
Jurnal Suficademic | Artikel No.62 | Oktober 2024
REFLEKSI 96 TAHUN SUMPAH PEMUDA: DIMANA LEVEL KECERDASAN PEMUDA KITA?
Oleh Said Muniruddin
Bismillahirrahmanirrahim.
Kecerdasan itu bertingkat. Dari terendah sampai tertinggi. Salah satu formula yang digunakan dalam pemeringkatan kecerdasan adalah “Taksonomi Bloom”. Ini teori paling populer dalam dunia pendidikan. Untuk mengukur level keterdidikan seseorang, Anda bisa menggunakan rumus ini.
Dalam “Taksonomi Bloom”, level kognitif atau tingkat kecerdasan seseorang dibagi dalam 6 tingkat. Mulai dari terendah, sampai tertinggi. From lower order, to higher order of thinking. Teori ini sendiri awalnya muncul tahun 1956 dari seorang psikolog pendidikan bernama Benjamin Bloom. Tapi terus disempurnakan, termasuk tahun 2021 oleh Krathwohl dan para ahli aliran kognitivisme. Mereka membuat order tingkat kecerdasan sampai ke poin nomor 6.
Saya menambah poin ke 7, untuk kembali menyempurnakan teori ini. Tiga level pertama (1-3) saya sebut sebagai “low order thinking”. Tiga level kedua (4-6), saya sebut sebagai “high order thinking”. Sedangkan satu level terakhir (7), saya sebut sebagai “ultimate level of thinking”. Ke tujuh level kecerdasan tersebut adalah (Said Muniruddin, 2024):
- Remember (mengingat)
- Understand (memahami)
- Apply (mengaplikasi)
- Analyze (menganalisis)
- Evaluate (mengevaluasi)
- Create (mencipta)
- Become (menjadi)
Bagaimana penjelasannya?
***
Level terendah dari kecerdasan adalah kemampuan “mengingat” (remember). Kalau kerja kita masih sebatas mengingat, menyebut atau menghafal; level otak kita masih di tingkat PAUD atau sekolah dasar. Namun jangan salah, selalu ada sesuatu yang mesti kita ingat atau hafal (memorise). Itu penting juga. Namun itu bentuk paling primitif dari sebuah pengetahuan.
Sebab ada tingkat yang lebih tinggi dari sekedar menghafal. Yaitu “mengerti” (understand) apa yang dihafal. Apapun yang Anda baca, sebaiknya dimengerti apa maksud atau pengertiannya. Disinilah orang mulai belajar mendefinisikan, mendeskripsikan, atau menjelaskan makna dari sesuatu.
Lebih tinggi dari ini adalah “menggunakan” (apply). Sesuatu akan semakin bermakna ketika bisa digunakan atau dioperasikan dalam sebuah situasi. Sehingga pengetahuan menjadi aplikatif untuk menyelesaikan persoalan. Namun, masalah dan tantangan yang timbul selalu akan baru. Sehingga sebuah pengetahuan belum tentu aplikatif untuk semua tempat dan waktu.
Karena itu, sebuah pengetahuan harus terus-menerus dipahami atau “dikaji ulang” (analysis). Struktur pengetahuan harus ditelaah kembali. Setiap komponennya harus kembali di dalami. Setiap pengetahuan harus dipertanyakan ulang. Efektifitasnya harus bisa dibandingkan. Manfaatnya harus telaah lagi. Kebenarannya harus di tes ulang. Setiap pengetahuan selalu ada unsur benar, sekaligus level erornya.
Baru kemudian setelah itu kita menemukan kemampuan lebih tinggi untuk “mengevaluasi” (evaluate) sebuah teori. Disana akan kita temukan cacat, ketidak relevanan, inkonsistensi, problem, celah masalah dan ruang untuk perbaikan. Disini diperlukan kemampuan untuk menghakimi dan mensintesa sebuah kebenaran. Dimana letak benar serta peluang untuk mengganti atau menyempurnakannya.
Setelah itu, tugas kita adalah “menciptakan” sesuatu yang baru. Boleh jadi membuat sebuah prototype yang total baru. Ataupun sekedar menyempurnakan yang telah ada. Ini sudah level tertinggi dari pengetahuan. Level kreatifnya sudah sangat tinggi. Sudah bisa melahirkan produk atau karya, yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada zamannya.
