Jurnal Suficademic | Artikel No.97 | Oktober 2023
TAKDIR DAN IKHTIAR: SEBUAH URAIAN TEOLOGIS DALAM PERSPEKTIF “SUFIKADEMIS”
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic
A. PENDAHULUAN
BISMILLAHIRRAHMANIRAHIM. “Takdir” termasuk salah satu konsep teologis yang paling sulit dipahami. Padahal itu rukun iman. Di satu sisi, umat Islam dipaksa percaya kepada berbagai ketetapan atau ketentuan dari Tuhan. Di sisi lain, kita diharuskan meyakini bahwa manusia punya kebebasan untuk berikhtiar guna menentukan nasibnya.
Mana yang harus kita percayai? Atau bagaimana cara mendudukkan dua hal ini secara seimbang? Apakah manusia itu makhluk bebas dan merdeka dalam menentukan nasibnya? Atau memang segala sesuatu (yang sering diformulasikan dalam slogan: “langkah-rejeki-pertemuan-maut”) sudah ditentukan oleh Tuhan dari alam sana?
Aneka jawaban terhadap pertanyaan ini melahirkan ragam pemikiran tentang takdir. Mulai dari bentuknya yang “jabaris-fatalis-predeterminis” (pasrah kepada nasib), sampai kepada “qadaris-muktazilis-liberalis” (keyakinan pada adanya freewill atau kehendak bebas manusia).
B. RAGAM PEMIKIRAN TEOLOGIS TENTANG “TAKDIR”
Jabariyah
Aliran teologis pertama terkait pemahaman takdir adalah “Jabariyah”. Berasal dari kata ja-ba-ra. Artinya “keterpaksaan”. Maknanya, segala sesuatu yang kita lakukan, dipahami sebagai sebuah ketentuan atau sudah ditetapkan Tuhan.
Pemahaman ini awalnya dipakai penguasa untuk menjustifikasi segala sesuatu yang mereka lakukan. Muawiyah bin Abi Sofyan (602-680 M) merupakan tokoh awal yang mempopulerkan paham ini. Ia mendoktrin masyarakat, bahwa segala kekerasan politik yang terjadi dalam pemerintahannya adalah ketetapan Tuhan. Dia bisa berkuasa dan menjadi khalifah, walaupun dengan melawan Khalifah Ali bin Abi Thalib, itu semata-mata kehendak Allah. Sehingga dia merasa bahwa bughat, pemberontakan dan taktik tahkim yang dia lakukan bukan sebuah dosa.
Saat terjadi banjir bandang di daerah tertentu, sering juga kita dengar para pejabat setempat yang mengeksploitasi pemahaman ini dalam pidatonya. Bahwa bencana tersebut sudah menjadi ketentuan Tuhan. Masyarakat diminta bersabar. Ini semua ujian. Padahal, illegal logging oleh para pebisnis kayu, juga terjadi atas sepengetahuan bahkan izinnya.
Melalui kerangka pemahaman jabaris ini, masyarakat percaya: “langkah-rejeki-pertemuan-maut”, semua ada di tangan Tuhan. Mereka cenderung pasrah. Disatu sisi, mereka punya keyakinan yang kuat akan kekuatan Tuhan, dan kecilnya manusia. Disisi lain; lahir sikap fatalis, pasrah pada nasib dan cenderung tidak progresif. Segala hal baik dan buruk yang terjadi di dunia (qada baik dan qada buruk), dianggap murni ketetapan Allah.
Memang ada sejumlah ayat Alquran yang dianggap membahas itu. Allah telah menentukan segala sesuatu. Semua sudah diatur/ditetapkan Allah. Misalnya:
اِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنٰهُ بِقَدَرٍ
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu sesuai ukuran” (QS. Al-Qamar: 49)
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
“.. Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu” (QS. Ash-Shafaat: 96)
وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَـكِنَّ اللّهَ رَمَى
“.. dan bukan kamu melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar” (Al-Anfal: 17)
مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (Tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan Telah tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah” (QS. Al-Hadid: 22)
وَمَا تَشَاۤءُوْنَ اِلَّآ اَنْ يَّشَاۤءَ اللّٰهُ ۗاِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيْمًا حَكِيْمًاۖ
“Kamu tidak menghendaki (sesuatu) kecuali apabila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS. Al-Insan: 30)
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَّلَا مُؤْمِنَةٍ اِذَا قَضَى اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗٓ اَمْرًا اَنْ يَّكُوْنَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ اَمْرِهِمْ ۗوَمَنْ يَّعْصِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ فَقَدْ ضَلَّ ضَلٰلًا مُّبِيْنًاۗ
“Tidaklah pantas bagi mukmin dan mukminat, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketentuan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata” QS. Al-Ahzab: 36).
سُنَّةَ اللّٰهِ الَّتِيْ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلُ ۖوَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللّٰهِ تَبْدِيْلًا
“(Demikianlah) sunatullah yang sungguh telah berlaku sejak dahulu. Kamu sekali-kali tidak akan menemukan perubahan pada sunatullah itu” (QS. Al-Fath: 23)
ۨالَّذِيْ لَهٗ مُلْكُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَلَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَّلَمْ يَكُنْ لَّهٗ شَرِيْكٌ فِى الْمُلْكِ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهٗ تَقْدِيْرًا
“(Yaitu Zat) yang milik-Nyalah kerajaan langit dan bumi, (Dia) tidak mempunyai anak, dan tidak ada satu sekutu pun dalam kekuasaan(-Nya). Dia telah menciptakan segala sesuatu, lalu menetapkan ukuran-ukurannya dengan tepat (QS. Al-Furqan: 2)
يَمْحُوا۟ ٱللَّهُ مَا يَشَآءُ وَيُثْبِتُ ۖ وَعِندَهُۥٓ أُمُّ ٱلْكِتَٰبِ
“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauhul Mahfuzh)” (QS. Ar-Ra’d: 39)
وَعِندَهُۥ مَفَاتِحُ ٱلْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَآ إِلَّا هُوَ ۚ وَيَعْلَمُ مَا فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ ۚ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِى ظُلُمَٰتِ ٱلْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِى كِتَٰبٍ مُّبِينٍ
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauhul Mahfudz)” (QS Al-An’am: 59)
وَمَا تَكُونُ فِى شَأْنٍ وَمَا تَتْلُوا۟ مِنْهُ مِن قُرْءَانٍ وَلَا تَعْمَلُونَ مِنْ عَمَلٍ إِلَّا كُنَّا عَلَيْكُمْ شُهُودًا إِذْ تُفِيضُونَ فِيهِ ۚ وَمَا يَعْزُبُ عَن رَّبِّكَ مِن مِّثْقَالِ ذَرَّةٍ فِى ٱلْأَرْضِ وَلَا فِى ٱلسَّمَآءِ وَلَآ أَصْغَرَ مِن ذَٰلِكَ وَلَآ أَكْبَرَ إِلَّا فِى كِتَٰبٍ مُّبِينٍ
“Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauhul Mahfuzh)” (QS Yunus: 61)
أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ ٱللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِى ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ ۗ إِنَّ ذَٰلِكَ فِى كِتَٰبٍ ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٌ
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauhul Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah” (QS Al-Hajj: 70)
وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُۥٓ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ بَٰلِغُ أَمْرِهِۦ ۚ قَدْ جَعَلَ ٱللَّهُ لِكُلِّ شَىْءٍ قَدْرًا
“Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu” (QS At-Talaq: 3)
ٱلَّذِى لَهُۥ مُلْكُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَلَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَلَمْ يَكُن لَّهُۥ شَرِيكٌ فِى ٱلْمُلْكِ وَخَلَقَ كُلَّ شَىْءٍ فَقَدَّرَهُۥ تَقْدِيرًا
“Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan-Nya, dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya” (QS Al-Furqan: 2)
سَبِّحِ ٱسْمَ رَبِّكَ ٱلْأَعْلَى. ٱلَّذِى خَلَقَ فَسَوَّىٰ. وَٱلَّذِى قَدَّرَ فَهَدَىٰ
“Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi, yang menciptakan dan menyempurnakan (penciptaan-Nya), dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk” (QS Al-A’la: 1-3)
وَاِذَآ اَرَادَ اللّٰهُ بِقَوْمٍ سُوْۤءًا فَلَا مَرَدَّ لَهٗ ۚوَمَا لَهُمْ مِّنْ دُوْنِهٖ مِنْ وَّالٍ
“.. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia” (QS. Ar-Ra’d: 11)
فَاَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًاۗ فِطْرَتَ اللّٰهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَاۗ لَا تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللّٰهِ ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُۙ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَۙ
“Maka, hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada kepatuhan, fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah (tersebut). Itulah kepatuhan yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. Ar-Rum: 30).
وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ اَنْ تَمُوْتَ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ كِتٰبًا مُّؤَجَّلًا ۗ
“Dan setiap yang bernyawa tidak akan mati kecuali dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya..” (QS. Aali Imran: 145)
Qadariyah
Sementara, “qadariyah” berasal dari kata qa-da-ra. Artinya “kehendak”. Maknanya, segala yang terjadi merupakan kehendak bebas manusia. Dalam kesejarahan Islam, masyarakat lama-lama bosan dan mulai memberontak atas kejamnya perilaku Bani Umayyah yang mengeksploitasi ideologi jabariah atas segala tindak kekerasan politik mereka. Banyak ulama yang dibantai saat itu.
Lalu pada periode gejolak politik Dinasti Umayyah I (661-750 M) tersebut, berkembang dan menguatlah pemikiran, bahwa segala sesuatu terjadi murni karena perilaku manusia. Manusia yang berkuasa dan bertanggung jawab terhadap segala sesuatu. Ma’bad Al-Juhani dari Bashrah (meninggal 699 M/80 H) dan Ghailan Al-Dimasyqi (wafat 722 M/105 H) dari Damaskus; dianggap sebagai tabi’in sebagai pencetus ide-ide qadariyah sekitar tahun 70 H. Karena menempatkan manusia dengan kekuatan rasionya (akal) sebagai makhluk berkehendak bebas, maka kemudian, Washil bin Atha’ (700-748 M) pencetus aliran Muktazilah, ikut mengadopsi pemikiran qadariah.
Dalam kaitan dengan “langkah-rejeki-pertemuan-maut”. Qadariyah menganggap itu sebagai sesuatu yang harus diusahakan. Hasilnya tergantung pada kesungguhan kita. Keyakinan ini melahirkan sikap progresif. Namun terkadang, bisa berujung pada liberalis. Bisa lupa dengan peran Tuhan. Memang ada sejumlah ayat Alquran yang menyebutkan bahwa manusia punya kebebasan dalam bertindak. Manusia berhak dan punya kehendak bebas dalam menentukan nasibnya sendiri. Manusia berkuasa dan bertanggungjawab atas apa yang terjadi pada dirinya. Misalnya:
إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“.. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri..” (QS. Ar-Ra’du: 11)
وَمَنْ يَّكْسِبْ اِثْمًا فَاِنَّمَا يَكْسِبُهٗ عَلٰى نَفْسِهٖ ۗ وَكَانَ اللّٰهُ عَلِيْمًا حَكِيْمًا
“Siapa yang berbuat dosa sesungguhnya dia mengerjakannya untuk merugikan dirinya sendiri. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS. An-Nisa: 111)
وَمَن يَعْمَلْ سُوءاً أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللّهَ يَجِدِ اللّهَ غَفُوراً رَّحِيماً
“.. dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, Kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. An-Nisa: 110)
وَمَنْ يُّرِدْ ثَوَابَ الدُّنْيَا نُؤْتِهٖ مِنْهَاۚ وَمَنْ يُّرِدْ ثَوَابَ الْاٰخِرَةِ نُؤْتِهٖ مِنْهَا ۗ وَسَنَجْزِى الشّٰكِرِيْنَ
“.. Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala (dunia) itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala (akhirat) itu, dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur” (QS. Aali Imran: 145)
اَوَلَمَّآ اَصَابَتْكُمْ مُّصِيْبَةٌ قَدْ اَصَبْتُمْ مِّثْلَيْهَاۙ قُلْتُمْ اَنّٰى هٰذَا ۗ قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ اَنْفُسِكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
“Apakah ketika kamu ditimpa musibah (kekalahan pada Perang Uhud), padahal kamu telah memperoleh (kenikmatan) dua kali lipatnya (pada Perang Badar), kamu berkata, “Dari mana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah, “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.” Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” (QS. QS. Aali Imran: 165)
وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَّبِّكُمْۗ فَمَنْ شَاۤءَ فَلْيُؤْمِنْ وَّمَنْ شَاۤءَ فَلْيَكْفُرْۚ اِنَّآ اَعْتَدْنَا لِلظّٰلِمِيْنَ نَارًاۙ اَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَاۗ وَاِنْ يَّسْتَغِيْثُوْا يُغَاثُوْا بِمَاۤءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِى الْوُجُوْهَۗ بِئْسَ الشَّرَابُۗ وَسَاۤءَتْ مُرْتَفَقًا
“Katakanlah (Nabi Muhammad), “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu. Maka, siapa yang menghendaki (beriman), hendaklah dia beriman dan siapa yang menghendaki (kufur), biarlah dia kufur.” Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka bagi orang-orang zalim yang gejolaknya mengepung mereka. Jika mereka meminta pertolongan (dengan meminta minum), mereka akan diberi air seperti (cairan) besi yang mendidih yang menghanguskan wajah. (Itulah) seburuk-buruk minuman dan tempat istirahat yang paling jelek” (QS. Al-Kahfi: 29)
Merekonsiliasi Berbagai Pemahaman tentang “Takdir”
Jadi, aliran teologis mana yang benar: jabariah (pasrah pada nasib) atau qadariah/muktazilah (manusia bebas berkehendak)? Atau ada alternatif pemikiran lainnya? Jika demikian, bagaimana cara merekonsiliasi dua pemikiran yang terlihat berseberangan?
Disini kita harus paham, ayat Quran tidak ada yang salah. Ada ayat yang bernada “fatalis”. Ada juga yang berkarakter “liberalis”. Keduanya benar. Hanya saja, perlu dilakukan moderasi terhadap ayat, yang sebagiannya berada pada ekstrim kiri (fatalis). Sementara sejumlah lainnya berada pada ekstrim kanan (liberalis). Perlu dilakukan “rekonsiliasi” pemahaman, sehingga benar-benar diperoleh pencerahan yang kontekstual terkait takdir.
