“SHALAWAT DAN SALAM”, TEKNIK KOMUNIKASI DENGAN DIMENSI YANG HIDUP

Bagikan:

Jurnal Suficademic | Artikel No.79 | Desember 2024

“SHALAWAT DAN SALAM”, TEKNIK KOMUNIKASI DENGAN SEMUA DIMENSI YANG MASIH HIDUP
Oleh Said Muniruddin

Bismillahirrahmanirrahim.

JANGAN jauhi orang yang sudah meninggal. Sebaliknya, dekati mereka. Sebab, ada kemungkinan doa mereka dari “alam sana” menjadi lebih makbul. Apalagi jika mereka adalah orang-orang yang dekat dengan Tuhan.

Doa adalah gelombang spiritual yang kita kirim ke sisi Tuhan, juga ke sisi orang yang sudah meninggal. Ketika kita memiliki bahasa dan frekuensi yang tepat dalam berdoa, gelombang ini bisa menembusi batas-batas ruang dan waktu. Bisa sampai dengan cepat ke tempat yang dituju. Konon lagi, segala sesuatu sebenarnya “tunggal”. Tidak ada jarak antara dunia dan akhirat. Semua berada pada satu matriks energi yang sama, dengan dimensi berbeda.

Sebagian kita mengira, orang yang sudah mati, itu benar-benar mati. Dalam artian, hubungan ataupun komunikasi kita dengan mereka terputus. Padahal tidak demikian. Orang mati masih hidup. Yang mati jasadnya. Ruhnya tetap hidup. Ruh itu wujud asli manusia. Jadi, walaupun sudah mati, keaslian masih hidup.

Konon lagi, ketika seseorang sudah mati, dan posisi ruhnya sudah terintegrasi dengan Tuhan. Itu doanya makbul sekali. Berkomunikasi dengan orang-orang seperti ini, sama dengan berkomunikasi dengan Tuhan. Sebab, ia sudah bersama Tuhan. Ia sudah berada pada gelombang usul, gelombang Ketuhanan.

Karena itu, komunikasi dengan ruh adalah salah satu bentuk komunikasi transenden. Ketika Anda membayangkan wajah-wajah suci orang yang telah tiada, itu secara otomatis dapat menyambungkan Ruhani Anda dengan mereka, juga dengan Allah SWT.

Disinilah urgensi doa semacam “shalawat dan salam” kepada Nabi yang sudah wafat. Nabi sudah tiada, sudah meninggal Beliau itu. Tapi kita terus berdoa, terus menyebut dan memanggil namanya. Walau Beliau bukan orang tua kandung kita, doa kita sampai kepadanya. Bahkan kita mendapatkan berkah dari amal semacam ini.

Hubungan kita dengan orang yang sudah mati, tidak terputus. Apalagi dengan orang-orang suci. Bahkan, terus beramal untuk Nabi dengan cara berdoa, mengucapkan shalawat dan salam kepadanya, menjadi ibadah. Pada level ini, kita sebenarnya sudah diajarkan teknik-teknik komunikasi ruhiyah, komunikasi dengan orang-orang yang sudah tidak ada lagi wujud jasadiahnya. Kita diajarkan cara berkomunikasi dengan wujud orang yang sudah tiada. Tapi ruhnya hidup dan terus hadir untuk membawa syafaat.

Bayangkan, kepada orang yang sudah meninggal semacam Nabi, kita diharuskan untuk terus mengucapkan “salam”. Padahal, salam itu ucapan untuk sesama orang yang masih hidup. Setiap bertemu orang di jalan, di kantor, dimanapun; kita dianjurkan mengucapkan salam. Ternyata, untuk orang yang sudah meninggal pun begitu. Kekuburan pun begitu. Jadi, seperti tidak ada perlakuan berbeda antara bertemu dengan orang yang masih hidup dengan yang sudah tiada. Semua dianggap masih hidup.

Jadi, jika dengan Nabi begitu (kita terus menyampaikan salam dan doa-doa kesejahteraan), demikian pula dengan orang tua kita. Jangan jauhi mereka. Terus berdoa dan berkomunikasi. Teruslah berbuat baik, yang segala bentuk gelombang amalnya Anda sounding ke mereka. Sehingga mereka semakin bahagia disana. Mereka sudah bersama Tuhan. Keberkahan dari sisi Tuhan mereka juga akan turun kepada Anda dengan amalan seperti ini.

Pada kajian sebelumnya “Living in The Now: Ilmu Kehadiran”, sudah kita bahas bahwa sebenarnya tidak ada yang mati. Ruh itu energi, abadi. Semua masih hidup. Semua nabi masih hidup. Semua leluhur kita masih hidup. Kita semua hidup dengan mereka pada zaman sekarang, meskipun dalam dimensi berbeda. Sesama wujud yang masih hidup selalu memungkinkan terjadinya komunikasi. Bahkan jika perangkat spiritual kita bagus, gelombang keberadaan mereka masih bisa dijangkau sampai dalam bentuk-bentuk yang sangat visual.

Karenanya, dalam tradisi maulidan, dalam proses membaca “Marhaban” misalnya; ada fase dimana para jamaah pengamal tradisi komunikasi transenden ini sejenak bangkit dari duduk. Mereka berdiri ketika menyambut “kehadiran” Wujud yang mereka panggil-panggil sedari awal. Mereka memperlakukan wujud ruhaniah sang Nabi sama seperti ketika Beliau masih hidup. Bagi orang-orang seperti ini, mereka merasakan bahwa tidak ada jarak sama sekali antara mereka dengan Nabi. Walaupun sudah di akhir zaman, mereka masih hidup “sezaman” dengan Nabi. Ini mental orang beriman. Mereka tidak melihat Nabi sebagai sosok masa lalu. Melainkan sebagai current reality. Walaupun gaib, mereka percaya Rasul itu (masih) ada dan (masih) hidup!

Penutup

Dalam training Spiritual Leadership yang dilaksanakan The Suficademic, kami menjadikan sholawat, dengan cara baca tertentu, sebagai bagian dari proses untuk menangkap rasa kehadiran. Biasanya, training baru dimulai ketika semua peserta telah lebur dalam dimensi sholawat, ketika muncul sebuah rasa bahwa Nabi telah hadir di tengah mereka. Sebab, tak ada yang kita tunggu dalam setiap acara kita, selain Nabi kita.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: 
sayyidmuniruddin.com
TikTok: tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/Habib.Munir/
Twitter-Xx.com/saidmuniruddin
Channel WA: The Suficademic
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2

Bagikan:

One thought on ““SHALAWAT DAN SALAM”, TEKNIK KOMUNIKASI DENGAN DIMENSI YANG HIDUP

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Next Post

TAHUN 2024, SAID MUNIRUDDIN TERBITKAN 80 ARTIKEL

Mon Dec 30 , 2024
BANDA

Kajian Lainnya

SAID MUNIRUDDIN adalah seorang akademisi, penulis, pembicara dan trainer topik leadership, spiritual dan pengembangan diri.