
Jurnal Suficademic | Artikel No.77 | Desember 2024
“ISLAM METHODIST”, BERAGAMA DARI MAZHAB HISTORIS KE MAZHAB METODOLOGIS
Oleh Said Muniruddin
Bismillahirrahmanirrahim.
DALAM pendekatan tradisional, agama cenderungan membawa umatnya ke “masa lalu”. Coba dengarkan ceramah-ceramah. Hampir semuanya berisi cerita masa lalu. Ketika ingin membahas sesuatu, langsung dicari sosok masa lalu dengan sampelnya. Kisah para sosok yang mungkin pernah hidup lebih dari 1000 tahun lalu. Kisah diseputaran para nabi, kisah sahabat nabi, dan sebagainya.
Agama ini terkadang seperti kekurangan kisah tauladan di masa kini. Contoh terbaik seperti hanya ada dimasa lalu. Pun jauh di Arab sana. Agama seperti tidak punya kisah sempurna dari masa sekarang, dari tempat dan kampung kita sendiri.
Agama dalam aspek tradisionalnya menjadi alat glorifikasi masa lalu. Agama seperti ini membawa kita untuk hidup di musium sejarah. Oang-orang bisa kehilangan perspektif tentang masa kini. Juga kehilangan kemampuan untuk membaca tanda-tanda zaman, untuk melihat potensi perubahan di masa depan.
Disatu sisi, ini tidak salah. “Masa lalu” adalah alat untuk membangun identitas. Itu penting sekali. Kita terhubung dengan masa lalu. Tapi kadarnya terkadang berlebihan. Sehingga menjadi “opium”. Kita lalai dengan cerita masa lalu. Padahal kita hidup dimasa kini dan untuk masa depan.
Ketika menjadi opium, agama akan kehilangan arah dan energi untuk bergerak. Umatnya kehilangan rasa percaya diri dan tertatih-tatih dimasanya sendiri. Agama semacam ini juga gagal menemukan pemimpin dan suri tauladan untuk era terkini. Seorang pemimpin atau imam bagi mereka hanya ada dimasa lalu. Karena terjebak dengan masa lalu, agama semacam ini mudah mengalami frustasi ketika melihat masa kini. Akhirnya mudah radikal dan susah maju.

Mungkin tidak semua jenis Islam begitu adanya. Ada juga negara dan kaum muslim tertentu yang semakin hari semakin kuat dan maju. Semakin disegani dan ditakuti. Semakin cerdas. Semakin mumpuni dalam sains dan pengetahuan. Mungkin mereka punya perspektif keislaman yang khas tentang masa sekarang. “They live in the now”. Juga punya visi yang bagus tentang masa depan. Mereka percaya, ke depan akan lahir pemimpin hebat. Mereka menyiapkan itu dimasa sekarang.
Kita tidak menyalahkan kisah-kisah masa lalu. Sama sekali tidak. Alquran banyak sekali berkisah tentang apa yang telah terjadi. Tapi sebagian kita telah menjadikan kisah itu hanya sebagai “cerita”. Pelajarannya hanya pada level cerita. Alhasil, Islam menjadi “agama cerita”.
Tidak ada yang salah dengan “cerita”. Mungkin bagi anak-anak, itu bagus sekali. Bagi anak-anak, cerita adalah pengetahuan, yang dapat membuat imajinasinya berkembang. Cerita adalah kisah untuk menyentuh hati. Pola belajar paling sederhana adalah dengan cerita. Untuk menghafalkan tokoh-tokoh agama dalam benaknya.
Tapi level selanjutnya tidak lagi begitu. Ketika semakin dewasa, Anda tidak boleh lagi melihat cerita sebagai cerita. Ada pesan-pesan metodologis dari semua cerita. Pada setiap cerita dalam Qur’an terdapat signifikansi metode untuk menyelesaikan sebuah persoalan yang terus berulang dalam kadar dan konteks berbeda, dari masa ke masa.
Karena itu, bagi orang-orang yang telah profesional dalam bergama, setiap cerita dalam Alquran menjadi formula untuk hidup sukses dan maju dimasa kini. Bagi orang-orang semacam ini, agama dan segala kisahnya menjadi petunjuk untuk memperoleh kemajuan di jaman “now”.

Jadi, ketika agama dikhutbahkan hanya sebagai “cerita”, agama akan kehilangan elan vitalnya. Umat akan kehilangan petunjuk dari ayat-ayat. Setiap ayat, semisterius apapun itu, adalah metode untuk hidup sukses. Setiap ayat adalah kekuatan untuk menciptakan perubahan.
Bagi seorang pemikir berkesadaran, mereka akan berusaha menemukan kunci-kunci “metodologis” dari setiap kisah keagamaan. Rentetan kisah Adam, ashabul kahfi, Yunus yang ditelan ikan, beratnya Maryam melahirkan, perjalanan Musa dan 1001 kisah lainnya. Ada signifikansi terkait “spiritual activation” dan “law of science” dari semua kisah ini, selain pesan lahiriah terkait etika dan hukum.
Agama itu sejatinya adalah “liberation force”. Kekuatan pembebas. Kekuatan yang membuat manusia semakin cerdas. Setiap nabi hadir dengan agama yang sama, agama tauhid. Tapi dalam sentuhan baru. Model tauhid ini membawa kemajuan untuk masing zamannya. Mereka hadir untuk memecahkan masalah-masalah aktual pada masing era.
Lalu ketika Anda datang dengan agama dan syariat Anda, tapi masyarakat Anda puluhan tahun tertinggal dalam kemiskinan dan kebodohan, pun governance pemerintahan yang Anda pimpin berantakan; sebenarnya agama apa yang Anda bawa? Mungkin namanya juga “Islam”. Tapi Islam yang spirit dan pandangannya tertuju ke masa lalu. Bukan Islam aktual. Bukan Islam untuk hari ini. Bukan jenis Islam yang bisa memenangkan perang dan kompetisi untuk era terkini.
“Agama cerita” hanya melahirkan penceramah. Sedangkan “agama metodologi” melahirkan para pejuang dan pekerja. Anda lihat, bagaimana Gaza diratakan dengan tanah. Disinilah Anda bisa mengetahui, Islam mana yang hanya mampu berorasi. Dan Islam mana yang benar-benar hadir untuk terlibat dalam gerakan perlawanan untuk membelanya.