Inilah yang disebut “ideologi” (ide/pemikiran). Manusia perlu menggunakan akal pikiran, guna memahami konteks dari ayat/wahyu. Sehingga lahir pandangan teologis yang washatiyah, logis dan mencerahkan. Dalam menengahi perdebatan ini, kami menggunakan pandangan teologis bernilai “sufikademis”, rasional sekaligus sufistik. Sehingga terjawab, atau terekonsiliasi, berbagai pemahaman rumit tentang takdir dalam berbagai perspektif.
Pembahasan dimulai dengan mengurai dua kategori takdir, yaitu “umum” dan “khusus”. Di awali dengan jenis takdir yang berlaku sebagai hukum rasional umum. Baik yang menguasai dunia ciptaan (takwini), maupun yang meliputi tata kelola kehidupan sosial (tasyri’). Kemudian, ayat-ayat jabaris tentang takdir akan kita dudukkan kembali. Sehingga diperoleh sebuah pemahaman lex specialist/khusus tentang takdir dalam dunia sufisme (ruhiy). Sebagai pelengkap diskusi, kita akan melihat berbagai bentuk takdir ini dalam relasinya dengan ikhtiar (kehendak bebas manusia).
C. DUA KATEGORI TAKDIR: “UMUM” DAN “KHUSUS“
Takdir, dalam istilah lainnya juga disebut sebagai qadar. Atau juga qada dan qadar. Artinya, ketetapan atau keputusan Allah. Lebih lanjut juga disebut sebagai “hukum-hukum Tuhan” yang menjaga/menguasai segala sesuatu. Karenanya juga disebut sunnatullah. Takdir secara harfiah juga bermakna “kekuatan” atau “kekuasaan”. Takdir adalah undang-undang, ketentuan, kekuatan, kekuasaan, blueprint, sistem, desain, setting, pola atau ukuran-ukuran yang bekerja pada sesuatu.
Berbagai ayat terkait takdir dapat dipilah kembali dalam dua kategori. Pertama, takdir sebagai hukum-hukum Tuhan yang berlaku “umum”. Takdir inipun terbagi dalam dua jenis: takdir takwini (hukum alam/penciptaan) dan takdir tasyri’i (hukum syariat/kehidupan). Kedua, takdir sebagai hukum “khusus” dalam berhubungan secara langsung dengan Allah. Juga disebut sebagai takdir ruhiy.
1. Takdir sebagai “Hukum Umum”
Pertama, “Takdir Takwini” (Hukum Umum Penciptaan). Takwini berasal dari kata “kauni” atau “kauniyah” (كَونِيَّةٌ). Artinya “alam semesta” atau “dunia ciptaan”. Allah menciptakan alam semesta dengan seperangkat hukum yang melekat untuk menjaganya. Semua hukum ini merupakan sunnatullah, takdir atau ketetapan Tuhan yang bersifat objektif dan berlaku pada alam secara pasti. Hukum-hukum (takdir) ini tidak bisa diubah. Sebab, ia secara alamiah telah inheren pada setiap wujud dari ufuk alam.
Contoh dari hukum (takdir/ketentuan) yang telah melekat secara definitif pada elemen fisika di alam adalah: “gravitasi”, “gaya” dan “kecepatan” (Newton), “termodinamika/kekekalan energi” (Joule), “tekanan air” (Archimedes), “tekanan gas” (Boyle), “pantulan” (Snellius), elektrodinamika (maxwell), “arus listrik” (Ohm), “relativitas” (Einstein), “medan magnet” (Biot-Savart), “mekanika kuantum” (Bohr & Planck), dan masih banyak lagi. Hukum-hukum ini telah ada di alam. Namun dirumuskan kembali dalam formula saintifik oleh para saintis yang muncul disepanjang zaman. Hukum-hukum baru juga akan terus ditemukan, sesuai kemampuan manusia untuk meneliti berbagai fenomena di alam.
Hukum-hukum ini merupakan takdir, yang berlaku secara niscaya pada setiap objek di alam semesta. Ada kepastian hukum yang bersifat universal pada setiap benda ciptaan Tuhan. Karena itu selalu ditemukan, air secara alamiah mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Api sifatnya membakar. Matahari terbit dari sebelah timur. Semua objek semesta berotasi pada porosnya, dan lain sebagainya.
Itu takdir “takwini” (hukum, ketetapan, atau keharusan universil pada semua elemen creation). Semua ciptaan-Nya patuh dengan hukum-hukum, ukuran, ketentuan atau “Din Ilahi” ini. Karena itulah, sejumlah ayat Quran, ketika berbicara “takdir”, dikaitkan dengan alam ciptaan. Bahkan, ayat-ayat tentang kadar dan penciptaan dalam kumpulan ayat-ayat teologi jabariah di atas, dapat dimasukkan dalam ketegori “takdir takwini”. Kita ambil beberapa contohnya saja:
اِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنٰهُ بِقَدَرٍ
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu ada ukurannya” (QS. Al-Qamar: 49)
وَخَلَقَ كُلَّ شَىْءٍ فَقَدَّرَهُۥ تَقْدِيرًا
“.. Dia telah menciptakan segala sesuatu, lalu menetapkan ukuran-ukurannya dengan tepat (QS. Al-Furqan: 2)
وَالشَّمْسُ تَجْرِيْ لِمُسْتَقَرٍّ لَّهَا ۗذٰلِكَ تَقْدِيْرُ الْعَزِيْزِ الْعَلِيْمِۗ ° وَالْقَمَرَ قَدَّرْنٰهُ مَنَازِلَ حَتّٰى عَادَ كَالْعُرْجُوْنِ الْقَدِيْمِ
“Matahari yang berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui”. Bulan, Kami tetapkan baginya tempat-tempat peredaran sehingga kembalilah ia seperti bentuk tandan yang tua” (QS. Yasin: 38-39)
Alam ini secara alamiah tunduk dan patuh (taslim) pada semua hukum yang secara definitif ada dalam dirinya. Alam bergerak dan berkembang sesuai hukum-hukum dan kecerdasan alamiahnya. Hukum-hukum ini semua tentu diciptakan/ditentukan oleh Tuhan. Inilah jenis “takdir” yang pertama. Dalam berbagai nama disebut sebagai hukum, sunnatullah, kepastian umum, keniscayaan, kadar, ukuran, kemestian, keharusan universil, ketentuan penciptaan, dinullah atau din Ilahi; yang berlaku pada setiap objek/wujud/ufuk alam ciptaan (takwini/afaqi).
Manusia sebagai bagian dari alam, juga terikat dengan semua hukum (ketentuan) ini. Hukum-hukum ini tidak bisa diubah oleh manusia. Sebab, ia telah berlaku objektif dan tetap. Tapi bisa dimanfaatkan. Melalui kecerdasan rasional-empirisnya, manusia bisa memahami cara kerja hukum-hukum ini. Sehingga tercipta berbagai karya dan teknologi yang berguna bagi kemajuan manusia.
