Jurnal Suficademic | Artikel No.105 | November 2023
“TEKNOLOGI”, MENGHILANGKAN JARAK ANTARA LANGIT DAN BUMI
Oleh: Said Muniruddin | The Suficademic
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM. Bayangkan, Anda mengimami shalat jamaah disebuah masjid sebesar Istiqlal. Bisakah suara Anda terdengar jauh sampai ke jamaah yang ada dibelakang?
Tentu tidak. Karena ada “jarak”. Kecuali Anda memakai sound system (mic). Sound system inilah yang disebut “teknologi komunikasi”.
Kalaupun memakai sound system yang paling keras suaranya; apakah suara Anda sebagai imam di dalam masjid itu bisa terdengar jauh sampai ke Bandung, Jogya, Medan, Makasar, Aceh dan Papua?
Tentu tidak. Sebab, ada “jarak”. Kecuali Anda memakai bantuan satelit untuk memancarkan suara Anda ke seluruh Indonesia. Bahkan ke seluruh dunia. Tidak tertutup kemungkinan juga ke seluruh alam semesta.
Satelit itulah yang disebut “teknologi komunikasi”. Sebuah teknologi yang memungkinkan Anda tidak lagi berjarak, bahkan “lebur” dengan yang lain. Perangkat satelit inilah media yang menangkap, mengubah (encode), mengirim (transmit) sekaligus menerjemahkan kembali (decode) sinyal pesan, dan melalui frekuensi tertentu, gelombang si pembicara “setara” (serupa) dengan si pendengar.
Hari ini bahkan sudah ada informasi yang bisa mengkonversi pesan dalam wujud bahasa yang bisa dipahami penerima. Ketika seseorang mengetik atau berbicara dalam bahasa Indonesia, pesan bisa diterima dalam bahasa Inggris. Ini semua dikerjakan secara otomatis oleh “teknologi informasi”. Sejauh teknologinya canggih, semua wujud gelombang pesan bisa di encode dan decode secara baik.
Jadi, kalau masih ada “jarak” dan “perbedaan” wujud gelombang/frekuensi antara komunikator (penyampai pesan) dan komunikan (penerima pesan), sebuah komunikasi tidak akan terjadi.
***
Bagaimana kalau hal ini kita bawa ke agama. Apakah suara yang selama ini kita keluarkan, baik dalam shalat dan doa-doa, itu terdengar dan sampai kepada Allah?
Jawabannya sama. Tergantung, apakah kita masih “berjarak” serta memiliki gelombang dan frekuensi yang “berbeda” dengan Allah; atau tidak. Kalau masih berjarak dan beda wujud frekuensi, maka doa akan “tertolak”. Makna tertolak adalah “tidak sampai”.
Kenyataan alamiahnya adalah, ada “jarak” dan “perbedaan” antara kita dengan Allah. Ini digambarkan dalam berbagai bahasa. Misalnya, “(Allah) Zat yang di langit sana” (QS. Al-Mulk: 16). Dia bersemayam di Arasy. “Ar-Rahmaanu ‘alal ‘arsyistawaa” (QS. Thaha: 5). “Tsummas tawaa ‘alal ‘arsy (QS. Al-‘Araf: 54). Dia tidak serupa dengan apapun. “Laitsa kamislihi syai-un” (QS. Asy-Syura: 11).
Meskipun secara alamiah kita berjarak dan berbeda, sehingga “terpisah” dengan Allah; namun bukan berarti kita tidak bisa lebur dan menyatu untuk menjadi segelombang dengan-Nya. Ini hanya masalah teknologi saja!
Karena itu, butuh sebuah usaha yang bersifat “ikhtiyari” untuk menjadi dekat dan segelombang dengan Allah. Usaha itu disebut “tariqah”. Tariqah artinya “jalan”, “cara” atau “metode” yang bernilai “teknis-teknologis” yang bisa digunakan untuk menjangkau Allah.
BACA: “7 LANGKAH MENJADI MISTIKUS“
Melalui teknologi ini, Allah yang pada awalnya dipersepsikan “jauh”, bisa menjadi “dekat” (Fainni qarib, QS. Al-Baqarah: 186). Bahkan lebih dekat dari urat leher. “Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” (QS. Qaf: 16). Melalui teknologi ini, Allah yang mulanya dipercaya hanya ada di langit “sana”, ternyata bisa ada “dimana-mana”. Bahkan, kemanapun wajah kita hadapkan, ada Dia disana. “Dan milik Allah timur dan barat. Kemanapun kamu menghadap di sanalah wajah Allah. Sungguh, Allah Mahaluas, Maha Mengetahui” (QS. Al-Baqarah: 115).
Lewat teknologi ini pula, sesuatu yang kadar alamiahnya butuh waktu tempuh lama, menjadi sangat cepat. “Malaikat-malaikat dan Jibril naik kepada Rabb-Nya dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun.’’ (QS Al-Ma’arij: 4). Melalui teknologi ini pula, jarak Makkah ke Masjidil Aqsha menjadi singkat. Begitu pula dengan Sidratul Muntaha. “Maha Suci Allah yang memperjalankan hamba-Nya pada malam hari..” (QS. Al-Israk: 1).
Memang, disatu sisi, Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat. Sehingga semua doa pasti akan dikabulkan. “Ud’uni astajib lakum” (QS. Al-Baqarah: 54). Itu dengan asumsi, “teknologi komunikasi” telah kita kuasai. Jika tidak, tetap akan tertolak. Sebagaimana kata Nabi SAW: “Ketahuilah oleh kalian semua, sesungguhnya Allah tidak akan mengabulkan doa dari orang yang hatinya lalai” (HR. Tirmidzi):
وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ
***
Jadi, sebagaimana hadis tersebut, rahasia atau “teknologi” yang menghilangkan jarak serta menyamakan wujud gelombang seorang hamba dengan Allah, itu ada di “hati” (qalbu). Quran pun, ketika berbicara tentang esensi hubungan hamba dengan Tuhan, itu juga berbicara tentang hati.
