Jurnal Suficademic | Artikel No.79 | Juli 2023
“OTOT, OTAK DAN RUHANI”: AKUMULASI KEKAYAAN DAN PENDISTRIBUSIANNYA
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Tingkat pendapatan seseorang sangat ditentukan oleh tiga kapasitas sumberdaya atau kecerdasan yang ia miliki: otot, otak dan ruhani.
Pertama, “Kecerdasan Otot”
Gaji terendah dimiliki oleh orang-orang yang bekerja dengan otot. Pada level ini ada sejumlah pekerja dalam kategori staf, tukang, buruh, atau pekerja harian lainnya yang mengandalkan fisik dalam bekerja. Mereka ini menempati level terbawah dari struktur manajerial ketenagakerjaan. Fungsinya penting sekali, sebagai pekerja teknis (eksekutor). Tapi, aktifitas fisikal mereka cenderung dihargai dengan upah yang rendah. Capek memang. Tapi dibayar murah. Karena tenaga kerja yang mengandalkan “otot” mudah diperoleh. Itulah harga dari “materi” (fisik).
Memang ada olah ragawan, yang mencari uang dengan mengandalkan fisik. Tapi dibayar mahal. Itu pengecualian. Sebenarnya, para atlit dibayar bukan murni karena faktor fisik. Melainkan apresiasi terhadap latihan yang secara intensi ia lakukan. Termasuk kelas perlombaan yang ia ikuti. Ada nilai prestise yang dibayar disini. Tidak jarang, untuk mencapai kecerdasan otot yang tinggi, ia juga harus memeras otaknya.
Namun, sering kita lihat, banyak atlet yang terabaikan begitu kekuatan fisiknya hilang. Apakah karena menua atau cacat, mereka langsung miskin. Sebab, ia tidak punya kecerdasan lain dalam menggali pendapatan. Hidupnya tergantung pada otot.
Kedua, “Kecerdasan Otak”
Kelompok ini menempati level menengah dari perolehan pendapatan dalam struktur manajerial ketenagakerjaan. Gajinya lebih tinggi dari kelas pekerja. Mereka dianggap kelompok yang sudah berakal. Akal (otak) dibayar lebih mahal dari materi (otot). Tergantung kapasitas “otak” mereka dalam memikirkan kemajuan perusahaan/organisasi. Disini ada namanya kepala seksi, kepala bagian, manajer, sampai ke level pimpinan.
Yang namanya “kepala”, itu sudah dianggap mewakili kelompok jabatan yang menggunakan akal pikiran. Kerjanya tidak lagi teknis dan administratif. Tapi sudah berbentuk fungsi-fungsi manajerial yang lebih tinggi. Seperti merencanakan, mengorganisir, mengarahkan, sampai kepada mengawasi.
Pada posisi pimpinan, otak harus diperas lebih kuat lagi. Sebab, merekalah yang bertanggungjawab atas untung dan ruginya perusahaan secara keseluruhan. Karena itu, mereka bekerja dalam kapasitas intelektual yang tinggi untuk menyusun visi, misi, struktur organisasi, nilai-nilai, sampai kepada strategi dan evaluasi pencapaian hasil. Kegagalan organisasi, itu kegagalan pimpinan, yang tidak bisa mengelola bawahan.
Untuk itulah seseorang dibayar sangat mahal. Nilai “otak” memang dianggap lebih tinggi. Sebab, otaklah yang mengatur bagaimana, kemana dan seperti apa fisik harus bekerja. Pekerja fisik (buruh) diatur oleh otak para mandor atau pegawai lainnya yang bertugas mengarahkan mereka.
Atas dasar ini, seorang profesor lebih tinggi pendapatannya. Gelar itu dianggap sebagai “pangkat otak” tertinggi dalam dunia akademik. Mereka dianggap paling cerdas. Paling banyak berkarya dan menulis. Walau kenyataannya, Anda akan kesusahan untuk mengetahui apa sebenarnya isi pikiran mereka. Konon lagi dampak sosialnya. Tulisan-tulisan mereka tersembunyi disebuah tempat yang mungkin susah diakses oleh orang. Memang itu salah satu bentuk keanehan-keanehan yang ada di dunia ini. Kalau dalam dunia spiritual, itu ada wali yang “tersembunyi”. Di kampus juga begitu, ada profesor yang “menyendiri”.