Bagaimana memahami: “langkah-rejeki-pertemuan-maut” sebagai sesuatu yang sudah ditentukan Tuhan. Begini. Iya, maut itu merupakan hukum/ketentuan Tuhan. Dalam perspektif kauniyah, hukum (Tuhan) yang ada di alam juga berperan dalam urusan kematian. Dalam artian, usia manusia punya batas alami. Manusia tidak abadi. Sebab, ada mekanisme alamiah yang bekerja dalam setiap unsur materi. Pada periode tertentu, semua sel secara alamiah akan mati. Bahkan seorang dokter pun, terkadang bisa memprediksi kapan seseorang akan mati, berdasarkan gejala-gejala klinis pada seorang pasien.
Manusia juga bisa menentukan kapan dirinya mau mati. Kalau tidak mau hidup lagi, naik saja ke gedung tujuh tingkat. Jatuhkan diri Anda, dengan posisi kepala ke bawah. Pasti mati. Apalagi kalau kepalanya pecah. Itu sudah hukum alam. Kalaupun tidak mati, mungkin syarat kelengkapan untuk mati secara alamiah belum terpenuhi. Bisa jadi benturannya tidak kuat, atau tidak mengenai titik sensitif di otak.
Dalam hal rejeki juga begitu. Bukan selalu dalam makna jabaris “sudah ditentukan Tuhan”. Melainkan, kemampuan memahami, menguasai dan memanfaatkan hukum-hukum alam, juga menjadi faktor penentu bagi datangnya rejeki. Untuk mengolah sumberdaya alam secara efisien dan efektif sehingga menjadi berbagai produk yang punya value tinggi, itu butuh penguasaan hukum-hukum alam. Karena itulah, negara yang maju secara ekonomi, umumnya adalah mereka yang kuat dalam bidang teknologi. Mereka mampu menguasai hukum alam, sehingga lahir berbagai inovasi produksi.
Kedua, “Takdir Tasyri’i” ((Hukum Umum Kehidupan). Tasyri’i berasal dari kata “syar’i”, “syara”, atau “syariat” (شَرِيعَة). Setelah tercipta dan terikat dengan hukum-hukum penciptaan (takdir takwini), dalam relasinya dengan sesama manusia, manusia juga terikat dengan hukum-hukum kehidupan. Ada hukum, ketentuan, ketetapan atau takdir Tuhan untuk manusia sebagai makhluk sosial (makhluk komunal). Inilah yang disebut dengan “takdir syar’i”. Yaitu hukum-hukum universal syariat dan akhlak, yang telah diwahyukan Allah, agar manusia senantiasa berada di jalur yang “fitrah”.
Nilai-nilai ini, secara universal telah disebutkan dalam Alquran. Alquran adalah kitab universal tentang syariat. Alquran merupakan “petunjuk umum” tentang kebenaran, kebaikan dan keindahan (kalau sudah detil, itu disebut mazhab/pemikiran fikih). Banyak sekali nilai yang disebutkan dalam Alquran, untuk meregulasi kehidupan manusia. Semua nilai itu ketentuan atau ketetapan Tuhan yang tidak bisa diubah. Sebab, secara universal, nilai-nilai itu memang sebuah kebenaran. Misalnya nilai tauhid, ikhlas, adil, ihsan, tanggungjawab, jujur, bijaksana, pengetahuan, keberanian, cinta, kesederhanaan, dan sebagainya.
Artinya, siapapun yang hidup berlandaskan hukum-hukum ini, secara umum, akan selamat dan bahagia. Memang itulah ketentuan Allah dan Rasulnya. Siapapun yang hidup dengan berlandaskan nilai-nilai etika dan syariat, akan sukses. Kemanusiaannya akan terjaga. Fitrahnya akan terlindungi. Umat manusia akan terhindar dari perilaku yang merusak dan binasa.
Jadi, ketika ada pertanyaan, apakah kita sudah ditentukan sejak awal untuk masuk surga atau neraka? Jawabannya “iya”. Manusia sejak awal sudah ditetapkan, akan masuk surga atau neraka, akan bahagia atau celaka. Tergantung ketaatannya terhadap hukum-hukum “akhlak dan syariat”. Kalau ia mengikuti aturan Tuhan yang bernilai universal ini, ia akan selamat dan masuk surga. Kalau ia menolaknya, ia akan celaka dan berakhir di neraka. Artinya, siapapun yang beramal shaleh, sudah ditentukan masuk surga. Begitu juga sebaliknya. Itulah keadilan universal Ilahi dalam bentuk hukum-hukum peribadatan umum, atau “takdir tasyri’i”.
اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَالَّذِيْنَ هَادُوْا وَالنَّصٰرٰى وَالصَّابِــِٕيْنَ مَنْ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ اَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْۚ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Sabiin, siapa saja (di antara mereka) yang beriman kepada Allah dan hari Akhir serta melakukan kebajikan (pasti) mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada rasa takut yang menimpa mereka dan mereka pun tidak bersedih hati” (QS. Al-Baqarah: 62; Al-Maidah: 69).
Itulah ketentuan Allah. Masuk surga atau neraka, tergantung apakah kita patuh atau tidak terhadap “universal virtues”, nilai-nilai tauhid, syariah dan akhlak, yang secara umum telah ditetapkan Allah dan berlaku bagi seluruh manusia disepanjang masa. Sehingga; semua ayat yang berbicara tentang hukum, syariat, etika dan akhlak sebagai ketetapan Allah dapat dikategorisasikan dalam jenis “takdir tasyri’i” (QS. Al-Maidah: 44, 45, 47; dan sebagainya).
Dengan demikian, takdir tasyri’i merupakan dinullah/sunnatullah. Takdir syar’i adalah hukum-hukum syara’ (keputusan qur’ani/kitabi yang bernilai rasional) yang diwahyukan untuk mengatur kehidupan etik masyarakat. Melalui ketentuan ini, manusia tidak boleh berlaku taghut atau dhalim (kapitalistik). Meskipun setiap kita terlahir sebagai makhluk yang berkehendak bebas (freewill), secara syariat, kebebasan individu dibatasi oleh kebebasan individu lainnya. Secara sosial, manusia tidak boleh ditindas. Secara etis, manusia juga tidak boleh menjadi penindas yang berlagak seperti Tuhan bagi yang lain. Sehingga terjadi perselisihan, perang atau pertikaian. Manusia diharuskan patuh pada virtues (nilai fitrah ketauhidan dan kebajikan) yang telah ditetapkan sebagai kalimatun sawa, atau “agama universal” bagi semua (QS. Aali Imran: 64).
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَىٰ كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ ۚ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah”. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri” (QS. Aali Imran: 64)
Lalu bagaimana takdir tasyri’i menjelaskan keyakinan masyarakat awam: “langkah-rejeki-pertemuan-maut” sebagai sesuatu yang sudah ditentukan Tuhan. Iya, rejeki misalnya, itu memang ketentuan Tuhan. Rejeki itu sudah ada, sudah diciptakan. Alam ini penuh dengan pola rejeki. Terkadang ada rejeki yang datang tidak terduga. Namun, maksimalisasi penggunaan hukum-hukum syara’ sangat berpengaruh dalam perolehan rejeki.
Dalam artian, kalau manusia bekerja dengan nilai-nilai yang syar’i/akhlaqi (tekun, disiplin, jujur, teliti, dermawan, cerdas, berani, percaya diri, dsb); pasti akan mudah rejekinya. Kalaupun setelah berusaha, hasilnya belum ada, boleh jadi usahanya belum maksimal. Ataupun, usaha orang lain dalam berkompetisi untuk memperoleh hal yang sama, mungkin lebih maksimal dari kita. Orang fakir/cacat sekalipun itu sebenarnya sudah dijamin rejekinya, kalau kita patuh pada ketentuan syariat. Kalau setiap individu bersedia membayar zakat dan sedekah, semua akan terjamin hak-haknya.