Dalam “Taksonomi Bloom” sebelumnya, hanya ada 6 level kecerdasan kognitif seseorang. Ada satu yang terlupakan. Yaitu, proses “menjadi” (become). Dan ini sebenarnya menjadi puncak dari struktur kecerdasan dalam “Taksonomi Bloom”. Puncak pengetahuan adalah bagaimana menjadi bagian dari yang Anda ingat, mengerti, aplikasi, pahami, kritisi dan ciptakan. Ilmu itu adalah Anda sendiri. Ketika keseluruhan DNA dan kesadaran Anda menjadi sesuatu yang Anda sampaikan, saat itulah Anda telah menjadi “suri tauladan” (role model). Anda telah menjadi “nabi” atau “imam” terhadap sesuatu yang Anda imajinasikan.
Sumpah Pemuda
Lalu kembali ke “Sumpah Pemuda”. Dimana posisi Anda dalam Sumpah Pemuda?
Apakah masih di level menghafal (memorize) catatan yang sudah berusia 96 tahun itu dalam setiap seremoni 28 Oktober? Atau sudah mengerti (understand) apa yang dibaca? Atau sudah bisa digunakan (apply) dalam fungsi kenegaraan? Jika iya sudah pada 3 level ini, kita sudah sempurna berada di “lower level of thinking”. Artinya, kita hanya bisa menjadi konsumen yang baik dari sebuah produk.
Atau mungkin kita sudah mampu mendalami Sumpah Pemuda (analyze) secara mendalam. Kemudian mampu mengevaluasi (evaluate) kembali notasi Sumpah Pemuda itu. Pada saat yang sama, Anda juga berhasil menggali kecerdasan untuk menciptakan (create) sebuah “sumpah baru” yang bisa menyelesaikan masalah pemuda dan bangsa hari ini. Jika iya, maka kecerdasan Anda sudah berada pada “higher order of thinking”.
Untuk betulan cerdas secara sempurna (kamil) pemuda Indonesia harus berada di level 7. Anda harus menjadi role model (becoming) tentang kebaikan dan kebenaran. Sama seperti pengetahuan terkait Qur’an dalam tradisi Islam. Apakah Anda masih pada level menghafal Qur’an, atau sudah menjadi Qur’an itu sendiri? Jika sudah menjadi Qur’an, itu berarti kecerdasan Anda sudah melampaui cognitive memory. Anda justru sudah menjadi gerak dan jiwa dari Qur’an itu sendiri. Artinya, Anda sudah menjadi jenis orang yang nama dan karakternya “dihafal” (disebut-sebut) oleh orang lain.
Sumpah Pemuda tahun 1928 adalah sebuah pengetahuan kolektif untuk menyelesaikan masalah bangsa di era kolonial. Itu sumpah yang sangat cerdas untuk masa itu. Saya menyadari betapa cerdasnya pemuda kita saat itu. Mereka mampu membangun sumpah semacam ini untuk menghadapi tantangan di zamannya. Kita bukan lagi generasi kolonial. Kita tidak hidup di zaman Belanda dengan isu tanah air, bangsa dan bahasa. Kita yang hidup sekarang, yang terhimpun di KNPI, adalah generasi milenial dan Gen-Z. Masalah kita dan bangsa kita sudah berbeda.
Kita tidak akan maju dengan sumpah lama. Harus ada sumpah yang diperbaharui, kalau kita ingin kembali “merdeka”, dari penjajahan lainnya; yang lebih besar dari urusan tanah air, bangsa dan bahasa. Bahkan Anda sendiri harus menjadi wujud dari sumpah itu sendiri (becoming). Agar menjadi ketauladanan baru bagi generasi terkini.
Sumpah Pemuda bisa diubah atau disempurnakan, kalau kecerdasan Anda berada di level 6 atau 7. Kalau dibawah itu, tidak bisa. Kita malah curiga, kecerdasan pemuda Indonesia masih pada level pertama. Kita sibuk menghafal sumpah itu setiap tahunnya, dalam seremoni untuk mengingat masa lalu.
Memang kualitas pendidikan Indonesia masih rendah. Belum menjadi bangsa yang “leading” dan “creative”, yang melihat ke depan. Atau pemuda kita memang sengaja dikondisikan untuk terus bodoh, sehingga tidak mampu lagi berkumpul untuk membangun sumpah baru, dalam rangka melawan penjajahan yang dilakukan bangsa sendiri. Kalau Anda ingin menciptakan sejarah, Anda harus membuat sumpah baru, untuk mewujudkan Republik Indonesia yang lebih maju!
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: sayyidmuniruddin.com
TikTok: tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/Habib.Munir/
Twitter-X: x.com/saidmuniruddin
Channel WA: The Suficademic
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2
One thought on “REFLEKSI 96 TAHUN SUMPAH PEMUDA: DIMANA LEVEL KECERDASAN PEMUDA KITA?”