Jurnal Suficademic | Artikel No. 94 | September 2023
AGAMA, TRAMADOL DAN USAHA MENEMUKAN BAHAGIA
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Bahagia itu misterius, tidak mudah di dapat. Karenanya, cara memperolehnya juga beragam. Ada yang menempuh jalan spiritual. Ada juga yang instan dengan pendekatan hedonistik-material.
***
Kenapa bahwa bahagia itu “misterius”?
Sebab, sudah kaya sekalipun, belum tentu seseorang akan bahagia. Apalagi miskin. Orang pikir, kalau sudah kaya langsung bahagia. Ternyata, tidak seperti itu. Justru banyak yang semakin was-was. Ada artis yang kaya raya, berakhir tragis dengan overdosis pil. Pejabat juga begitu. Anggota DPR misalnya, ada yang tertangkap karena kasus narkoba. Padahal hidupnya sudah difasilitasi negara.
Bahagia adalah “rasa”. Sesuatu yang muncul pada sisi spiritual. Betapapun banyak makanan yang di isi ke perut, tidak akan membuat kita bahagia. Iya, mungkin akan puas sejenak, saat kenyang. Setelah itu was-was lagi.
Betapapun banyak isi rekening bank, kita tidak akan langsung bahagia. Mungkin kita akan puas sejenak dengan banyaknya uang. Karena merasa segala keinginan bisa terbeli. Setelah itu, hidup akan was-was lagi. Sebab, bahagia adalah kebutuhan intrinsik dari jiwa, yang tidak serta merta ada dalam nilai uang.
***
Bahagia adalah spiritualitas. Bukan materialitas. Bahagia adalah sesuatu yang mengisi jiwa. Bukan yang mengisi kulit dan tulang. Bahagia bukan make-up yang menghiasi muka. Melainkan wujud dari wajah batiniah.
Kaya ataupun miskin, Anda bisa bahagia. Berpangkat atau tidak, seseorang bisa bahagia. Sejauh semua capaian itu bisa mengisi jiwa. Dan sesuatu yang dapat membuat seseorang bahagia secara hakiki, adalah Tuhan itu sendiri. Semua ini sering kita rangkum dalam kata “syukur”; atau hati yang melimpah. Kalau Tuhan bisa dihadirkan untuk mengisi jiwa, seseorang akan menemukan bahagia.
Hidup di dunia ini memang susah. Semua orang punya masalah. Bahkan sampai ada yang ragu, bahwa bahagia itu tidak pernah ada. Kenyataannya, bahagia itu memang hanya ada pada dimensi “akhirat”. Tidak ada pada sisi “duniawi”.
Maknanya begini. Yang disebut “akhirat” adalah, segala unsur yang ada Allah di dalamnya. Sebaliknya, setiap sesuatu yang tidak ada Allah di dalamnya, itulah “dunia”. Banyak uang, tapi penuh rasa syukur, itu dimensinya akhirat. Pun kalau menghadapi banyak tantangan, tapi dijalani secara ikhlas, itu dimensinya juga akhirat. Pasti bahagia. Jihad sekalipun, walau taruhannya mati, juga disebut sebagai puncak bahagia. Karena itu dimensinya akhirat. Sebab ada kepastian pertemuan dengan Tuhannya.
Sebaliknya; shalat, puasa, haji dan sebagainya; bisa jadi penuh unsur duniawi dan tidak memberi bahagia. Kalau tidak hadir Tuhannya. Semua ibadah menjadi beban bagi pelakunya. Jika tidak ada unsur kehadiran hati.
Jadi, bahagia adalah bentuk “kehadiran Tuhan” dalam segala sisi kehidupan. Ketika Tuhan bisa dihadirkan, maka kehidupan naik ke level “ukhrawi”. Bukan lagi “duniawi”. Semakin lebur (fana) seseorang dalam rasa akan kehadiran Tuhan, semakin lama bahagia itu menetap. Ada orang yang bahkan sudah terlatih dalam bentuk kesadaran abadi akan kehadiran Tuhan. Orang seperti akan merasakan bahagia secara terus menerus (baqa).
