
Jurnal Suficademic | Artikel No.40 | Juni 2024
ANTARA ACEH DAN JEDDAH: SUFISME HABIB ABDURRAHMAN AZZAHIR DAN CUT AJA AISYAH
Oleh Said Muniruddin | Rector | The Suficademic
Bismillahirrahmanirrahim.

DALAM sebuah kitab koleksi Pedir Museum (2024) disebutkan, Teungku Muhammad Umar Lam Ujong termasuk salah satu yang mengambil tarikat dari “Sayyiduna wa Maulana wa Qudwatuna wa Murabbina Habib Abdurrahman bin Muhammad Azzahir Ba’alawi” (1832-1896 M). Sebelumnya juga ditemukan catatan, murid Beliau lainnya bernama Teungku Nyak Ali Lampaseh (Montasik). Murid tarikat Habib Abdurrahman Azzahir lainnya yang paling terkenal adalah Sultan Mahmud (Raja Aceh yang memerintah tahun 1870-1874).
Habib Abdurrahman sendiri menerima ijazah tarikat Alawiyah dari tiga mursyid. Pertama, Sayyid Muhammad bin Abdurrahman Al-Masyhur (ayahnya sendiri), Sayyid Alwi bin Ahmad Al-Jufri (Kalikat, seorang sufi besar India), Sayyid Fadhil bin Alwi bin Muhammad Sahil Mauladdawilah (guru sufi, anggota kabinet dan penasehat Sultan Abdul Hamid II, Turki).
Habib Abdurrahman Az-zahir merupakan utusan Kerajaan Turki ke Aceh. Ia menetap di Aceh selama 14 tahun, dari 1864-1878. Selain diplomat dan panglima perang, orang yang pernah menjadi Imam Besar Masjid Raya ini juga seorang mursyid tarikat Alawiyah. Menurut sebuah catatan, saat menarik diri dari perang Aceh, Habib turut membawa serta ratusan pengikutnya dari Aceh untuk bermukim di Jeddah.
Ada catatan lain yang menyimpulkan, bagaimana ia harus berdiplomasi dengan Belanda, untuk memperoleh biaya bulanan guna membekali kehidupan para pengikutnya yang dibawa hijrah ke Jeddah. Tapi dikemudian hari, Belanda kelihatannya tidak sepenuhnya menepati janji. Habib banyak mendapat isu negatif dengan strategi terakhirnya ini. Ia bahkan sempat di cap “pengkhianat”. Padahal, nilai-nilai sosial dan kejuangannya tinggi sekali. Namun sebagai diplomat utusan Turki, ia punya cara juang tersendiri.
Dua tahun setelah Habib wafat (1898), anaknya Cut Aja Aisyah yang saat itu telah berusia 27 tahun, pulang kembali ke Aceh dengan membawa serta dua warga Aceh yang sebelumnya ikut ayahnya ke Jeddah. Anak cucu kedua orang inilah yang saat ini masih merawat makam “keramat” Cut Aja Aisyah di Desa Tumbo Baro, Samahani, Aceh Besar.
Ada kisah menarik, saat Cut Aja tiba di Aceh. Khawatir dapat memicu kembali perang, sebagaimana pernah dipimpin ayahnya, Cut Aja sempat ditahan Belanda saat kembali ke Aceh. Namun, dilepas kembali setelah mendapat protes dari Turki. Cut Aja dan Ayahnya adalah orang-orang yang dilindungi oleh Turki.
Bukan tidak beralasan jika Belanda menangkap mereka. Sepertinya Belanda menemukan senjata yang dibawa oleh orang yang menyertainya, atau dicurigai ada koneksi dengan kelompok-kelompok perjuangan. Karena alasan itu pula, jamaah haji mulai didata oleh Belanda. Kepulangan warga Aceh khususnya dari haji, sebagaimana saran Snouck Hurgronje (1857-1936), harus dikarantina dan diawasi. Semangat berperang orang Aceh cukup tinggi. Mereka yang berinteraksi dengan dunia luar khususnya Turki, harus diwaspadai.
Penemuan Makam Cut Aja Aisyah
Dalam sebuah ekspedisi, tim Asyraf Aceh bergerak menuju ke bekas wilayah Mukim Sagi XXII, tepatnya di Samahani, Kabupaten Aceh Besar; guna mencari informasi tentang Habib Abdurrahman Az-zahir. Catatan sejarah menyebutkan, Habib memiliki pengaruh besar di wilayah itu. Beliau juga menikah dengan salah satu putri Ulee Balang Baet VII Mukim, bernama Pocut Syaribanun. Dari pernikahan tersebut lahir seorang putri bernama Syarifah Aisyah binti Abdurrahman Al-Masyhur atau yang di kampungnya dikenal dengan sebutan Cut Aja Aisyah.
Alhamdulillah, pada 31 Mei 2024 lalu, tim Asyraf Aceh berhasil menemukan makam putri Habib Abdurrahman Az-zahir yang terletak di Desa Tumbo Baro Kemukiman Samahani, Aceh Besar. Cut Aja Aisyah ini adalah saudara se-ibu dengan Sultan Mahmud Syah bin Sultan Ali Iskandar Syah (1870-1874).
Berdasarkan wawancara dengan keluarga Uleebalang Baet dan masyrakat sekitar, dijelaskan bahwa Cut Aja Aisyah adalah seorang guru mengaji selepas beliau kembali dari Jedah. Selain sebagai guru mengaji, Syarifah Aisyah dikenal sebagai seorang yang memiliki karamah, sehingga masyarakat setempat sangat segan dan menghormati putri Habib Abdurrahman Az-zahir tersebut. Masyarakat sendiri tidak tau bahwa makam itu milik putri Habib Abdurrahman Az-zahir, sosok penting dalam sejarah Aceh. Mereka hanya tau, Beliau orang yang datang dari Arab.
Informasi lisan dari masyarakat tentang Cut Aja Aisyah terkonfirmasi dengan sebuah surat yang dibukukan dalam “Turki Usmani-Indonesia: Relasi dan Korespondensi Berdasarkan Dokumen Turki Usmani” oleh Mehmet Akif Terzi dkk (2017). Surat tersebut menceritakan tentang Cut Aja Aisyah yang ingin kembali ke Aceh dari Jedah karena ingin menemui keluarganya. Ia ditangkap oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda pada tahun 1898 M ketika tiba di Aceh.
Penangkapan ini diprotes oleh Kesultanan Turki Usmani, karena ayahnya adalah seorang yang setia kepada Turki. Akhirnya Cut Aja Aisyah dilepas. Beliau kemudian mengabdikan hidupnya untuk mengajarkan ilmu agama kepada masyarakat sekitar sampai akhir hayatnya.
Sejauh ini belum diketahui tanggal wafatnya. Tetapi beliau kembali ke Rahmatullah dalam usia lanjut. Jika Cut Aja Aisyah di makamkan di Samahani, Aceh; makam ayahnya yang juga guru spiritualnya, ada di samping makam Siti Hawa di Jeddah. Al-Fatihah!




Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: sayyidmuniruddin.com
TikTok: tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/Habib.Munir/
Twitter-X: x.com/saidmuniruddin
Channel WA: The Suficademic
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2
One thought on “ANTARA ACEH DAN JEDDAH: SUFISME HABIB ABDURRAHMAN AZZAHIR DAN CUT AJA AISYAH”