Jurnal Suficademic | Artikel No.78 | Juli 2023
DUA TAHAP EVOLUSI: “ALAMI” DAN “IKHTIYARI”
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Jalaluddin Rumi (1207-1273), seorang sufi yang terkenal dengan “Masnawi”-nya, berkata:
Aku mati sebagai mineral dan menjelma tumbuhan. Aku mati sebagai tumbuhan dan terlahir binatang. Aku mati sebagai binatang dan kini manusia. Kenapa aku mesti takut? Maut tak menyebabkanku berkurang!
Namun sekali lagi aku harus mati sebagai manusia, dan melambung bersama malaikat. Dan bahkan setelah menjelma malaikat, aku harus mati lagi; segalanya kecuali Tuhan, akan lenyap sama sekali.
Apabila telah kukorbankan jiwa malaikat ini, Aku akan menjelma sesuatu yang tak terpahami. Oo,..biarlah diriku tak ada! Sebab ketiadaan menyanyikan nada-nada suci, “KepadaNya kita akan kembali.”
Dalam syair mistiknya ini, Rumi sepertinya sedang merincikan tahapan evolusi manusia sesuai petunjuk umum yang terdapat dalam Al-Baqarah 28:
كَيْفَ تَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَكُنْتُمْ أَمْوَاتًا فَأَحْيَاكُمْ ۖ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
“Bagaimana kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu lalu Dia menghidupkan kamu kembali. Kemudian kepadaNyalah kamu dikembalikan” (QS. Al-Baqarah: 28).
Ayat ini menjelaskan. Pertama, pada awalnya manusia tidak ada (mati). Lalu menjadi ada (hidup), dalam fase pertumbuhan dan perkembangan tertentu. Rumi menyebutnya sebagai proses dari wujud mineral, menjadi tumbuhan, hewan, sampai menjadi manusia. Kedua, kita dengan cara tertentu akan mengalami “kematian” dari wujud manusia, untuk kemudian “dihidupkan” dalam wujud malaikat. Ketiga, dari wujud malaikat, kita akan terus berevolusi menuju Tuhan. Pada level puncak ini akan “lenyap” diri kita, sehingga menjadi wujud yang “tidak terpahami”, kembali kepada-Nya.
Apa yang dikatakan Rumi berdasarkan ayat ini merupakan tiga fase evolusi manusia. Bisa disederhanakan menjadi dua. Transformasi dari wujud mineral, tumbuhan, hewan sampai menjadi binatang berakal (manusia) disebut tahap “evolusi alami” (being). Sedangkan untuk naik ke tahapan selanjutnya, ke malaikat sampai kepada Tuhan; itu wilayah “evolusi ikhtiari” (becoming).
Pertama, “Evolusi Alami” (Being)
Evolusi manusia pada fase “alami”, itu mengikuti hukum-hukum, ketentuan, takdir atau sunnatullah yang bersifat taqwini (alamiah). Tidak perlu diusahakan. Perubahan terjadi secara natural dan pasti. Perubahan alamiah ini merupakan bagian dari perwujudan universalitas sifat “Rahman”-nya Allah. Asma/Sifat Tuhan ini bekerja dan meliputi semua makhluk. Untuk sekedar menjadi “makhluk melata”, atau sekedar “ada” (being), segala sesuatu termasuk manusia akan terikat dengan hukum evolusi alamiah ini.
Singkat cerita, manusia awalnya ada dalam wujud “mineral” (saripati tanah, air atau sperma). “Dan Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim)” QS. Al-Mukminun: 12-13). Air, saripati tanah atau sperma (nuthfah) merupakan wujud paling sederhana. Tidak tumbuh, tidak berkembang, juga tidak bergerak.
Tapi melalui proses persemaian tertentu dalam rahim ibu, mineral ini bisa tumbuh dan berubah. Menjadi segumpal darah (‘alaqah), berkembang menjadi segumpal daging (mudghah), tumbuh tulang (idham), lalu tulang itu terbungkus daging (kisa al-idzam bil-lahim). Ini semua adalah wujud “nabati” manusia. Semua itu adalah elemen, meskipun tidak bergerak, tapi mengalami pertumbuhan. Manusia dalam wujud ini adalah “tumbuhan” yang tumbuh dari biji, tunas, tulang/batang, daging, kulit, daun dan seterusnya. “Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik” (QS. Al-Mukminun: 14).
Pada tahap selanjutnya, dari wujud nabati, manusia berkembang menjadi “sesuatu yang lain” (insya). Dengan ditiupkannya ruh, manusia sudah mulai bergerak. Selain itu juga terus tumbuh, berkembang dan bahkan punya nafsu. Pada level ini, manusia sudah menjadi “binatang”. Lihat bagaimana buas dan liarnya hewan. Manusia terlahir dalam wujud ini. Struktur biologis kita sama, atau mirip sekali, dengan sistem yang ada pada hewan. Kita dengan “orang utan” bahkan seperti adik abang. Manusia juga punya jiwa yang terus bergerak secara substansial sehingga melahirkan akal. Evolusi alamiah berakhir disini. Puncaknya, kita menjadi “hewan berakal” (hayawanun nathiq).