Makanya, agama, pada latihan paling dasar mengajari kita cara mengucapkan “bismillah” dalam memulai segala sesuatu. Tujuannya, agar hilang sisi “duniawi” dari apa yang dilakukan. Sisi dunia adalah sisi hidup yang penuh beban. Penuh setan. Sesuatu yang berat untuk dijalani dan akan melahirkan was-was berkepanjangan. Hidup tanpa Tuhan akan seperti itu. Mengarah ke “nihilisme”.
Walaupun kenyataannya, tidak mudah menghadirkan Allah. Bisa saja kita selalu mengucap basmallah saat memulai sesuatu. Tapi terkadang sifat bacaannya sangat lahiriah. Hanya statemen lisan, tanpa rasa hudhur di qalbu. Kosong. Tidak ada vibrasi ruh saat membacakan asma-asma itu.
Tidak mudah menghadirkan Allah. Kalau sekedar dengan membaca bismillah, Allah langsung hadir; mungkin semua orang Islam sudah bahagia. Tidak perlu lagi menghisap ganja dan mengkonsumsi narkotika. Kenyataannya tidak. Butuh latihan dan metodologi khusus untuk dapat menghadirkan Allah dalam diri. Para nabi adalah orang yang paling ahli dalam hal ini. Sehingga, mereka bisa hidup bahagia dalam aneka cobaan yang hadapi.
***
Karena bahagia (kehadiran Tuhan) susah diperoleh, orang kemudian mencari bahagia dengan cara-cara instan. Salah satunya dengan minum pil Tramadol. Obat jenis opioid, yang tidak dijual bebas. Harus dengan resep dokter. Mungkin hidup kita sudah terlalu “nyeri”. Beban terlalu berat. Kita ketakutan dengan bayangan sendiri. Sehingga butuh obat untuk meredakan itu. Butuh rangsangan obat untuk menjadi berani.
Baik orang kaya atau miskin, kalau tidak menemukan Tuhan, hidupnya pasti berat sekali. Mereka tidak tau kemana beban itu harus disalurkan. Lama-lama jadi gelisah dan was-was. Ketakutan. “Alladzi yuwas wisufi shudurinnas” (QS. An-Nas: 5). Semua yang kita kerjakan, semua yang kita miliki, kalau tidak mendatangkan Tuhan; pasti mendatangkan setan. Kalau sudah bersetan, hidup tidak akan pernah tenang. Walaupun kita banyak kawan. Banyak harta. Bahkan punya jabatan. Tetap saja susah. Batinnya terganggu.
Akhirnya, solusi cepat agar hidup jadi rileks adalah “Tramadol”. Ini menjadi peluang bisnis bagi mafia tertentu. Tentu dengan memanfaatkan masyarakat yang lemah secara ekonomi. Meninggalnya warga Bireuen, Imam Masykur (semoga Allah rahmati dan ampuni saudara kita ini) di tangan 3 oknum TNI pada medio Agustus 2023, mulai membongkar rahasia umum tentang kejahatan yang terorganisir ini.
Ternyata, ada mafia yang bekerja untuk menawarkan obat penghilang nyeri secara ilegal, agar orang-orang bisa percaya diri, tenang dan bahagia. Di zaman moderen ini banyak sekali orang yang butuh “obat” untuk menghadapi hidup. Apakah karena tekanan ekonomi, rumah tangga yang berantakan, faktor pergaulan dan sebagainya.
***
Adalah Sayed Muhammad Muliady, dikenal #BangSayed, yang awalnya menyentil adanya jaringan mafia ini, lewat tulisannya di harian Serambi Indonesia. Pertama, “Mafia Tramadol dan Nama Baik Aceh” (28/08/2023). Kedua, “Bang Sayed Minta Panglima TNI dan Kapolri Tangkap Mafia Tramadol” (30/08/2023). Bahwa Imam Masykur adalah korban dari kejahatan para mafia. Banyak warga Aceh lainnya, karena faktor ekonomi, juga terindikasi terjebak dalam jaringan bisnis Tramadol.
Pernyataan Bang Sayed jelas mengganggu kenyamanan para mafia ini. Kemudian, ia diserang balik oleh para buzzer yang diduga di sewa para mafia. Sebab, apa yang telah disampaikan Bang Sayed, bisa menjadi awal dari terbongkarnya jaringan ini, kalau pihak penegak hukum serius menanganinya.