Bahkan “sungguh-sungguh” berbuat jahat pun, bisa mudah rejeki. Walau itu secara syariat akan berujung pada kehancuran diri (fitrah). Karena itulah dikatakan, “kejahatan yang terorganisir bisa mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir”, Imam Ali bin Abi Thalib. Itu hukum syariat umum. Yang sungguh-sungguh pasti akan dapat. Hukum Tuhan akan bekerja bagi mereka yang sungguh-sungguh, tanpa melihat latar belakang ras dan agama.
Dalam hal jodoh juga begitu. Kalau sungguh-sungguh dalam mencari jodoh, pasti dapat. Tidak perlu menunggu diantar oleh Tuhan. Kalau ditunggu, sampai tua tidak akan dapat. Harus dicari/diusahakan sendiri. Kalau belum dapat, berarti hukum-hukum syariatnya belum terpenuhi. Atau boleh jadi, tiba-tiba Anda dapat jodoh, padahal tidak pernah mencari. Itu boleh jadi, Anda berjodoh akibat giatnya usaha orang.
Maut (kematian) juga begitu. Secara syariat, usia bisa panjang kalau kita pandai menjaga kesehatan. Ada negara yang usia hidup masyarakatnya rata-rata lebih panjang, karena pandai menjaga makanan. Kita bisa cepat mati, kalau pola hidup tidak terjaga. Artinya, Tuhan memberikan porsi usia, juga sesuai kemampuan kita menjaga diri. Itulah takdir tasyri’i.
2. Takdir sebagai “Hukum Khusus”
“Takdir Ruhiy” (Hukum Khusus Ketuhanan)
Dua takdir yang kita bahas di atas adalah bentuk ketetapan, takdir atau hukum-hukum “umum” Tuhan. Kedua hukum tersebut lahir dari sifat “Rahman”-nya Tuhan. Karena itu, takdir ini berlaku untuk semua orang, baik sebagai hukum alami yang melekat pada semua objek alam (takwini), serta sebagai ketetapan dalam kehidupan sosial dan peribadatan umum (tasyri’i).
Selanjutnya akan kita bahas hukum, takdir atau ketetapan-ketetapan “khusus” bagi orang-orang yang punya kemampuan untuk berinteraksi secara langsung dengan Allah. Hukum ini lahir dari sifat “Rahim”-nya Allah. Karenanya, takdir ini hanya berlaku sebagai bentuk relasi dalam peribadatan khusus.
Ilustrasinya begini. Bayangkan, Anda seorang pegawai kantoran. Anda punya pimpinan. Sebutlah, Anda orang yang taat. Begitu juga pimpinan Anda, adalah orang yang sangat baik dan perhatian dengan Anda. Anda dekat dengan dia. Anda pun telah mendedikasikan diri bekerja sesuai perintahnya.
Di kantor tentu ada aturan-aturan yang secara umum telah ditetapkan untuk kemaslahatan bersama. Misalnya, tiap Senin pagi ada upacara bendera. Masuk pagi jam 8. Pulang jam 5 sore. Setiap orang hanya boleh cuti maksimal 10 hari dalam setahun. Dan masih banyak aturan, keputusan, SOP, juknis dan regulasi lainnya. Bahkan sampai ada dokumen/buku, yang menuliskan itu semua.
Ini semua disebut “hukum-hukum syariat” (takdir tasyri’i). Yaitu; ketentuan, ketetapan, keputusan, keniscayaan, kemestian atau hukum-hukum yang bersifat umum yang mengikat semua orang di kantor itu.
Pertanyaannya, bolehkan Anda melanggar aturan-aturan umum itu? Jawabannya, secara umum tidak boleh. Tapi, secara khusus, mungkin saja terjadi. Selama ada “kebijakan” (keputusan/ketetapan) lain yang membolehkan itu bagi Anda.
Misalnya, hari Senin pagi, ketika mau apel upacara, tiba-tiba Anda dihubungi pimpinan. Anda disuruh pergi ke suatu tempat. Anda diputuskan untuk tidak ikut apel. Itu namanya “takdir” (ketetapan), yang dikhususkan hanya bagi Anda, oleh pimpinan Anda. Bukan suka-suka Anda. Justru kalau Anda memaksakan diri untuk ikut apel pagi, itu justru melawan dan tidak patuh pada keputusan pimpinan.
Pada waktu lain, jam sudah menunjukkan pukul 5 sore, pertanda sudah waktunya pulang. Tiba-tiba, Anda dihubungi pimpinan. Kata pimpinan, Anda tidak boleh pulang dulu. Anda disuruhnya untuk menemani pimpinan sampai larut malam. Itu namanya “keputusan”, “hukum”, “ketentuan” atau “takdir”; yang secara khusus Anda terima secara langsung dari pimpinan. Berat memang. Tapi terkadang itulah bentuk kedekatan, kepercayaan dan kasih sayang pimpinan dengan Anda. Cuma Anda yang dipercaya. Anda dianggap orang paling tepat untuk menemaninya. Bahkan berbeda perlakuan dengan yang lain, Anda adalah orang yang sering diajak jalan-jalan ke luar kota, sehingga sering tidak masuk kantor.
Bisa jadi; sepanjang hari, sepanjang minggu, sepanjang tahun; Anda terus memperoleh berbagai petunjuk, perintah, kuasa, keputusan, dan ketentuan (takdir); secara langsung dari pimpinan. Yang semua itu seringkali membuat Anda hidup “melampaui” hukum-hukum dan kebiasaan yang umum berlaku di kantor. Semakin Anda dekat dengan pimpinan, semakin Anda sering menerima berbagai keputusan langsung yang harus Anda tindak lanjuti secara khusus. Bahkan seringkali harus mem-by pass berbagai aturan standar.
Dengan Allah juga begitu. Jangan mengira, pola kehidupan Nabi persis sama dengan kita. Secara umum, memang ada ketetapan “syariat” yang secara umum mengikat semua manusia. Tetapi, begitu seseorang dekat dengan Tuhan, polanya menjadi lebih dinamis. Mereka yang akrab dengan Allah, sepanjang hari akan mendengar berbagai arahan, keputusan dan ketetapan (takdir) yang Allah tujukan secara khusus bagi dirinya. Ketetapan yang diberikan kepada Anda, boleh jadi berbeda dengan keputusan yang diberikan kepada orang lain. Demikian juga fasilitas yang Anda terima, bisa jadi tidak sama dengan yang lain.
Karena itulah, kehidupan orang-orang yang dekat dengan Allah sangat unik. Sangat fleksibel. Sekaligus sangat dinamis, bahkan sangat ketat. Sekilas terlihat mirip-mirip tidak taat pada berbagai ketentuan “generalis” syariat. Padahal, dia sedang disibukkan untuk melaksanakan berbagai aturan “khusus” (lex specialis) yang ditetapkan Allah untuknya.