Akal inilah yang membuat kita berbeda dengan hewan lainnya. Akal memberi tau kita secara naluriah, bahwa Tuhan itu ada. Hanya sekedar memberitau. Bukan membawa kita untuk bisa berjumpa dengan-Nya. Nafsu dan akal disisi lain juga membuat kita menjadi makhluk “freewill”, punya ego dan kehendak bebas. Kita bisa berkarya dan mencipta karena adanya bentuk-bentuk kecerdasan alamiah ini.
Jadi, manusia dalam kerangka “evolusi taqwini”, mengalami transformasi dari wujud air/tanah (mineral), menjadi tumbuhan (nabati), menjadi hewan (hewani), sampai menjadi hewan berakal (manusiawi). Hewan berakal inilah yang diutus untuk mengelola bumi. Paling tidak, dengan nalurinya sebagai hewan, ditambah kecerdasan akal, ia bisa belajar survive untuk menghidupi diri dan membangun komunitasnya. Kita sebagai hewan yang berakal dan bernafsu adalah murni “makhluk duniawi”. Karena itu dikatakan, tidak ada binatang di surga. Binatang tidak masuk surga. Binatang adalah makhluk “duniawi”.
Selanjutnya, manusia bisa memilih untuk berevolusi lebih lanjut menjadi makhluk lebih tinggi. Atau jika tidak mau, juga bisa kembali ke asal usulnya sebagai materi. Secara alamiah, manusia memang akan menjadi mineral lagi. Sebagaimana kata hadis, semua binatang akan kembali ke tanah. “Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua makhluk pada hari akhirat kelak. Yaitu setiap hewan, burung-burung, dan juga manusia. Lalu Allah berkata kepada haiwan-haiwan dan juga burung, “Jadilah kamu tanah”. (HR. Abu Hurairah). Proses kita menua sampai mati, itu adalah proses kita secara “jasadi” kembali menjadi tanah (mineral).
Kedua, “Evolusi Ikhtiyari” (Becoming)
Kalau tidak mau mati sebagai mineral (tanah), maka saat belum mati, manusia bisa memilih untuk berevolusi lebih lanjut menjadi makhluk lebih tinggi. Yaitu, menjadi “makhluk ukhrawi”. Untuk berkembang menjadi makhluk surgawi, untuk melampaui wujud duniawi kebinatangan, ini bukan lagi proses alami. Melainkan “ikhtiyari”.
Sebelum mati, melalui potensi akal intuitifnya, manusia harus menempuh langkah-langkah khusus yang dilakukan secara sadar, untuk mentransformasi dirinya secara sungguh-sungguh sampai menjadi “malaikat” (makhluk spiritual).
Malaikat adalah “makhluk ruhani”. Akal ruhaniahnya (fuad/qalb) jauh lebih aktif daripada akal/insting hayawaniyahnya. Berbeda dengan manusia yang hidupnya secara kodrati terus “melata” di muka bumi, malaikat adalah makhluk yang bisa “terbang” ke alam lebih tinggi. Kekuatan consciousness malaikat mampu menembusi langit-langit jasad (materi), hingga sampai ke langit ruhaniah tertinggi. Makanya malaikat itu bisa menerima pesan dan berkomunikasi dengan Allah. Karena itulah ia menjadi “utusan” Allah.
Sampai disini semoga Anda paham; siapa Muhammad, Isa, Daud, Musa, Ibrahim, Nuh, Adam dan lainnya. Mereka itu “utusan” Tuhan. Mereka bukan manusia. Iya, mereka secara biologis, dengan akal dan nafsunya, merupakan manusia biasa (basyar). Tapi, dengan elemen Cahaya yang telah tumbuh dalam dirinya, mereka telah berevolusi menjadi makhluk ruhani, menjadi wujud makhluk alam “malakut”, pembawa wahyu Ilahi.
Pada dimensi fisik fisiologisnya, iya, mereka beribadah sesuai Hukum-Hukum Ilahi (syariat) yang berlaku untuk dunia bentuk dan materi. Tapi, sebagai makhluk langit, pada dimensi insan kamilnya, mereka beribadah dengan tradisi malaikat. Ruhani mereka telah daim dan fana dalam shalat, “tidak pernah berhenti berzikir/bertasbih kepada Allah” (QS. Al-Ma’arij: 23).