Karena mengganggu “dapur” mafia, kredibilitas Bang Sayed coba dihancurkan lewat Medsos. Lewat bahasa nyinyir, ia diserang balik. Bang Sayed pun, yang merupakan salah satu kontestan DPD-RI dari Aceh pada 2024, menantang kembali para buzzer mafia ini, “Fitnah Buzzer dan Serangan Balik Mafia Tramadol” (01/09/2023). Dalam beberapa tahun belakangan, tokoh muda Aceh ini mulai giat mengkampanyekan bahaya narkoba bagi generasi muda, khususnya di Aceh. Memang tidak mudah memberantas jaringan ini.
***
Begitulah, susah menemukan rasa berani dan bahagia lewat latihan-latihan “spiritual”. Akhirnya, orang-orang mencari bahagia dan percaya diri secara “empirikal”. Dengan minum pil, dalam hitungan menit, jiwanya sudah ekstatik dan terbang ke langit.
Tubuh manusia itu sebenarnya ajaib. It has the ability to heal it self. Tubuh manusia punya kemampuan menyembuhkan dirinya sendiri. Tanpa perlu rumah sakit dan obat-obat kimia. Kita memang butuh rumah sakit dan obat, untuk kasus-kasus kecelakaan misalnya. Sementara, untuk penyakit biasa lainnya, tubuh punya “kecerdasan” untuk memperbaiki dirinya. Tapi, mafia farmasi telah mencuci otak kita, bahwa semua harus diselesaikan lewat obat. Padahal, efek sampingnya banyak sekali.
Tubuh kita juga punya kecerdasan untuk melahirkan “hormon bahagia”. Metode zikir yang dilakukan dengan kaifiyat (tata cara tertentu), yang dilakukan pada waktu dan jangka waktu tertentu, sebenarnya juga menjadi mekanisme alamiah untuk mengaktivasi hormon endorphin. Secara empiris telah dibuktikan. Sudah banyak penelitian ilmiah terkait itu. Karena itulah, Adz-Zikir (Quran) disebut “obat” (syifa).
Zikir dapat mengaktivasi gelombang kesadaran pada level lebih halus. Orang-orang yang hidupnya tertekan dan was-was, gelombang otaknya ada di bentuk destruktif dari “Beta”. Zikir bisa membawa gelombang ini masuk ke level “Alfa” (relaksasi alami). Bahkan sampai ke Theta dan Delta, dimana otak menjadi “tertidur”, sehingga sel bisa bekerja untuk menyembuhkan dirinya.
Uniknya, zikir yang dibimbing secara benar, bisa membawa kesadaran manusia ke level “Gamma” (enlightened). Lewat bantuan gelombang Ruhani tertentu, kesadaran ini bisa disambungkan dengan Allah. Disinilah terjadi kontak dan perjumpaan dengan Allah (liqa’, ruju’, atau wushul). Pada level ini seseorang akan terbuka mata “bashirah”-nya, sehingga mengalami musyahadah (spiritually ecstatic/trance). Bahagianya luar biasa. Tak ada yang lebih bahagia, selain bisa berjumpa dengan-Nya (QS. Al-Isra: 110).
Sayangnya, tidak semua orang memahami “The Power of Zikir”. Sebagian agamawan yang tidak mengerti ini justru melihatnya secara curiga. Sehingga kelompok zikir diawasi. Aktifitas jamaah tariqah dipantau. Terkadang, lewat fitnah orang-orang bodoh tertentu, bisa keluar selembar fatwa sesat terhadap komunitas sufi. Mereka tidak memahami tradisi khas para nabi dalam menempuh “jalan sunyi” untuk mencapai kesucian diri. Karena kebodohan kita, bentuk-bentuk khilafiyah dalam agama membuat kita saling menyesatkan. Sementara, bahaya narkoba, tanpa khilafiyah sedikitpun, sudah nyata di depan mata. Kenapa bukan ini yang kita perangi sama-sama.
