
Jurnal Suficademic | Artikel No.73 | November 2024
TIGA JENIS GURU: DARI DIDENGAR, DITIRU SAMPAI YANG DIIKUTI
Oleh Said Muniruddin
Bismillahirrahmanirrahim.
Guru itu ada 3 jenis. Ada yang hanya “didengar”. Ada yang “ditiru”. Bahkan ada yang sampai “diikuti”.
Pertama, Guru yang hanya “Didengar”
Ini model umumnya guru. Apakah itu guru sekolah umum (i.e. guru dan dosen), guru sekolah agama (i.e. ustad dan ulama) dan lainnya (coach, trainer, khatib, penceramah, dsb). Kebetulan sang guru ini punya banyak informasi. Bisa jadi karena banyak membaca buku atau kitab. Bisa jadi karena sekolahnya tinggi. Tugas sehari-harinnya hanya untuk menyampaikan, atau membuat kajian, untuk di dengar oleh para murid atau jamaahnya.
Ini level pertama dari taksonomi keguruan. Seorang guru adalah seorang pembicara. Ia harus berbicara ke telinga orang-orang. Mungkin juga harus berteriak agar di dengar. Masalah diikuti atau tidak, itu bukan urusannya. Bahkan terkadang ia sendiri tidak mempersiapkan dirinya untuk ditiru, apalagi untuk diikuti. Karenanya ada jenis guru yang bahkan orang-orang tidak tau kehidupan pribadinya. Sang guru memang sengaja mengunci diri dari para murid dan masyarakatnya. Atau mungkin akan malu kalau orang-orang tau apa tabiatnya.
Karenanya, guru pada level ini, energinya masih rendah sekali. Yang bekerja hanya “lisannya” saja (no action talk only). Namun demikian, sudah cukup baik bagi seseorang kalau mau menyampaikan sesuatu. Karena itulah ia disebut guru. “Ballighu ‘anni walau Aayat”, kata Nabi. Setiap orang yang menyampaikan sesuatu kepada kita, adalah guru. Kita harus menghormatinya.
Kedua, Guru yang “Ditiru”
Ini sudah masuk dalam level menengah dalam taksonomi guru. Pada tahapan ini, seorang guru sudah “ditiru”. Bukan hanya sekedar berbicara, tapi ia sudah menunjukkan contoh-contoh menarik dalam melakukan sesuatu. Ia sendiri mempraktekkan itu. Tidak hanya lisan, “tindakannya” ikut berbicara.
Ada contoh-contoh terbaik dalam diri guru semacam ini. Mungkin saja cara ia bekerja, kedisiplinannya, kejujurannya, kesabarannya, keberaniannya, ketegasannya, kelembutannya, kedermawanannya, ketulusannya, kepeduliannya, dan 1001 macam perilaku terbaik lainnya. Guru model ini melakukan “leading by examples”. Ia mengajar melalui contoh. Bukan lagi sekedar bercerita. Apa yang ia lakukan kemudian dilihat, diketahui, disukai dan ditiru oleh orang-orang. Tindakannya menjadi insprasi bagi orang-orang.
Guru pada tingkatan ini, energinya sudah lumayan tinggi. Sebab, butuh power yang besar untuk naik dari sosok penceramah menjadi tauladan. “Laqad kana lakum fi Rasulillahi uswatun hasanah” (QS. Al-Ahzab: 21). Telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik. Siapapun yang membawa suri tauladan, layak ditiru. Dia adalah guru. Harus diapresiasi.
Ketiga, Guru yang “Diikuti”.
Ini level terakhir dalam taksonomi keguruan. Gradenya tinggi sekali. Sebenarnya sulit untuk menjadi guru pada tingkatan ini. Bisa mencapai dua level pertama saja sudah bagus sekali. Sebab yang terakhir ini adalah posisi para nabi, imam, mursyid atau guru-guru spiritual sejenisnya. Untuk menjadi guru yang sekedar “didengar” ataupun “ditiru” secara fisikal, mungkin mudah. Tapi untuk “diikuti” secara total, itu sulit sekali.
Untuk menjadi guru semacam ini, ego Anda harus dinetralisir terlebih dahulu. Anda harus menempuh sebuah jalan untuk menyatukan jiwa dengan Tuhan. Jiwa yang terintegrasi dengan Tuhan inilah yang nanti akan berbicara kepada murid-murid Anda. Jadi sebenarnya bukan Anda lagi yang bertindak dan berbicara. Tapi Tuhan. Karena itu dikatakan, mengikuti para leader (ulil amri) suci semacam ini sama dengan mengikuti Rasul dan Tuhan. “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan ulil amri di antara kamu.. ” (QS. An-Nisa: 59).
