiskusi. Tidak ada ujungnya. Semua ingin bertanya. Satu persatu beliau jawab.

Saya melirik ke dinding. Sudah hampir jam 12 malam. Sudah dua jam diskusi, belum ada tanda-tanda peserta menyerah. Entah apa-apa ditanya. Saya melirik ke Dr. Nasaruddin Umar, terlihat wajahnya sangat lelah. Mimik mengantuknya tidak dapat disembunyikan.

Waktu itu, saya memang menyerahkan sesi diskusi kepada Dr. Nasaruddin. Saya berkata, “Nanti terserah Pak Nasaruddin kapan mau diakhiri diskusinya”. Ternyata, saya salah. Beliau sama sekali tidak mau berhenti, walaupun lelah dan ngantuk sekali, sebelum mahasiswanya sendiri yang minta berhenti.

Alhasil, sudah jam 12 malam. Akhirnya saya putuskan berhenti. Kalau tidak, bisa berlanjut sampai subuh. Saya berterima kasih kepada beliau atas waktu yang sangat berharga untuk kami kader HMI. Disitu saya baru tau karakter beliau, yang tidak mau berhenti menyampaikan sebuah ilmu kepada audiennya, walau lelah sekali, selama audiennya masih ingin menimba ilmu dan tidak mau berhenti.

Saya heran, kok ada orang seperti ini. Biasanya, pemateri nasional itu lumayan “sombong”. Kalau diajak diskusi, pasti diberi limit waktu, dengan alasan ada bisnis dan kesibukan lainnya. Tapi tidak dengan yang satu ini.

Lama-lama saya baru tau. Ternyata beliau ini penganut ajaran sufi. Juga pengamal tarikat tertentu. Katanya, beliau juga pernah menjadi murid Prof. Dr. Kadirun Yahya Muhammad Amin; seorang syekh mursyid dan juga ahli metafisika Indonesia, yang sanad sufismenya juga berkembang sampai ke Aceh. Karena itu, sifat toleran dan tawadhuknya tinggi sekali. Tulisan-tulisan sufistik online beliau di Republika sering saya baca. Kajiannya dalam, sangat filosofis dan menyentuh hati.

Karena itu saya tidak heran jika sosok Imam Besar Masjid Istiqlal, yang kini telah menjadi menteri agama ini sangat toleran. Pemahaman keagamaannya sangat universal. Moderat. Tidak ortodoks. Tidak jumud. Tidak provokatif. Tidak sektarian. Saya menaruh harapan, suasana keberagamaan di Indonesia menjadi lebih baik di tangan menteri yang sufi ini.

Saat ini, sufisme sangat dicari. Sekaligus di beberapa tempat masih dicurigai. Hujatan terhadap Prof. Nasaruddin Umar juga sangat banyak. Khususnya dari agamawan radikal. Tapi, keberaniannya dalam bersikap membuat kecut kaum fundamentalis, yang suka menuduh sesat dan mengkafir-kafirkan orang.

Saya melihat bagaimana ia berinteraksi dengan Paus Fransiskus, saat berkunjung ke Indonesia (5/9/2024). Mungkin bagi banyak kita yang “jumud” akan melihat pemimpin Katolik dunia sebagai kafir dan najis. Tapi, dengan santainya Prof. Nasaruddin mencium kepala Paus. Seolah-olah, Paus itu anaknya. Sebagai balasan, Paus pun berkali-kali mencium tangan beliau. Seolah-olah, Prof Nasaruddin adalah orang tuanya. Baru pertama kali saya melihat Paus mencium tangan seorang ulama. Dan itu adalah menteri agama kita.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: 
sayyidmuniruddin.com
TikTok: tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/Habib.Munir/
Twitter-Xx.com/saidmuniruddin
Channel WA: The Suficademic
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2

Bagikan:

One thought on “PROF. NASARUDDIN UMAR

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Next Post

KEBANGKITAN KAUM BERSARUNG

Tue Oct 22 , 2024
Jurnal

Kajian Lainnya

SAID MUNIRUDDIN adalah seorang akademisi, penulis, pembicara dan trainer topik leadership, spiritual dan pengembangan diri.