Dalam berbagai padanannya; hati/qalbu juga disebut jiwa, ruh dan lainnya. Qalbu atau ruh inilah perangkat “teknologi” yang memungkinkan seseorang bisa berkomunikasi secara efektif dengan Allah. Qalbu adalah wadah, perangkat atau tempat hadir dan bertajallinya Allah. Itu hanya terjadi, kalau teknologi qalbu telah aktif. Kalau masih mati, vibrasi komunikasi tidak akan terjadi.
Cara mengaktivasi qalbu/ruh, itu diajarkan dalam tariqah. Ilmu tariqah (sufisme/irfan) adalah ilmu komunikasi dengan Allah. Melalui metode tasawuf, jarak antara hamba dengan Allah bisa dihilangkan. Dia yang jauh “disana” (transenden) bisa dihadirkan/diproyeksikan ke “dalam diri” (imanen). Lewat teknologi tariqah, gelombang manusia (ruh) bisa dibuat sefrekuensi dengan Allah (Ruh). Sehingga terbangun koneksi, kesatuan dan keakraban.
Ilmu koneksi (atau khusyuk) ini tidak diajarkan dalam syariah. Syariah itu ilmu perbaikan dimensi “lahiriah” dari amal ibadah. Misalnya, bagaimana cara badan dan pakaian bersih dari najis lahiriah. Lalu bagaimana ucapan ayat sesuai dengan hukum bacaan lisan. Bagaimana shalat dilakukan sesuai kaidah gerak formal dari badan. Semua ini bagus. Agar konteks ibadah secara formal dianggap “sah”.
Syariat itu bagus dan penting. Pada tahap awal, kita perlu memperbanyak ibadah dan ubudiyah. Serta melakukannya secara baik, menurut adab-adab lahiriah. Namun, itu tidak cukup. Sebab, kita menginginkan semua konten yang kita kerjakan “diterima” atau “sampai” kepada Allah. Karena itu dikatakan, kita masuk surga bukan karena banyaknya amal ibadah. Melainkan karena “penerimaan” (kasih sayang) Allah terhadap diri kita. Disinilah kemudian perlu ilmu komunikasi. Melalui ilmu ini, kita diajar cara menyampaikan/mempersembahkan apa yang kita baca dan kerjakan, sehingga didengar dan diterima oleh Allah.
Masalahnya, Allah tidak menerima wujud darah dan daging kita (QS. Al-Hajj: 37). Ia tidak menerima wujud “fisik” dari formalitas ibadah. Ia tidak menerima wujud lahiriah sholat dan bacaan. Semua itu sifatnya “baharu”. Wujud fisik ibadah tidak “segelombang” dengan Allah yang Maha Batiniah. Sesuatu dari diri kita yang akan kembali dan benar-benar diterima serta sampai kepada Allah, hanyalah wujud “qadim” dari ruhani dan amalan kita. Lainnya tidak diterima.
Karena itu, semua “wujud fisik” amalan harus dikonversi terlebih dahulu (di encode) ke dalam “wujud ruhani” (energi cahaya). Baru kemudian bisa dikirim (transmit) ke sisi Allah. Allah adalah Cahaya di Atas Cahaya (Nurun ‘ala Nurin, QS. An-Nur: 35). Karena itu, Dia hanya menerima gelombang cahaya dari semua amal ibadah kita. Itulah yang disebut “khusyuk”, proses mengubah materi ibadah menjadi energi suci.
Inilah tugas qalbu/ruh sebagai “teknologi konversi dan komunikasi”. Qalbu perlu mengubah wujud dan amalan kita menjadi “energi cahaya”, sebelum diteleportasi ke sisi Allah SWT. Gelombang cahaya batiniah inilah yang bisa menembus ruang dan waktu. Bisa memangkas jarak antara langit dan bumi. Bisa meleburkan langit dan bumi. Dia yang “disana” bisa hadir “disini”. Wujud “aku” bisa menjadi “Dia”. Itulah kenapa Musa as bisa berbicara dengan Allah. Ataupun Nabi kita bisa bermikraj dan selalu berbicara atas Nama-Nya. Karena mereka menguasai “teknologi cahaya” (buraq). Cahaya ruh telah wushul dalam Ruh.
Di tasawuflah semua itu diajarkan. Tentu oleh tasawuf/tariqah yang memiliki guru yang benar-benar memahami ini. Sebab, tidak semuanya menguasai teknologi spiritual. Seorang murid akan mengalami banyak “pengalaman spiritual” (spiritual jouney) ketika dididik oleh seseorang yang memang benar-benar ahli.
Dalam dunia sains, seorang praktisi yang expert di bidang teleportasi biasa disebut “profesor”. Mereka punya kemampuan ajaib untuk mentransmit sebuah objek/pesan dari suatu tempat ke tempat lain (via teknologi email, WA, Telegram dan lainnya). Sementara, dalam dunia spiritual disebut “nabi”. Pewaris mereka disebut “ulama/wali”. Mereka bisa mentransmit amal dan ruhani seorang murid via teknologi spiritual untuk sampai ke hadhirat Allah. Bagaimana tekniknya? Baca: “Tali Allah”, Menemukan Jaringan Media Komunikasi yang Efektif dengan Allah.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.
#powered by SUFIMUDA
___________________
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok: tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter: twitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2