Islam yang melihat Qur’an dan kisah para nabi hanya sebagai cerita adalah Islam status quo, “Islam statis”. Islam model ini hanya memandang Islam sebagai cerita sukses dimasa lalu. Kerjanya hanya mengulang-ulang kisah sukses itu. Sedangkan dia sendiri tidak punya kinerja. Ia menutupi kelemahan diri dengan cerita-cerita kuno. Bagi mazhab Islam ini, Tuhan hanya sebuah wujud yang pernah muncul dimasa lalu. Tuhan adalah sesuatu yang tidak nampak lagi untuk era ini.
Sedangkan “Islam metodologi” adalah Islam yang dinamis. Islam jenis ini berfokus pada masa kini. Mereka menjadikan ayat sebagai metode untuk melakukan berbagai gerakan para era sekarang. Islam model ini terus meraih kemajuan. Bagi mazhab Islam ini, Tuhan adalah wujud yang masih bisa dijumpai dan dirasakan kehadirannya pada masa sekarang. Bagi mereka, Tuhan itu wujud aktual.
Kita dalam Islam tidak kekurangan cerita. Mungkin Islam menjadi satu-satunya agama yang kelebihan cerita. Kita hanya kurang metode sukses untuk era kita. Kita berislam, tapi tidak sukses. Tertindas. Tunduk pada zionis dan berbagai kekuatan kapitalistik. Tidak maju. Tidak kaya. Mungkin juga tidak bahagia.
Maka untuk lebih maju, kami menyarankan kita semua untuk bergerak dari “Islam Storist” ke “Islam Methodist”. Teks ayat dan kisah sudah berlebih. Tinggal kita temukan petunjuk metodologis untuk mengerjakan sesuatu secara efektif dan efisien dari semua dalil yang tersedia. Kemajuan spiritual, sains dan teknologi sangat ditentukan oleh kekuatan metodologi. Sebab, agama sebenarnya bukan hafalan. Melainkan praktik atau amalan.
“Islam Storist” adalah Islam yang terfokus pada pada hafalan kisah dan teks. Pada membaca dan mengingat peristiwa historis. Level taksonominya masih rendah sekali. Untuk pemula dalam beragama, ini bagus sekali. Tapi untuk advance dalam beragama, semua teks dan kisah harus bisa dibawa pada level taksonomi pengetahuan yang lebih tinggi. Harus ditemukan petunjuk dan metodologi untuk merasakan kebenaran, untuk menciptakan perubahan, untuk memajukan kehidupan umat dan bangsa.
Yang terakhir ini kami sebut sebagai “Islam methodist”. Tidak ada hubungannya dengan Kristen methodist. Kebetulan namanya serupa. Dalam Islam sendiri sebenarnya sudah ada pesan untuk meng-upgrade agama dari “dalil hukum dan cerita” (syariat) ke “metode pembuktian” (tarikat). Tarikat artinya “metode”, “jalan” atau “cara”.
Hanya saja, saat ini “tarikat” lebih dipahami sebagai metode pembuktian metafisika terhadap aneka dalil agama. Padahal, dalam sains alam dan ilmu sosial lainnya juga memerlukan “tarikat” (aneka metode) untuk pencapaian kemajuan. Ibnu Haitsam (965-1040 M) merupakan ilmuan muslim pertama yang memperkenalkan pentingnya tarikat (metode) dalam sains. Ia digelar sebagai bapak metode saintifik moderen. Baik sains fisika maupun metafisika, keduanya butuh metode (tarikat) untuk mencapai hakikat dari pengetahuan. Karena memiliki unsur metodologis ini, maka Islam disebut sebagai “agama ilmiah”. Jika terhenti di level cerita, maka Islam akan menjadi “agama legenda”.
Dari sini Anda bisa lihat, negara-negara Islam yang maju secara sains dan spiritual pasti mereka yang kaya dengan metodologi. Mereka sudah melampaui cerita. Ceritanya banyak. Tapi sudah di upgrade dan aplikasikan ke level metode. Sebaliknya, kita muslim di Indonesia dan banyak tempat lainnya terlihat masih tertinggal secara sains dan mungkin juga spiritual. Karena lemah dalam metode. Sepertinya kita masih berkutat dengan mimbar ceramah dan cerita. Belum hidup laboratorium dan inkubator untuk pengayaan ayat dan cerita.
Penutup
Kami THE SUFICADEMIC, dalam training-training spiritual leadership menyampaikan tentang signifikansi ayat dan kisah dalam Qur’an sebagai petunjuk sains spiritual dalam pencapaian sukses dan bahagia. Harapan kami, Islam dan dalil-dalilnya itu menjadi metode untuk kita bisa maksimal hidup di era “now”. Kita butuh cerita. Tapi kita lebih butuh lagi bagaimana kita bisa menjadi cerita itu untuk masa kita. Kita memerlukan pendekatan-pendekatan tertentu untuk mengalami apa yang dialami orang-orang bijak terdahulu.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: sayyidmuniruddin.com
TikTok: tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/Habib.Munir/
Twitter-X: x.com/saidmuniruddin
Channel WA: The Suficademic
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2