Ketiga, “Kecerdasan Ruhani”
Apakah ada orang yang dibayar lebih tinggi dari para pekerja yang menggunakan “otak”? Ada. Bahkan nanti akan kami paparkan, bagaimana seluruh harta umat punya potensi untuk “berkumpul” di tangan mereka.
Orang yang paling tinggi bayarannya adalah para ruhaniawan. Dalam hal ini, pada posisi tertinggi, ditempati para nabi/rasul. Mereka juga bekerja dengan otot dan otak. Tapi lebih cenderung memaksimalkan kecerdasan ruhani.
Makna “kecerdasan ruhani” adalah, ruhani mereka Ruhullah. Ada Nur Muqaddasah dalam dirinya. Kecerdasan mereka merupakan pancaran kecerdasan Tuhan. Apa yang mereka pikirkan dan lakukan, itu hakikatnya adalah kehendak Tuhan. Karenanya, baik segala sesuatu yang setiap hari keluar dari lisan dan perbuatan mereka, dianggap ilham/wahyu. Nilainya sakral. Kebenarannya mutlak. Level perintah dan kepatuhan terhadap mereka sangat tinggi.
Karenanya, kira-kira, berapa gaji perbulan yang cocok untuk orang-orang seperti ini? 10 juta? 100 juta? 1 milyar, atau berapa?
Kenyataannya, mereka tidak menerima gaji dari manusia. Mereka menerima “upah” hanya dari Tuhannya. “Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam” (QS. Asy-Syu’ara: 109). Bahkan, sebenarnya, mereka “atas nama Tuhan”, merupakan pemilik dunia beserta seluruh isinya. Mereka utusan Tuhan. Kepemilikan Tuhan adalah sinonim dengan kepemilikan mereka.
Sehingga, dalam sejumlah ayat dikatakan, ada hak Allah dan Rasulnya dalam harta manusia. “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik” (QS. at-Taubah: 24).
Sebuah hadis lainnya juga mengingatkan, “Tidak beriman salah seorang di antara kalian sehingga aku lebih dia cintai daripada bapaknya, anaknya, dan seluruh manusia” (HR. Bukhari). Ketika kecintaan kepada anggota keluarga diwujudkan lewat memberi, kepada Nabi seharusnya juga begitu. Shalawat tidak selalu lewat lisan. Lebih afdhal dengan memberi.
Karenanya wajar, jika para sahabat berlomba-lomba menyerahkan hartanya kepada Nabi. Bahkan sampai ada yang miskin gara-gara itu. Walaupun juga ada yang semakin kaya karena infak dan sedekahnya kepada Nabi. Karena sadar betul siapa Muhammad SAW, maka Sayyidah Khatijah pun tidak sungkan-sungkan menyerahkan semua asetnya untuk Muhammad SAW. Biasanya, istrilah yang minta jatah aset dari suami. Iya, tentu saja boleh. Kalau suaminya orang biasa.
Meskipun menerima titipan aset yang banyak dari umatnya, juga dari rampasan perang dan sebagainya; tetap saja Nabi itu orang “sederhana”. Tidak punya penyakit sosialita. Tidak pernah terlihat ia mengupdate status kemewahannya di medsos Arab kala itu. Walau punya banyak uang dan emas, sebagai penguasa tentu ia menguasai itu semua; tapi ia justru rutin berpuasa.
Bisa saja dengan semua kepemilikan itu, ia bergaya seperti Nabi Sulaiman dengan kebesaran istana dan singgasananya. Tapi ia dengan petunjuk Tuhan memilih gaya berbeda, sesuai realitas dan kebutuhan sosial masyarakatnya. Sebagai seorang “utusan Tuhan”, ia menjadi tempat bagi umat untuk mereka memberi kepada Tuhan. Ia adalah perpanjangan tangan Tuhan.
Ketika manusia ingin memberikan hak Allah, kalau tau dimana Allah, tentu akan disalurkan langsung kepada Allah. Kenyataannya, kita tidak tau dimana Allah. Maka, cara termudah adalah menyalurkannya kepada orang-orang yang dekat dengan Allah (Rasulullah). Anda harus percaya kepada mereka. Merekalah yang akan menyalurkan harta itu, sesuai arahan Allah. Apakah kepada fakir miskin, anak yatim, ibnu sabil dan lain sebagainya.