Sampai disini kita juga harus paham. Kalau ada sejumlah “binatang” yang diriwayatkan masuk surga, seperti unta Nabi Shaleh as dan anjing Ashabul Kahfi; itu bukan binatang betulan. Itu adalah orang-orang suci, orang-orang shaleh. Kedekatan mereka dengan seorang nabi dan para auliya telah membuat jiwa mereka mengalami transformasi menjadi makhluk yang “setia”. Setia dan penuh pengabdian kepada Gurunya. Setia kepada Guru Ruhani adalah setia kepada Allah. “Athiullah, athiurrasul wa ulil amri minkum” (QS. An-Nisa: 59). Kita semua adalah “anjing” Rasulullah, kalau betulan setianya. Kita semua adalah “unta”, tunggangan para wali Allah. Karenanya, kita diperintahkan. Adab dan kesetiaan dalam penapakan jalan ruhaniah diajarkan secara detil dan ketat dalam tradisi tarikat dan sufisme.
Ingat. Para nabi dan orang-orang shaleh tidak menunggu mati untuk menjadi “makhluk langitan” seperti ini. Sejak di dunia mereka sudah mengolah diri menjadi makhluk surgawi. Sejak hidup sudah melakukan perjalanan “mikraj” ke martabat wujud yang lebih tinggi. Karena itulah, evolusi yang dilakukan secara sadar dan serius ini disebut “becoming”, proses “menjadi”.
Hukum-hukum dasar syariat sebenarnya menjadi “jembatan teoritis” untuk membawa manusia masuk ke jenjang tarikat (pengujian/metodologis). Manusia diharapkan bisa naik derajat, dari makhluk materi, ke mahkluk ruhani. Dari “basyar”, ke “insan”. Dari hewan, ke malaikat.
BACA: TUJUH LANGKAH MENJADI MISTIKUS
Pertanyaan selanjutnya, apakah manusia masih bisa berevolusi lebih tinggi dari wujud malaikat?
Tentu. Malaikat hanyalah “makhluk cahaya”. Tujuan manusia bukan menjadi malaikat. Tujuan manusia adalah untuk mengembalikan dirinya kepada Tuhan. “Innalilahi wa inna ilaihi raji’un”. Manusia berasal dari Allah. Melalui perjalanan spiritual secara serius, mereka dapat kembali menyatu (ahad), kekal (baqa’), berjumpa (liqa’), atau terkoneksi kembali (wushul) dengan esensi Allah. Melalui metodologi “iluminasi jiwa”, manusia bisa bermujahadah, sampai ruhnya bisa diterima dan lebur dalam Ruh Al-Ilahi.
Karenanya dikatakan, “derajat manusia bisa melampaui malaikat”. Manusia bisa berevolusi melawati selubung-selubung cahaya yang menutupinya. Manusia bisa naik tingkat lebih tinggi dari malaikat. Penjelasan ini dapat ditemukan pada drama perjalanan spiritual Muhammad. Ia bisa “naik” lebih tinggi ke sebuah maqam untuk sampai ke sisi Allah, yang malaikat Jibril sekalipun tidak bisa masuk kesana.
Artinya, pada level ini, “pangkat” Muhammad sudah melampaui Jibril. Muhammad telah menjadi wujud spiritual murni. Telah hilang kesadaran materialnya, sehingga menjadi “Ahmad tanpa Mim”, “Arab tanpa ‘Ain”. Muhammad telah menjadi “tajalli” (Nur, Citra atau Prototipe) dari Yang Maha Tinggi. Yang setiap kata-katanya adalah hadis dan wahyu. Yang setiap geraknya adalah pancaran dari yang Maha Suci. Dia secara lahiriah adalah manusia biasa, tapi secara ruhaniah bukan dirinya lagi. Dia adalah Logos, Kalam Ilahi.
Ketika sejak hidup seseorang telah mampu meleburkan jiwanya dalam dimensi Rabbani, mereka sebenarnya sudah “abadi”. Tidak akan mati lagi. Sehingga dikatakan, “Dan jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang mati di jalan Allah itu mati; sebenarnya mereka itu hidup di sisi Tuhannya mendapat rezeki” (QS. Aali Imran: 162). Mereka sudah bersama Yang Maha Hidup. Ruhnya sudah Maha Hidup, dan diberi izin untuk membagi-bagi rejeki (mensyafaati). “Tidak ada yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya tanpa izin-Nya” (QS. Al-Baqarah: 225).
“Ilmu spiritual” (sufisme) adalah ilmu silaturahmi. Ilmu ini mengajarkan kita cara menyambungkan diri dengan segala wujud ruhani yang suci. Dengan ruhani para wali, dengan ruhani para Nabi. Untuk menyambungkan diri dengan ruhani yang lebih tinggi lagi suci, seseorang harus terlebih dahulu menempuh jalan penyucian diri. Ketika sudah berada pada kadar kesucian tertentu, barulah Allah bisa menerima ruhani kita.