Karenanya, dalam dunia spiritual, kita dilarang mengukur kehidupan seorang nabi/guru/wali, dengan standar umum manusia lainnya. Sebab, ada klausa-klausa khusus yang mereka jalani, sesuai kadar perintah dari Tuhannya. Nabi Muhammad SAW, ketika wafat misalnya, istrinya ada 9. Kalau diukur dengan standar umum syariat, harusnya maksimal cuma 4. Bagi nabi, shalat malam (tahajud) itu wajib. Bagi kita, itu sunnah. Banyak aturan peribadatan lain yang secara khusus hanya berlaku bagi Nabi.
Seorang presiden juga dibolehkan menurut UU untuk melewati lampu merah. Sementara kita, wajib berhenti. Ada sejumlah perbedaan hukum atau takdir (ketentuan) antara kita dengan presiden. Ada hukum khusus, yang berlaku pada orang-orang khusus. Presiden bisa mengampuni (memberi grasi dan amnesti) terhadap orang-orang yang dinyatakan bersalah menurut hukum. Rasul juga begitu, bisa menjadi wasilah untuk mengampuni orang yang bersalah/berdosa. Itulah kekuasaan (takdir) yang ditetapkan Tuhan bagi mereka (QS. An-Nisa: 64):
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا
“Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (QS. An-Nisa: 64)
Kalau dekat dengan Allah, Anda bisa melakukan “negosiasi” untuk hidup di atas hukum atau ketentuan-ketentuan (takdir) umum. Karena itulah, para nabi dan wali-wali, sering memperlihatkan berbagai hal ajaib yang melampaui hukum-hukum standar. Mereka bisa menghidupkan orang mati, menyembuhkan yang sakit tanpa peralatan medik, membelah laut, membelah bulan, mengeluarkan air dari jari, melempar tongkat jadi ular, tidak terbakar api, dan lain sebagainya.
Menurut hukum-hukum (ketetapan/takdir) dalam perspektif takwini, itu tidak mungkin terjadi. Tapi, karena mereka sudah menjadi orang-orang “khawash” (khusus), dengan izin Allah, memungkinkan bagi mereka untuk mensimulasikan berbagai bentuk kadar/kekuasaan, yang melampaui kebiasaan alam. Ada izin, ketentuan, ketetapan atau takdir khusus dari Allah bagi mereka untuk menunjukkan berbagai hal ihwal yang bersifat supra-alami (mukjizat dan karamah).
Jadi, kalau Anda punya kemampuan untuk dekat dengan Allah, Anda bisa menjadikan Allah sebagai “Penolong” (Wali). Anda dapat selalu bertanya kepada Allah, tentang apa yang terbaik untuk Anda. Dia akan memberikan keputusan, ketetapan, ketentuan, ukuran atau kadar terbaik terhadap Anda; dalam segala urusan. Mulai dari urusan kecil yang terkesan remeh temeh, sampai kepada hal-hal yang dianggap besar dan strategis. Semua idealnya harus dikerjakan sesuai petunjuk (ketetapan) Allah.
Berikut contoh takdir dalam hal kecil dan terkesan remeh temeh. Misalnya, baru beberapa suap nasi Anda makan, tiba-tiba Allah hadir dan berkata dalam bahasa ilham tertentu: “Stop, berhenti makan!”. Itu adalah takdir, sebuah bentuk “catatan” atau keputusan yang langsung ditunjukkan dari sisi Tuhan (Lauh Mahfud). Padahal, secara syar’i, makanan yang sudah Anda ambil harus dihabiskan. Jika tidak, akan mubazir. Namun, kalau ada keputusan baru dari Allah untuk berhenti makan, kalau dihabiskan justru akan berdosa.
Allah maha tau tentang makanan yang sedang kita cicipi. Entah mungkin ada unsur yang berbahaya, atau mungkin juga ada pertimbangan lainnya. Dia punya kehendak terbaik. Dan sering kali itu semua berada diluar nalar kita. Seringkali, apa yang kita yakini benar, belum tentu benar menurut Allah. Begitu juga sebaliknya. Maka, yang terbaik adalah bersikap ‘apatis’. Ikut saja apa mau-Nya. Itulah “jabaris”, dalam makna positif. Hamba yang baik adalah yang taat, tunduk dan patuh terhadap segala keputusan Allah; yang diumumkan secara langsung kepada Anda dari Lauh Mahfud.
Atau dalam kasus lebih besar. Ketika Anda mau naik jadi Caleg misalnya, coba tanyakan kepada Allah. Apa keputusan-Nya. Boleh atau tidak? Kalau Dia katakan boleh, itulah takdir atau “qada baik” buat Anda. Kalau Dia katakan, “jangan”, itu juga keputusan terbaik bagi Anda. Kalau sudah dikatakan jangan, tapi masih juga kita teruskan, itulah yang disebut dengan “qada buruk”. Kita telah melaksanakan sesuatu yang sebenarnya Allah tidak setuju.
Manusia juga makhluk bodoh dan pembangkang. Terkadang Allah tidak setuju kita untuk melakukan sesuatu. Tapi tetap saja kita lakukan. Seperti kasus Adam memakan buah khuldi. Tidak ada izin baginya untuk mencicipi itu. Itu sudah keputusan (takdir) dari Allah. Tapi Adam dengan freewill (dan nafsunya) tetap juga melakukan itu. Akhirnya bermasalah. Setiap keputusan yang tidak diridhai Allah, pasti akan mencelakai diri ataupun orang lain. Allah lebih tau, kenapa sesuatu itu buruk. Atau juga kenapa sesuatu itu baik, walaupun tidak kita sukai.
Seseorang bisa menjadi “manusia suci” (terbebas dari segala salah/dosa). Kalau senantiasa mengikuti petunjuk, ketetapan dan keputusan-keputusan Allah bagi dirinya. Baik itu dalam urusan kecil ataupun besar. Seorang nabi menjadi “maksum” karena mereka pasrah pada berbagai takdir Allah untuk mereka. Mereka sami’na wa atha’na terhadap berbagai keputusan Allah. Itulah bentuk jabaris yang positif. Semua orang shaleh yang meniru langkah Nabi, juga akan memperoleh nilai-nilai kesucian serupa. Syaratnya, ia mengetahui (kasyaf) terhadap berbagai kehendak Tuhan yang ditujukan setiap saat atas dirinya. Lalu ia patuh terhadap itu.
Karena itu, dalam perspektif ruhiyah/anfusi, “langkah-rejeki-pertemuan-maut”, termasuk kategori takdir yang bisa diketahui, lalu dinegosiasi. Ada orang (nabi/wali/orang shaleh) yang mengetahui akan dicabut nyawanya, lalu minta ditangguhkan. Lalu umurnya dipanjangkan. Artinya, mereka bisa mengubah takdir, dengan takdir lainnya. Ketika Abubakar, Umar dan Usman datang melamar Fatimah; Nabi SAW tidak langsung menerimanya. Sebab, tidak ada keputusan (takdir) dari Allah bahwa ketiga sahabat itu sebagai suami terbaik bagi anak perempuannya. Padahal, secara syariat, kalau ada yang melamar, ya sebaiknya diterima. Apalagi kalau yang lamar itu orang yang baik agamanya. Tapi, Allah telah menetapkan ukuran (kadar), bahwa suami terbaik Fatimah adalah Ali. Karena itu, justru Nabi sendiri yang kemudian meminta Ali melamar Fatimah.