Dunia terus berkembang. Ada yang percaya bahwa pelanjut Nabi masih ada. Sehingga hak-hak, insentif atau “upah” dari Allah untuk mereka masih ada, sebagai bentuk penghormatan terhadap hak-hak Rasul, Keluarga dan Waris lainnya. Kalau ingin berhubungan dengan Nabi, dengan Allah, maka dinasehati untuk berhubungan akrab dengan mereka. Mereka adalah “moderating variabel” dalam berhubungan dengan Allah. Beramal shaleh kepada mereka menjadi penguat hubungan dengan Allah. Mereka biasanya tidak ragu-ragu untuk menyalurkan hartanya kepada orang yang dianggapnya “terpuji” (suci).
BACA: “RELIGIOUS NETWORKING”, BERAGAMA LEWAT JALUR KHUSUS; NUR (MUHAMMAD): “VARIABEL MEDIATOR” DALAM BERMAKRIFAT
Para pemimpin spiritual ini menerima harta yang banyak sekali dari umat. Harta ini biasanya digunakan oleh orang-orang suci ini kepada jalan dakwah, sesuai “arahan” Allah. Mereka bisa “mensucikan” harta, lalu menyalurkannya kepada yang berhak oleh para petugasnya. Yang disebut “zakat”, itu sebenarnya proses penyucian harta. Itupun kalau diserahkan kepada orang yang punya kemampuan melakukan “tadzkiyatun nafs” pada unsur harta. Kita ragu, apakah para kiyai dan ustadz yang menerima zakat kita sekarang punya kemampuan untuk itu.
Menerima harta orang mudah saja. Lalu tinggal bagikan. Apa susahnya. Masalahnya, bisakah Anda mensucikan jiwa para pemberinya sehingga menjadi mereka menjadi “fitrah”. Sebab, tugas “mensucikan”, itu wilayah kerja Rasul atau ahli warisnya (QS. Aali Imran: 164, QS. Jumu’ah: 2); bukan wilayah keahlian Baitul Mal, lembaga Amil Zakat dan filantropi umumnya. Kecuali, para profesional ini memiliki kemampuan spiritual pada level itu. Jika tidak, hati-hati mengurus harta Tuhan.
Begitu mudahnya memperoleh harta, kalau seseorang menjadi “suci”. Dalam zakat misalnya, itu ada hak mereka sebagai “amil”. Meskipun Nabi, para dzuriyat dan wali-walinya tidak makan zakat dan sedekah. Bahkan diharamkan untuk itu. Untuk menunjukkan bahwa mereka tidak rakus. Bahkan banyak dari mereka yang jadi pedagang, berusaha kaya secara mandiri sebagaimana layaknya manusia biasa. Dakwah mereka bukan “asset oriented”.
Namun, umat juga gemar memberikan hadiah dan berbagai persembahan lainnya (i.e., Khumus). Ini sebagai bentuk amal saleh, kebaikan, permohonan ampun, rasa syukur, cinta dan kasih sayang kepada Allah melalui tangan mereka. “Katakanlah (Muhammad), “Aku tidak meminta kepadamu suatu imbalan pun atas seruanku, kecuali kasih sayang dalam Keluargaku.” Siapa mengerjakan kebaikan, akan Kami tambahkan kebaikan baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri (QS. Asy-Syūrā: 23).
Pemberian kepada para Ahlullah ini juga sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. “Katakanlah (Muhammad), “Aku tidak meminta imbalan apa pun dari kamu (dalam menyampaikan risalah itu), kecuali (mengharapkan agar) orang mau mengambil jalan kepada Tuhannya” (QS. Al-Furqān: 57).
Prestise ini terkadang ditiru oleh para agamawan atau mursyid palsu. Mereka mengaku “wakil Tuhan” untuk mengumpulkan kekayaan. Dunia kekristenan pernah menjadi sasaran kritik dan revolusi besar-besaran, ketika gereja dan para pendetanya memainkan kesempatan ini. Sama dengan Islam, penebusan dosa perlu persembahan (sedekah jariyah dan lainnya). Mereka memanfaatkan itu. Sejak era renaisance, warga Eropa ramai-ramai meninggalkan agama. Bahkan tidak lagi percaya kepada adanya Tuhan.
