NABI MASIH “BEKERJA”

Bagikan:

Jurnal Suficademic | Artikel No.103 | Oktober 2023

NABI MASIH “BEKERJA”
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM. “Wahai Nabi, Kami mengutusmu untuk menjadi saksi, pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan” (QS. Al-Ahzab: 45).

يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ اِنَّآ اَرْسَلْنٰكَ شَاهِدًا وَّمُبَشِّرًا وَّنَذِيْرًاۙ

Dalam surah Al-Ahzab 45 ini, ada tiga fungsi diutusnya Nabi. Pertama, sebagai “saksi”. Kedua, sebagai “pembawa kabar gembira”. Ketiga, sebagai “pemberi peringatan”.

Pertanyaan, apakah ke tiga fungsi ini sudah selesai dijalankan Nabi (1400 tahun lalu di Arab sana)? Atau Beliau masih bekerja menjalankan misi itu sampai sekarang di seluruh dunia?

***

Ada dua jawaban untuk ini. Pertama, jika kita memahami Nabi sebagai entitas “materi” (makhluk basyar), maka tugas Beliau sudah selesai seiring wafatnya Beliau. Namun ada orang-orang yang meneruskan dakwah Beliau. Tapi, karena bukan Nabi lagi yang berdakwah secara langsung, fungsi ayat tersebut dianggap sudah selesai.

Kedua, jika kita memahami Nabi sebagai entitas “gaib” (Ruh Suci), maka Beliau belum pensiun. Misi itu masih berlangsung sampai kiamat. Nabi, dalam wujud ruhaniahnya, masih bekerja siang malam disepanjang zaman, untuk membimbing umat secara langsung.

Kaum sufi punya pandangan khas, bahwa yang disebut nabi adalah “wujud ruhani” yang tidak pernah mati. Karena itulah, percaya kepada nabi/rasul termasuk bagian dari rukun iman. Sebab, nabi/rasul memang “gaib”. Rukun iman itu perkara gaib semua.

Begini. Muhammad bin Abdillah adalah manusia biasa, tidak gaib. Sedangkan “Rasul” adalah divine entity (Cahaya Allah yang gaib) yang ada dalam diri Muhammad. Muhammad “bin Abdillah” memang sudah wafat. Tapi Muhammad “Rasulullah” itu abadi.

Muhammad itu manusia biasa. Tetapi, ketika entitas Ruh Quddus hadir dalam dirinya, ia berubah menjadi “Rasul”. Karena “Rasul” adalah Ruh atau Cahaya Allah yang Maha Suci, maka tentu keberadaannya tidak pernah mati. Sebagai Energi Ilahi, ia tentu maha hidup dan abadi. Ia terus hadir disepanjang zaman, dalam sosok berbeda.

Karenanya, dalam nada futuristik, kepada setiap generasi dikatakan: “Sungguh telah datang seorang Rasul dari kaummu sendiri..” (QS. At-Taubah: 110). Entitas “Rasul” terus diwarisi dari Satu generasi ke generasi selanjutnya. Kita tidak lagi mengatakan kepada para pewaris “Rasul” ini sebagai “nabi”. Melainkan sebagai “wali”. Kenabian sudah ditutup. Kewalian masih berlanjut.

Namun demikian, ada kemiripan fungsi. Para wali bertugas melanjutkan fungsi-fungsi kenabian, untuk menjaga kemurnian sekaligus menyalurkan entitas batiniah dari Quran. Mereka tentu bisa melanjutkan itu. Sebab, ada sanad pertalian “Ruhani” dengan sang Nabi. Karena itulah para imam/walimursyid (penguasa al-wilayah) punya silsilah ruhaniah yang bersambung dengan Nabi. Itulah sanad pewarisan “Ruh/Nur Muhammad” (entitas Ruhul Muqaddasah Rasulullah). Karena adanya Nur Muhammad dalam diri mereka, para wali memiliki otoritas yang sama dengan para nabi. Mereka melanjutkan tugas-tugas kenabian/kerasulan, untuk menjaga zaman, tapi dalam jabatan sebagai “wali”.