***
Sebenarnya, ada dua cara agama memproteksi manusia dari kerusakan. Pertama, “menakut-nakuti” pemeluknya dengan dalil halal-haram, surga dan neraka. Syariah cenderung mengambil posisi ini. Maqashid syariah kental dengan doktrin-doktrin semacam ini. Manusia pada awalnya akan patuh (berislam) karena takut pada ancaman, atau tergiur pahala. Jadi, syariah itu efektif sebagai pola awal dalam beragama. Manusia perlu diberitau hukum-hukum.
Tapi, agama tidak boleh terhenti di doktrin. Anak-anak memang takut pada ancaman. Tapi, orang tua tidak lagi. Makanya kita lihat, para pelaku kejahatan juga banyak dari kalangan agamis dewasa. Pernah menempuh pendidikan agama. Mereka tidak lagi takut dengan doktrin. Tidak jarang, yang mengkonsumsi narkoba, itu mengerti dalil agama. Bukan tidak ada agama. Ada. Tapi agama dalam bentuk doktrin.
Agama dalam bentuk doktrin tidak lagi memuaskan orang dewasa. Mereka butuh bukti. Bukti inilah yang bisa memuaskan dan membahagiakan. Kalau waktu kecil didoktrin tentang Tuhan, saat dewasa, jiwanya memberontak. Ingin tau, yang mana dan bagaimana cara menemui Tuhan.
Karena agama tidak bisa menghadirkan bukti, akibat penuh teori, sebagian orang kemudian mencari kebahagiaan dengan caranya sendiri. Mengkonsumsi narkoba. Jelas sekali, setelah butiran itu ditelan, terbukti, tidak lama kemudian jiwanya langsung ‘bahagia’. Narkoba terbukti bisa memberi rasa bahagia. Agama bagaimana?
Agama justru mulai sering dihadirkan untuk mengkafirkan lawan politik dan menakut-nakuti jamaahnya. Orang-orang akhirnya lelah dengan agama. Cuma, mereka memilih diam saja. Sebagian justru memilih menjadi agnostik (ateis), akibat bosan dalam ‘dongeng’ keagamaan. Tuhan yang dihafalkan sejak kecil, yang katanya menjadi sumber kebahagiaan, tidak pernah bisa mereka konsumsi. Hanya murni teori.
Alhasil, Aceh pun yang terkenal sebagai “Serambi Mekkah”, darurat narkoba. Kok bisa daerah Syariat Islam marak dengan aktifitas jual beli obat terlarang. Kok warga kita banyak yang menjadi mafia narkoba sampai ke Jakarta dan Malaya?
Jawabannya, kita memang beragama. Hampir 100 persen Islam. Tapi tidak pernah sampai kepada Tuhan. Para pengkonsumsi narkoba menemukan, bahwa obat-obat itulah yang paling bisa membahagiakan mereka. Bukan Tuhan. Mereka tidak bisa menemukan Tuhan. Mereka tidak tau dimana harus “membeli” Tuhan. Mereka tidak tau, dimana bisa memperoleh Tuhan. Yang menjual “nama” Tuhan banyak. Tapi Tuhannya tidak ada. Agama sudah mereka miliki. Tapi Tuhan belum.
Itulah sebenarnya inti agama. Seorang ulama atau guru agama harus bisa membawa manusia untuk sampai kepada Tuhan. Sehingga umatnya bisa “merasakan” nikmatnya Dzat Tuhan. Ketika bisa merasakan itu, ia akan meninggalkan segala bentuk kenikmatan rendahan lainnya. Artinya, hanya Tuhan yang bisa memberikan kepuasan puncak bagi manusia. Bukan narkoba, dan obat-obat terlarang lainnya.
Kerena itu pula, kami pernah melihat, ada sejumlah pecandu narkoba, yang kemudian menjadi jijik dengan obat-obatan terlarang itu, setelah mereka mengenal dan bisa merasakan keindahan bersama Tuhannya. Terapi terbaik adalah dengan membawa manusia kepada Tuhannya. Mabuk dengan Tuhan, akan menyembuhkan para pecandu yang mabuk dan adiktif dengan narkoba.
Sebab, bahagia yang hakiki adalah, mabuk bersama Tuhan. Itu dosisnya sudah sangat tinggi.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.
#powered by SUFIMUDA
___________________
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok: tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter: twitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2
Terima kasih.