Dalam dunia moderen, kelangkaan sosok “waris” Nabi, para imam atau walimursyid, menyebabkan hadirnya lembaga-lembaga pengumpulan harta umat. Orang cenderung tidak percaya lagi kepada sosok spiritual. Saking banyaknya penipuan. Tata kelola moderen terlihat lebih percaya kepada kelembagaan amal tertentu. Walau unsur penipuan, pengelabuan, dan korupsi juga besar. Beberapa kali terungkap bagaimana dana itu diselewengkan. Bahkan untuk mendanai terorisme.
Banyak korupsi justru terjadi di lembaga keagamaan, termasuk pemerintahan. Pemerintah itu mudah mengumpulkan uang dari rakyatnya. Lewat pajak dan sebagainya. Karenanya banyak yang berlomba untuk duduk sebagai pegawai disana. Lahannya basah. Banyak proyek dan fee. Apalagi dengan posisi, tunjangan dan biaya operasi yang tinggi. Silap sedikit, bisa cepat kaya kita. Dengan memakai berbagai model kecurangan “otak”, APBD mudah dipermainkan. Paling tidak seperti itulah yang terlihat sekarang di Republik kita.
Pada masa awal keislaman, jabatan spiritual dan jabatan politik, masih menyatu di tangan Nabi. Harta dikelola langsung oleh Nabi, sebagai orang suci yang mampu menyucikan harta dan jiwa manusia. Periode kemudian, dua jabatan ini terpisah. Orang suci “terpinggirkan” dari kekuasaan. Negara di pimpin para penguasa politik, bahkan banyak yang dhalim. Mereka juga merasa bertugas sebagai pengumpul harta yang otoritatif, untuk membiayai perang dan kekuasaan.
Karena itu, dalam dunia Islam masih ditemukan, ada yang menyalurkan zakatnya langsung ke tangan orang-orang yang secara spiritual dianggap amanah. Ada juga yang lebih percaya secara kelembagaan kepada pemerintah. Beberapa lembaga sosial juga ikut bekerja membantu perbaikan kehidupan kelas marginal, melalui berbagai bantuan. Ujungnya hanya persoalan “trust”. Siapa diantara mereka yang mampu membawa harta itu sampai kepada Tuhan, bukan an sich kepada orang penerima. Intinya, para pengumpul dan pendistribusi harta, spiritualnya harus kuat. Jika tidak, harta itu akan memakannya.
Kesimpulan
Untuk menjadi kaya, ada tiga cara. Memakai otot, otak dan ruhani. Masing-masing ada kelebihan dan kekurangannya. Kaya memakai otot, itu prosesnya lama. Tapi, kabar baiknya, siapapun bisa mencari uang, tanpa harus punya otak. Sementara, kaya dengan otak, itu kelihatannya lebih menggiurkan. Tapi Anda harus sekolah untuk memperoleh ijazah pengakuan bahwa anda punya “otak”. Selebihnya harus giat mengasah “sense” bisnis secara mandiri.
Kaya dengan spiritual, itu wilayah “sakral”. Apalagi harus menjadi sekelas wali (nabi) yang bertugas menerima dan mensucikan harta manusia. Jangan menghayal untuk sampai kesana. Itu hak prerogratif Tuhan, siapa yang diam-diam diutus sebagai Pj-Nya di muka bumi.
Tapi, paling tidak, kita semua bisa belajar untuk pada qadar tertentu bisa dekat dengan Allah (walaupun tidak sedekat nabi/wali), sehingga dimudahkan rejeki dari arah tidak terduga. “..Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya.. (QS. At-Thalaq: 2-3).
Rejeki itu sendiri sebenarnya punya dua bentuk. Bentuk “material” dan bentuk “spiritual”. Uang yang ada di tangan kita, itu wujud fisik dari harta. Wujudnya dalam bentuk spiritual, itu ada di alam “metafisika” (di alam mitsal dan alam pola dasar ruhani). Semua wujud kasat (hardcopy) dari harta yang ada di tangan kita, itu adalah hasil cetakan dari wujud “softcopy” harta di alam Tuhan.
Karenanya, siapa yang bisa naik ke alam Ruhani lewat zikir dan doa-doa guna membangun wujud visual dari harta, ia bisa membawa pulang hasilnya dalam bentuk cetakan lebih maksimal. Itulah alasan kenapa para nabi dan guru-guru spiritual bisa “kaya raya”, dalam kesederhanaannya. Mereka sangat bertakwa, bertawakal; dan di alam “visual” sana begitu dekat dengan Allah.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.
#powered by SUFIMUDA
___________________
FOLLOW US:
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok: tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter: twitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2