Karena itu pula, dalam dunia sufi ada namanya “ilmu langkah”. Ilmu ini dimiliki oleh mereka yang telah dididik secara khusus oleh seorang Wali dalam hauzah khalwat/suluk selama periode waktu tertentu. Sehingga ruhani/jiwa si murid mampu berinteraksi secara kreatif dengan Allah, lewat teknologi ilham/muraqabah, untuk memahami berbagai petunjuk dan ketetapan Allah. Sehingga mereka tidak salah dalam melangkah. Dalam tradisi sufisme di Aceh, khususnya orang tua kita dulu, sering berkata: “InsyaAllah, meunye na langkah lon jak”. Insya Allah, kalau ada “langkah”, saya akan datang. Begitu jawaban arif mereka, kalau diundang ke sebuah acara. Mereka akan datang, kalau ada petunjuk langkah dari Allah. Jika tidak, mereka tidak mau datang. Karena itulah, dunia sufisme itu sekilas bernuansa “jabaris”. Mereka tidak mau mendahului keputusan Allah. Segala sesuatu dikonfirmasi terlebih dahulu kepada Allah.
Itulah “ilmu langkah”. Ilmu ini mengajarkan bagaimana seseorang bergerak, bertindak, atau mengambil keputusan; sesuai ketentuan (kadar/ukuran/takdir) terbaik yang ia baca dari catatan perbendaharaan ilmu Allah (di Lauh Mahfud). Karena itu, disebut juga sebagai ilmu “insyaAllah” (dengan izin Allah). Segala sesuatu dalam hidup ini, setiap tindakan, segala keputusan dalam aneka bidang pekerjaan; bisa dikonfirmasi secara langsung agar bersesuaian dengan kehendak, takdir atau maunya Allah. Kalau berbeda dengan ukuran-ukuran yang disetujui Allah, itu akan menjadi “qada buruk” atau bencana bagi bumi dan diri sendiri. Sebagaimana bunyi ayat:
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
“Tidak ada bencana (apa pun) yang menimpa di bumi dan tidak (juga yang menimpa) dirimu, kecuali telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuz) sebelum Kami mewujudkannya. Sesungguhnya hal itu mudah bagi Allah” (QS. Al-Hadid: 22)
Sebenarnya, banyak ayat tentang takdir yang bernilai “jabaris”, harus dipahami kembali dalam konteks ruhiyah/anfusi. Kalau Allah sudah menentukan sesuatu terhadap sebuah urusan (sudah membisikkan sebuah kadar keputusan-Nya dalam jiwa kita), kita harus pasrah/patuh kepada keputusan itu. Para nabi dan orang shaleh adalah orang-orang yang patuh pada semua ketentuan/ketetapan Allah dan Rasulnya, yang dibisikkan (diwahyukan) ke dalam jiwa mereka. Kalau membantah dan membuat pilihan lain, itulah yang disebut “sesat” (berjalan di atas koridor dan pilihan yang tidak dikehendaki Allah):
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَّلَا مُؤْمِنَةٍ اِذَا قَضَى اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗٓ اَمْرًا اَنْ يَّكُوْنَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ اَمْرِهِمْ ۗوَمَنْ يَّعْصِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ فَقَدْ ضَلَّ ضَلٰلًا مُّبِيْنًاۗ
“Tidaklah pantas bagi mukmin dan mukminat, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketentuan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata” QS. Al-Ahzab: 36).
Karena itulah, takdir jenis ini hanya mudah dipahami oleh para pengamal sufisme sejati. Yang telah taqarrub dengan Allah. Tentu, untuk mencapai level dekat dan mampu berkomunikasi dengan Allah, seseorang harus rajin melatih kemampuan ruhiyahnya. Sehingga memungkinkan baginya terkoneksi dengan Yang Maha Wujud, langsung dengan Dzat-Nya. Karena itulah, berbagai bentuk ketentuan Tuhan yang berlaku bagi mereka kita sebut sebagai “takdir ruhiy/anfusi/Dzatiy”. Sebab, ruh/jiwa mereka telah mampu berinteraksi untuk mendapatkan berbagai kadar, kekuatan, kekuasaan dan petunjuk; langsung dari sisi Dzat Allah. Orang-orang seperti inilah yang sejatinya disebut sebagai “khalifah Allah”. Otoritas Allah di muka bumi ada pada mereka. Itulah wali Allah. Semakin lebur seseorang dengan Allah, semua gerak dan kehendaknya akan menjadi gerak dan kehendaknya Allah:
وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَـكِنَّ اللّهَ رَمَى
“.. dan bukan kamu melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar” (Al-Anfal: 17)
Mereka, lewat mata bashirah atau kecakapan mukasyafah, biasanya juga diberi pengetahuan oleh Allah untuk melihat berbagai pola atau potensi yang akan terjadi di masa depan. Mata mereka adalah “mata” Allah. Demikian juga dengan telingan, kaki dan tangan mereka. Kekuatan ruh mereka bisa mengubah pola yang ada. Doa mereka makbul dan bisa menyelamatkan manusia dari sebuah bencana yang seharusnya datang. Karena itu pula dikatakan, doa dan sedekah bisa mengubah takdir. Anda bisa bersedekah, seraya meminta doa kepada mereka. Artinya, kalau seseorang rajin bersedakah dan diterima Allah, ada berbagai bala bencana (qada buruk) yang kemungkinan akan dijauhkan darinya. Sedekah dan berbagai amalan khusus lainnya yang dilakukan dengan “ikhlas/khusyuk” (i.e. zikir, ziarah/silaturahmi ruhaniah, dsb); merupakan cara kita bernegosiasi dengan Allah terhadap berbagai kemungkinan buruk yang secara alami mungkin saja akan menimpa kita. Karena itu pula dikatakan, sedekah akan memudahkan terbukanya pintu rejeki. Ini semua masuk dalam kategori diskresi dari “takdir ruhiy” (negotiable destiny).

D. KESIMPULAN: MANUSIA, RELASI IKHTIAR DAN TAKDIR
Manusia adalah “Makhluk Freewill” (Qadariyah)
Disatu sisi kita setuju, sebagaimana didukung oleh banyak ayat yang bernada qadariyah (muktazilah). Manusia adalah makhluk liberal (punya freewill). Manusia tercipta dalam “imej” Tuhan. Manusia adalah makhluk mikro, yang menyerap sifat-sifat alam makro. Karenanya, manusia “mereplika” sifat-sifat Tuhan. Seperti halnya Tuhan; manusia punya kadar, kuasa, kekuatan, qudrah dan iradah dalam bertindak; dalam relasi dengan dunianya. Namun, manusia juga tercipta dengan unsur nafsu. Sebuah kekuatan laten lainnya yang senantiasa mempengaruhi kesadarannya dalam membuat keputusan/memilih. Dengan berbagai kombinasi kesadaran ini, manusia punya kekuatan mandiri untuk berlaku “fujur” (jahat) sekaligus “taqwa” (baik) -QS. Asy-Syams: 8). Manusia punya kekuatan untuk menentukan nasibnya, ke surga atau neraka.