Ilmu ruhani, atau ilmu silaturahmi, juga disebut ilmu “ziarah”. Ziarah dalam bahasa Aceh juga disebut “jiarat” atau “jeurat”. Ziarah adalah pekerjaan mengunjungi nabi, para wali dan segala Ruhani yang suci. Spiritualitas adalah pekerjaan sadar untuk menyambungkan diri dengan unsur-unsur gaib yang Maha Hidup ini. Transformasi Ruhani hanya akan dicapai ketika kita mendapat “celupan” (sibghah) dan bertalian jiwa dengan setiap Ruh Suci (arwahul muqaddasah Rasulullah). Apakah dengan ruh suci sang Nabi sendiri saat ia masih hidup, ataupun dengan Ruh Suci yang telah diwariskan kepada para penerusnya.
Karena itu, proses kembali kepada Allah mengikuti hukum-hukum “ikhtiyari”. Ini merupakan bagian dari sifat Rahim-Nya. Harus diperjuangkan. Kita hanya bisa kembali kepadanya melalui usaha serta pertolongan-Nya. Oleh sebab itu, proses evolusi manusia dari wujud “hewan berakal” ke “wujud malakut” dan seterusnya; harus melalui Pembimbing Ruhani. Manusia, pada level hewan berakal, bisa beragama secara individual. Bisa belajar sendiri, tanpa guru. Anda bisa gunakan potensi mandiri dari akal untuk sekedar memahami wujud konsep dari sesuatu.
Tapi, untuk mampu “naik” sampai ke sisi Tuhan, harus ada bimbingan seorang Wali, Ulil Amri, Mursyid, Al-Mahdi, Nabi, atau Rasul. Orang ini akan memperkenalkan kepada Anda terkait Hadap dan Hukum-Hukum Ilahi (syariat). Sekaligus secara bertahap, dari satu suluk ke suluk lainnya, akan dibaca (ditalqinkan) ayat-ayat ke dalam ruhani, agar si murid menjadi suci. “Sesungguhnya Allah telah memberi karunia kepada orang-orang beriman ketika Allah mengutus seorang Rasul di tengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri; yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan jiwa mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah, meskipun sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata” (QS. Ali Imran: 164). Kesucian inilah yang dapat membawa spiritual seseorang naik. Dari wujud jabarut (material/kebinatangan), ke wujud malakut (malaikat), sampai ke level kesadaran wujud Rabbani (Ilahi).
Pada level terakhir ini, seorang mistikus akan kehilangan kesadaran materialitas dirinya. Kemanapun memandang, ke luar atau ke dalam diri, semuanya hanya ada Wajah Allah. “Maka kemanapun engkau memandang, disanalah Wajah Allah” (QS. Al-Baqarah: 115). Pada level hakiki, semua eksistensi lahiriah akan terlihat “fana” (mukminul wujud). Dibalik semua itulah terdapat wajah-Nya. “Semua yang ada di bumi itu fana. Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan” (QS. Ar-Rahman: 26-28).
BACA: “HUSHULI DAN HUDHURI, DUA TEKNIK BERPIKIR DALAM PEROLEHAN PENGETAHUAN”
Kesimpulan
Manusia “mati”, sekaligus “hidup” berkali-kali. Manusia terus berevolusi, dari satu wujud ke wujud lainnya. Secara “alami” akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan; dari wujud dan jiwa mineral, menjadi nabati, hewani, dan kemudian manusiawi (jiwa berakal). Selanjutnya, jika mereka bersedia menempuh jalan para nabi, maka lewat “ikhtiyar”, manusia bisa mengalami transformasi lebih lanjut sampai menjelma dalam jiwa malaikat. Bahkan lebih tinggi lagi, manusia bisa fana dalam wujud Tuhannya. Yang terakhir ini agak sensitif untuk dibahas. Karena harus meminjam konsep-konsep sufistik tentang “transformasi wujud”, yang susah dipahami awam. Sebagaimana dikatakan Rumi: “menjelma menjadi sesuatu yang tak terpahami“.
Wujud mineral manusia pun pada hakikatnya bukanlah materi murni. Melainkan juga berasal dari Allah. Tentang ini dapat dibaca pada kajian sebelumnya “Min Sulalatin min Tin: Adam Tercipta dari Tanah, Tanah Tercipta dari Apa?”. Jadi, benar seperti disebutkan dalam Quran, juga seperti digambarkan Rumi, secara atomik dan spiritual, evolusi manusia memang berasal dan menuju Allah.
BACA: “MIN SULALATIN MIN TIN”: ADAM TERCIPTA DARI TANAH, TANAH TERCIPTA DARI APA?
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.
#powered by SUFIMUDA
___________________
FOLLOW US:
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok: tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter: twitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2
Terima kasih.
Subhanallah