***

Jadi, Nabi/Rasul dalam makna “Ruhani”, itu wujudnya abadi. Sebab, “Nabi/Rasul” adalah esensi Ilahi yang memungkinkan untuk hadir dalam jiwa seseorang. Ketika esensi malakut ini “tanazzul” (turun/terpancar) dalam qalbu seseorang, maka ia menjadi “kasyaf” (menjadi “saksi”); sekaligus punya kemampuan untuk menjadi juru bicara Tuhan (menjadi pembawa “berita gembira” dan pemberi “peringatan”).

Muhammad bin Abdillah, atau siapapun para wali pewaris entitas suci ini, pasti punya kemampuan tersebut. Pasti!

Karena itulah, sampai sekarang, Nabi (Rasul) masih bertugas sebagai: (1) saksi, (2) pembawa berita gembira dan (3) pemberi peringatan. Namun, yang melakukan itu bukan lagi Nabi dalam sosok Muhammad bin Abdillah. Melainkan para pembaharu (mujaddid) dalam wujud para “wali”. Yang diperbaharui adalah rasa, pengalaman dan kebenaran absolut dalam beragama, sehingga kembali seperti aslinya. Kenabian syar’i sudah khatam. Tidak ada lagi “wahyu” yang turun untuk menyusun formula syariat. Tapi “ilham” masih terus diwahyukan kepada para wali untuk menjaga, memperbaharui dan meneruskan nilai-nilai kearifan (hikmah) dalam beragama.

BACA: “ABOVE THE LAW”: KEBIJAKSANAAN DALAM HUKUM ILAHI

Para wali, karena mewarisi Ruhani sang Nabi, maka juga “kasyaf” sebagaimana halnya para nabi. Kasyaf ini adalah kemampuan untuk melihat dengan “mata Allah” dan mendengar dengan “telinga Allah”. Sebenarnya bukan si wali ini yang melihat. Melainkan “Nurullah” yang ada dalam dirinya lah yang melihat. Makanya, para murid dalam dunia makrifat sangat hati-hati dalam bertingkah. Karena ia tau, ada “mata” yang selalu mengawasi.

Pun, karena adanya Nurullah dalam dirinya, mereka punya kontak laduniah dengan Allah. Oleh sebab itu, mereka bisa mengetahui berbagai “kabar baik” (berita gembira) yang turun dari sisi Allah. Sebaliknya, mereka setiap saat juga bisa merasakan, mendengar atau mengetahui berbagai “kabar buruk” (peringatan) yang disampaikan langsung dari sisi Allah.

Bagi para pengamal tasawuf yang ruhaninya dibimbing langsung oleh para wali, pasti akan tau tentang dua hal ini. Beberapa tokoh tasawuf seperti Imam Al-Ghazali, menyebutnya sebagai “muraqabah”. Yaitu salah satu kemampuan ruhani untuk menangkap berita gembira dan peringatan dari Allah.

Artinya, jika seorang murid telah tersambung sanad Ruhani dengan seorang wali atau Rasulullah, ia pasti akan kasyaf, serta bisa memperoleh “ilmu kehadiran” tentang berbagai kebaikan dan keburukan, langsung dari sisi Allah. Pada level inilah seorang murid dalam dunia tasawuf baru menyadari, bahwa Nabi/Rasul itu “Maha Hidup”. Ruhaninya maha meliputi dan hadir disepanjang zaman. Meskipun sudah terpisah 1400 tahun, ternyata tidak ada jarak antara mereka dengan (Ruh) Nabinya. Wujud (Ruhani) Nabi masih diutus sampai ke jaman sekarang, untuk menjadi saksi atas segala perbuatan kita. Juga sebagai pembawa berita gembira dan juga pemberi peringatan bagi kita yang secara ruhaniah bisa berkomunikasi dan merasakan kehadirannya.