Disisi lain, bagi para murid, untuk “mendengar” dan “meniru” butuh kontak fisik dengan guru. Anda harus pernah melihat dan mendengarnya berbicara. Sedangkan untuk “mengikuti”, itu prosesnya beda, harus ada kontak batinnya. Dalam konteks ini, Anda sebagai murid harus menempuh sebuah jalan untuk menyambungkan jiwa dengan sang guru. Hanya dengan cara ini Anda bisa tersambung secara ruhaniah dengannya. Ketika ini terjadi, komunikasi spiritual antara guru dengan murid akan hidup.
Jadi, “guru spiritual” adalah guru yang punya kemampuan untuk berbicara dengan murid-muridnya melalui bahasa jiwa. Ia bisa mengawasi murid-muridnya dengan mata batinnya. Energinya mampu menembusi dimensi ruang dan waktu, untuk “melihat” dan “berbicara” dengan para murid. Ia bisa membimbing dan menerangi tanpa harus membuka kelas pengajian. Terkadang ia bisa hadir dalam mimpi. Tak jarang ia menghampiri si murid dalam aneka manifestasi dan wujud vibrasi. Getaran dan kehadiran spiritual sang guru inilah yang senantiasa diikuti oleh murid, dimanapun mereka berada.
Model guru ini adalah khas dalam dunia sufisme. Makna “diikuti” disini bukan sekedar ditemani, dikawal atau didampingi kemana-mana. Melainkan ada hubungan ruhaniah yang kuat, sehingga gerak sang murid selalu mengikuti frekuensi ruhaniah sang guru. Meskipun si murid jauh dari guru, ruhani gurunya senantiasa hadir untuk membimbing. Ada malaikat pendamping yang aktif mengilhami hati si murid saat menempuh perjalanan. Itulah yang diikuti.
Penutup
Secara umum ada tiga tingkatan guru. Pertama, guru yang ceramah dan kajiannya layak “didengar”. Dua, guru yang performa fisik dan karakternya patut “ditiru”. Tiga, guru yang ruhaninya untuk “diikuti”. Dua tingkat pertama adalah jenis guru yang eksis dalam dunia pendidikan formal. Sedangkan yang terakhir adalah khas dunia profetik. Sempurnanya seorang guru, ketika memiliki ketiganya. Didengar, ditiru dan diikuti. Ketiga hal ini biasanya ada pada jenis guru terakhir.
Istilah “guru” sendiri sebenarnya lebih cocok digunakan untuk sosok terakhir. Kata “guru” berasal dari bahasa Sansekerta. “Gu” artinya kegelapan. Sedangkan “Ru” artinya cahaya. Guru bukanlah orang sembarangan. Guru adalah “cahaya Tuhan”. Guru merupakan pewaris Nabi, seseorang yang membawa manusia dari gelap kepada cahaya. Karenanya, kata “guru” untuk jenis yang “diikuti” pantas ditulis dengan “G” besar (Guru).
Guru yang “diikuti” pada hakikatnya bukanlah tenaga pengajar atau ustad biasa. Guru yang “diikuti” adalah orang yang kuat sekali vibrasi ruhaninya. Padanan kata yang cocok untuk sosok seperti ini adalah “mursyid”. Mursyid adalah istilah tasawuf untuk sosok pembawa petunjuk, cahaya atau ilmu dari sisi Tuhan. Jadi, ilmunya “Guru” bukanlah ilmunya dosen, ustad, teungku, ulama atau pengajar biasa. Ilmunya Guru adalah ilmu kemursyidan. Ilmu tentang transmisi ruh atau cahaya.
Sementara itu, padanan kata yang cocok untuk Guru adalah “murid”. Murid itu bukan anak sekolahan, bukan siswa, juga bukan mahasiswa biasa. Murid juga sebuah terminologi tasawuf. Berasal dari akar kata arada, yuridu, muridan. Artinya orang yang berkehendak, ingin atau bersungguh-sungguh mencari ilmunya Allah. Dalam sufisme, anak didik para Gurumursyid disebut murid. Sedangkan murid untuk para guru lainnya biasa disebut “taliban”. Diambil dari akar kata tilmidz, talamid, tullab. Jadi, lebih mulia istilah murid daripada tullab.
Untuk semua guru kita dalam berbagai tingkatan ini, kita kirimkan: Al-fatihah!
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.****

SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: sayyidmuniruddin.com
TikTok: tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/Habib.Munir/
Twitter-X: x.com/saidmuniruddin
Channel WA: The Suficademic
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2
One thought on “TIGA JENIS GURU: DARI SEKEDAR DIDENGAR, DITIRU SAMPAI YANG DIIKUTI”