“Jurnal Suficademic” | Artikel No. 19 | Februari 2023
SIT, BE STILL AND LISTEN
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. “Sit, be still, and listen”, kata Rumi. Kalimat ini, sekilas bisa digunakan dalam aneka ragam komunikasi publik. Ada arahan untuk memperbaiki keahlian mendengar, saat kita berdialog dengan lawan bicara.
Tapi sebenarnya maknanya lebih jauh dari itu. Apa yang disampaikan Maulana Jalaluddin Rumi (1207-1273 M), seorang mistikus besar Persia kelahiran Afganistan dan wafat di Turki, dalam kalimat singkatnya itu, adalah ajaran khas para wali sepanjang masa. Ajaran mistisisme para nabi. Ajaran untuk memperbaiki gelombang kesadaran otak/ruhani (spiritual brainwaves, subconscious and superconscious mind).
Kalimat itu mengajarkan “wuquf batin”. Wuquf secara etimologis bermakna “berhenti”. Dalam tradisi haji, ini dilakukan saat para jamaah berdiam diri di Padang Arafah. Pada saat wuquf, semua bermalam ditempat bersejarah itu. Hakikat wuquf adalah memperoleh makrifah (‘arafah) atau juga “mendengar” apa perintah Tuhan sebelum anda berangkat pulang dari haji.
“Wuquf” termasuk puncak dari perjalanan. Setelah anda sibuk dengan segala usaha dan perjuangan, ada saatnya untuk berhenti. Itulah waktu jeda, waktu untuk mengetuk “pintu-Nya”. Diam, dan dengarlah apa kata Allah.
Sit, be still, and listen
RUMI
“Sit, be still, and listen” adalah wuquf ruhaniah seorang salik, dengan adab dan teknik duduk tertentu. Bagi yang sudah menempuh riyadhah ruhani secara ketat (“be still”)selama waktu tertentu, ada titik dia mampu menyapa Tuhannya melalui ritual wuquf seperti ini.
Artinya, Allah memang Maha Berkata-kata (Kalam/Mutakallimun). Dia senantiasa berfirman kepada manusia. Dia selalu mengilhami jiwa kita. Tapi hanya yang mampu mendengar yang dapat mengambil manfaat dari sifat-Nya itu.
Sufisme adalah sebuah ajaran, tidak hanya untuk membaca, tapi juga untuk mendengar Allah berbicara. Bukan sekedar mendengar orang mengaji. Tapi mendengar Allah bersabda secara “laduni”. Sufisme adalah ajaran yang membawa manusia dapat kembali berinteraksi dengan Tuhan. Sufisme adalah ajaran yang membawa manusia kembali kepada Tuhan.
Manusia ini makhluk mikro, sekaligus makro. Kita ini “tajalli” (manifestasi) dari yang Maha Besar. Sesungguhnya, alam raya ini ada dalam diri kita. Kita ini penghulu alam. Ada berbagai lapisan langit yang terintegrasi dalam jiwa manusia. Para nabi ‘bersemayam’ disana. Yang disebut mikraj, itu adalah “the inner journey” untuk menembus kedalaman diri, menyerap kualitas para nabi, menuju pusat ketuhanan. Tubuh/jiwa kita ini hidup dan dapat berbicara. Ada “God-Spots” dalam diri kita, yang jika disadari akan membuat kita fana dan baqa, selalu dapat mendengar dan berbicara dengan Allah SWT.
Para guru sufi biasanya mengajarkan murid-muridnya teknik wuquf untuk mengaktivasi kesadaran ilahiyah ini, yang diawali dengan proses penyucian diri. Sebab, “suara Tuhan” hanya dapat ditangkap oleh perangkat jiwa yang sudah bersih dari dosa. Karena itu, taubat menjadi penting. Tuhan tidak hadir pada qalbu yang kotor. Lalu setelah itu ada zikir panjang, berhari dan bermalam-malam untuk mencapai titik pencerahan. Bahkan ada pengabdian (ubudiyah/khidmat) yang dilakukan selama berbulan dan bertahun, untuk menjernihkan pendengaran yang bersifat batini.
Puncak dari haji, dalam syariat, itu adalah “wuquf”. Yaitu, mengambil jeda untuk membuka mata hati dan mendengar apa kata Tuhan. Langkah jihad apa yang harus dilakukan paska haji. Puncak kehidupan sehari-hari yang begitu melelahkan juga itu, wuquf. Sholat itu, hakikatnya adalah wuquf. Terlalu banyak tafsir, syarah dan persepsi yang kita bangun dalam beragama. Sebaik-baik agama, adalah yang mendengar langsung apa maunya Tuhan. Dan kecakapan ini tidak dimiliki oleh orang-orang yang “terputus” dari tali koneksi dengan Allah (habl, بِحَبْلِ اللَّهِ).
Ketika Allah berpesan, “Berpeganglah pada Tali Allah dan jangan terputus” (QS. Aali Imran: 103) itu adalah pesan untuk senantiasa tersambung dengan Allah. “Tali Koneksi” atau hotspot-nya Allah adalah para nabi dan wali-Nya. Hanya dengan berpegang atau terkoneksi dengan para wali-Nya ini, sinyal sambungan kepada Allah akan aktif. Sehingga gelombang radio dari langit senantiasa hidup. Suara malaikat pun bisa terdengar. Pesan Allah pasti bisa ditangkap.
Begitu esensialnya amalan “wuquf” untuk mendengar pesan-pesan dari langit. Sehingga, Rumi sering mengungkapkan urgensi “transendental listening” ini dalam berbagai nasehat spiritualnya: “Listen to silence, it has so much to say”, “There is a voice that doesn’t use words, listen!”, “Sit quietly and listen for a voice that will say: ‘be more silent’. As that happens, your soul starts to revive” -red: revive artinya hidup, atau mengalami muraqabah.
PENUTUP. Disini kita bisa paham, kenapa sufi ada saatnya suka “diam” dan mungkin juga “menyendiri”. Bukan karena ingin lari dari dunia. Bukan karena tidak lagi menginginkan dunia. Melainkan karena disana ada “voice”, bukan “noise”. Disana ada suara Tuhan, bukan ceramah manusia yang seringkali tendensius dan penuh olahan. Wuquf secara intensif tidak hanya dilakukan di kesunyian malam. Kalau sudah ahli, juga bisa dilakukan di tengah keramaian.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.
#powered by SUFIMUDA
___________________
FOLLOW US:
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok: tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter: twitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2
I don’t think the title of your article matches the content lol. Just kidding, mainly because I had some doubts after reading the article.