***

Jadi, Ruh para wali mewarisi Ruhani Nabi. Sementara, Ruhani Nabi adalah Cahaya Allah. Maka, kalau ingin terkoneksi dengan Allah dan Rasulullah, bisa dilakukan dengan mengkoneksikan diri dengan ruhani para wali. Ruhani yang ada dalam diri orang-orang suci inilah yang disebut sebagai “wasilah”. Nabi dan juga wali adalah para pembawa wasilah cahaya ini. Sebagaimana dijelaskan kemudian dalam ayat lanjutan, yang juga menjelaskan fungsi nabi sebagai “pembawa cahaya” dan penyeru jiwa manusia kepada Allah:

وَّدَاعِيًا اِلَى اللّٰهِ بِاِذْنِهٖ وَسِرَاجًا مُّنِيْرًا

“Dan untuk menjadi pemanggil (jiwa manusia) kepada Allah dengan izin-Nya dan sebagai cahaya yang menerangi” (QS. Al-Ahzab: 46)

BACA: “NUR MUHAMMAD, VARIABEL MEDIATOR DALAM BERAGAMA”

Kalau dalam dunia riset, wasilah merupakan “variabel mediator” untuk wushul dengan Allah. Allah tidak bisa dijangkau secara langsung, bisa hangus terbakar kita (QS. Al-Baqarah: 55). Disamping Dia juga “laitsa kamislihi syai-un” (QS. Asy-Syura: 11). Namun, via sebuah Cahaya-lah wujud Dzatnya bisa “ditangkap”. Via Cahaya-lah Dia bisa terhubungi. Itulah wasilah, “teknologi Cahaya”. Pada dasarnya kita tidak bisa berhubungan atau memanggil sesuatu secara langsung. Pasti ada variabel penghubungnya. Salah satunya adalah cahaya. Fungsi alamiah cahaya sebagai wasilah, baik dalam fenomena duniawi sekaligus ukhrawi, pernah kami uraikan dalam tulisan “Tali Allah: Menemukan Jaringan Media Komunikasi yang Efektif dengan Allah”.

Untuk itu, jika ingin “mengetahui” banyak tentang agama, itu bisa ditempuh dengan banyak-banyak membaca buku (kitab). Sementara, jika ingin “mengalami” banyak hal pada level hakiki dan makrifati, maka seseorang harus terkoneksi dengan para wali, pembawa cahaya ruhani sang Nabi. Agama, pada level puncak adalah pengalaman ruhaniah, seperti dialami para nani. Bukan lagi bacaan atau hafalan. Karenanya disebut sebagai nabi yang “ummi” (beyond text).

Penutup

“Apakah Nabi masih bekerja?”. Jawabannya, iya. Ruhaninya adalah elemen dari kerasulan, yang diutus sebagai rahmatan lil’alamin (QS. Al-Anbiya: 107). Ruhaninya masih bekerja dan senantiasa diutus kepada setiap umat disepanjang masa. Ruhani Qurani-nya terwasilahkan, termanifestasi, dititip,atau ditinggalkan dalam jiwa orang-orang shaleh setelahnya. Karenanya, melalui “teknologi wasilah”, memungkinkan bagi umat Islam untuk terhubung dengan Nabi, via para wali-walinya, walau secara fisik telah terpisah ribuan tahun dengan sang Nabi.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

#powered by SUFIMUDA
___________________
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: 
saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok:
 tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twittertwitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2

Bagikan:

One thought on “NABI MASIH “BEKERJA”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Next Post

SHALAWAT ITU "TAWASUL" KITA KEPADA ALLAH, VIA RUHANI PARA NABI DAN PEWARISNYA

Thu Nov 2 , 2023
Jurnal

Kajian Lainnya

SAID MUNIRUDDIN adalah seorang akademisi, penulis, pembicara dan trainer topik leadership, spiritual dan pengembangan diri.