Karena adanya kuatan freewil ini, maka semua manusia hakikinya terlahir dalam keadaan bebas dan merdeka. Kemerdekaan merupakan hak asasi yang paling primer bagi setiap individu. Karena bebas dan merdeka inilah, maka ada yang namanya “pertanggungjawaban” di akhirat. Sebab, kalau semuanya murni sudah ditentukan Tuhan, manusia tidak pantas dan sama sekali tidak adil untuk diadili dan dimintai pertanggungjawaban. Jika manusia hanya berperan sebagai “robot”-nya Tuhan, sudah tentu tidak perlu adanya pertanggungjawaban. Karena kemerdekaan itu terletak pada sisi individu, maka di akhirat hanya ada pertanggungjawaban individu. Setiap individu hanya bertanggungjawab atas dirinya sendiri (nafsi-nafsi). Karena itulah, setiap orang sejak dini wajib menjaga agar fitrahnya tetap terjaga/terpelihara, agar selamat sampai ke akhirat.
Manusia “Terikat” dengan Hukum-Hukum (Jabariah)
Meskipun terlahir dalam keadaan bebas dan merdeka, manusia tidaklah sepenuhnya bebas dan merdeka. Sebab, ia juga dibatasi oleh hukum-hukum “jabariah”; yang memaksa manusia untuk tunduk dan patuh. Sebab, kebebasan dan kemerdekaan tanpa batas, justru menciptakaan ketidakpastian sekaligus anarkhi/kekacauan. Maka perlu restriksi-restriksi untuk membuat manusia bermain dalam kerangka yang dapat membawanya kepada kepastian, kebaikan, keadilan dan kebenaran. Ketentuan-ketentuan “restriktif” yang bernilai positif inilah yang disebut “takdir”. Manusia harus hidup secara dinamis dan progresif dalam relasi dengan 3 jenis takdir.
Pertama -dalam relasi dengan alam, manusia seluruhnya terikat dengan hukum-hukum umum penciptaan yang secara alamiah dan objektif sudah ada di alam (takdir takwini). Manusia terikat dengan hukum-hukum alam yang sifatnya objektif. Namun, hubungan manusia dengan alam bukanlah hubungan “penyerahan” (apatis). Adanya sunnatullah di alam, membuat kita mengakui adanya batas-batas kemerdekaan. Bahwa alam juga punya kekuatan. Namun, manusia tidak boleh pasrah. Kita berbeda dengan batu yang menggelinding mengikuti gravitasi tanpa ikhtiar. Atau seperti tumbuhan yang tumbuh dalam kondisi tertentu, statis alamiah disitu-situ saja, tanpa usaha.
Dengan kemerdekaan dan rasionalitasnya, manusia bisa memanfaatkan keberadaan hukum-hukum objektif yang ada di alam untuk kepastian berkreasi dalam memajukan peradabannya. Ada kemungkinan kreatif dan capaian-capaian ideal yang bisa ditempuh manusia sebagai makhluk berakal dan terus belajar (QS. Az-Zumar: 9). Manusia dengan kehendak bebasnya bisa mempelajari, memanfaatkan, menaklukkan dan mengarahkan hukum-hukum alam. Sehingga lahir ilmu pengetahuan dan teknologi yang bermanfaat bagi sesama (QS. Ar-Rahman: 33).
Kedua -dalam relasi dengan masyarakat, manusia juga terikat dengan hukum-hukum umum kehidupan yang menentukan baik atau buruknya kehidupan sosial (takdir tasyri’i). Canggih secara teknologi dalam penguasaan alam, belum tentu membuat kita beradab. Kecanggihan itu justru membuat kita binasa, ketika nafsu yang berkuasa. Karena itulah sering terjadi perang dan penindasan. Sehingga, Tuhan menetapkan hukum-hukum lainnya untuk mengatur moralitas individu dan masyarakat. Baik segi jasmani maupun aspek-aspek tertentu dari mentalitas.
Itulah yang disebut dengan ketentuan syar’i. Tujuannya, untuk mengatur perilaku/akhlak manusia. Dengan berperilaku baik, tatanan sosial masyarakat akan baik. Sehingga membawa pelakunya kepada kebahagiaan duniawi, dan kemungkinan juga surgawi. Begitu juga sebaliknya. Itulah syariat, “hukum-hukum peribadatan umum”, yang secara maqashid-nya memang secara general bertujuan menciptakan law and order di tengah masyarakat. Menjaga agar agama, nyawa, akal, keturunan dan harta tetap terpelihara.
Ketiga -dalam relasi dengan Allah, manusia bisa memperoleh keputusan-keputusan hukum yang bersifat lex specialis (khusus) dari Allah, dalam bertindak dan memutuskan sesuatu. Ini wilayah dari “takdir ruhiy“. Jika punya kedekatan dan kemampuan “berbisik-bisik” (berkomunikasi/bernegosiasi) dengan Allah, Anda bisa memperoleh berbagai ketetapan (izin dan gerak perintah) secara langsung dari-Nya. Berbagai mukjizat dan karamah dalam dunia spiritual, juga termasuk bagian dari kemampuan para nabi/sufi untuk melampaui hukum alam/syariat biasa.
Hukum ketiga yang bersifat ruhiy (anfusi/Dzatiy) ini, hanya bisa dipahami dan digunakan oleh orang-orang tertentu saja (khusunya para nabi, wali dan ahli sufi di sepanjang masa). Hukum ini digunakan dalam relasi peribadatan yang bersifat private/khusus. Karena itulah, agama juga diyakini sebagai sesuatu yang sangat “privacy” (hubungan masing pribadi dengan Allah). Sehingga keragaman itu harus dihargai, sejauh itu bukan perilaku menindas/menjajah orang lain (kapitalistik). Perbedaan keyakinan di tengah umat tidak serta merta untuk dihakimi sebagai sesat. Konon lagi sama-sama mengakui Tuhan dan nabi yang sama. rukun iman dan Islamnya sama. Hanya saja, masing-masing punya cara, jalan atau metodologi khas (tariqah) dalam berhubungan dengan Allah. Sehingga, Anda tidak bisa selalu menggunakan hukum-hukum syariat umum untuk menilai peribadatan orang. Untuk itulah kita perlu arif; tidak picik dan kaku dalam beragama, berbangsa dan bernegara.
Sebagai penutup, ayat-ayat yang bernada “jabariah”, itu akan mudah dipahami kalau kita punya pemahaman dan pengamalan sufistik yang baik. Sebab, banyak ayat jabaris tersebut hanya bisa dipahami melalui kacamata ruhiyah. Sebab, pesan-pesannya berdimensi anfusi/hakikat dan sangat mutasyabihat. Sehingga, kalau dipahami secara literal, bisa melahirkan paham “fatalis” (pasrah pada nasib). Padahal, pesan-pesannya menjurus ke bentuk-bentuk “penyerahan diri” yang progresif.
Itulah penjelasan teologis “sufikademis”, rasional sekaligus sufistik, terkait konsep takdir dan relasinya dengan ikhtiar.

LIHAT JUGA 4 VIDEO PENJELASAN IKHTIAR & TAKDIR: Relasi Ikhtiar & Takdir (Bag.1); Relasi Ikhtiar & Takdir (Bag.2); Relasi Ikhtiar & Takdir (Bag.3); Relasi Ikhtiar & Takdir (Bag.4).
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.
#powered by SUFIMUDA
___________________
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok: tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter: twitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2
2 thoughts on “TAKDIR DAN IKHTIAR: SEBUAH URAIAN TEOLOGIS DALAM PERSPEKTIF “SUFIKADEMIS””