Jurnal Suficademic | Artikel No.113 | November 2023
APA YANG MEMBUAT SESEORANG MENJADI NABI (WALI)?
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM. Para nabi, mungkin tidak secerdas yang kita bayangkan. Mungkin lebih cerdas para ulama, akademisi, profesor dan doktor kita sekarang. Orang-orang cerdas ini, mungkin pernah membaca ratusan bahkan ribuan buku. Sudah mengaji banyak sekali kitab dan teori. Para nabi, karena minimnya bacaan, mungkin lebih tetap disebut sebagai kaum yang “ummi”.
Coba suruh para nabi membuat bom atom, pesawat atau perangkat digital lainnya. Saya yakin, tidak bisa mereka. Atau mungkin juga bukan itu kerjaan mereka. Walaupun mereka juga tidak anti dengan sains dan ilmu-ilmu alam dan teori canggih lainnya. Walaupun satu dua ada juga yang teknisi, seperti Nuh dengan pembuatan kapalnya.
Karena itu tidak heran, jika para nabi sering ditolak oleh para ulama, rahib, pendeta atau akademisi dimasanya; atau yang lebih populer dengan sebutan “ahli kitab”. Para nabi dinilai tidak representatif untuk menjadi “wakil Tuhan”. Karena mereka tau, para nabi ini tidak lebih cerdas dan canggih dari mereka.
Makanya; kalau para nabi banyak yang dibuli, dikerjain, ditipu, dianiaya bahkan dibunuh; itu biasa. Sebab, mereka memang “manusia biasa” (basyar). Bahkan membela diripun terkadang susah. Kalau diajak debat pun, nabi bisa kalah. Paling-paling, menang di “mukjizat”. Sebagai bukti bahwa mereka memang dekat dengan Allah. Namun, sudah ditunjukkan mukjizat sekalipun, belum tentu orang-orang cerdas ini akan mengikutinya. Sebab, kecerdasan sering menyatu dengan kesombongan. Jenis sombongnya saja yang berbeda. Ada yang sombongnya sangat halus, ada juga yang kasar.
Apa yang Membuat Seseorang jadi Nabi?
Yang membuat seseorang menjadi nabi bukan karena cerdas, banyak membaca kitab dan tinggi sekolah. Tidak. Seseorang menjadi nabi murni karena “dekat” dengan Allah.
Tidak perlu menjadi “cerdas” untuk dekat dengan presiden. Banyak orang cerdas yang jauh dari presiden. Sebab, ada ilmu lain yang memang dibutuhkan untuk bisa menjadi “dekat” dengan presiden. Bukan berarti dengan menjadi cerdas kita tidak bisa dekat dengan presiden. Bukan. Namun ada ilmu lain yang membuat kita bisa diterima, disayang. Dan diperhatikan presiden. Ilmu tersebut adalah “ilmu hubungan”, “ilmu komunikasi”, “ilmu lobi”, ” ilmu kerendahan hati, atau “ilmu adab”. Ilmu inilah yang dikuasai para nabi.
Karena itu, para nabi lebih cerdas dimensi “ruhani”-nya. Sehingga mereka bisa berkomunikasi dan diterima kapan saja oleh Presiden alam semesta. Para nabi adalah sekelompok hamba, orang-orang bodoh (ummi) dihadapan Tuhannya. Tidak ada pengetahuan pribadi yang ia bawa dan tonjolkan kemana-mana. Yang ia sampaikan cuma pesan-pesan Tuhannya. Karena itu mereka menjadi “utusan Tuhan”.
Utusan Tuhan adalah orang-orang bodoh, yang dititip pengetahuan oleh Tuhan. Mereka hanya bicara atas nama Tuhan, tidak pernah bicara atas nama pribadi. Mereka tidak pernah unjuk diri. Sebab, “kediriannya” sudah hilang. Mereka telah membiarkan dirinya untuk dikuasai oleh Tuhan. Lalu berpikir dan bertindak sesuai maunya Tuhan.
Tulisan ini tidak menyimpulkan bahwa kita tidak boleh cerdas. Silakan, dan itu perlu sekali. Namun, kecerdasan intelektual bukanlah instrumen untuk membuat seseorang terhubung dengan Allah. Akal hanya sekedar alat untuk mengetahui. Akal hanya berfungsi untuk memahami dunia ciptaan, bukan untuk menjangkau esensi Sang Pencipta. “Tafakkaru fi khalqillah, wa la tafakkaru fi Zatillah”.
Sementara, untuk terkoneksi dengan Zat Allah, Anda harus meninggalkan akal dan semua persepsi, harus menjadi lemah dan ‘bodoh’ (ummi). Menjadi “La haula wala quwwata illa billah”. Untuk wushul dengan Zat Allah, seseorang harus mempelajari adab-adab ruhaniah. Sebab, Allah hadir bertajalli pada dimensi ruhani (fuad/qalb). Bukan pada akal pikiran. Hanya ruh yang bisa menampung kehadiran Allah.
Manusia sebagai makhluk independen, bisa berpikir apa saja. Namun perlu kehadiran Tuhan dalam jiwa, untuk mengontrol gerak akal. Para nabi adalah orang-orang berakal. Sudah pasti. Sebagian mungkin cerdas sekali secara intelektual. Tapi kehadiran Tuhan dalam hati, menyebabkan kecerdasan mereka bernilai “makrifati”. Makrifat artinya “dicerdaskan oleh Tuhan”. Pengetahuan dari sisi Tuhan inilah yang mereka bawa kehadapan manusia.
Menjadi “nabi” adalah menjadi “bodoh” (ummi). Menjadi sederhana. Menjadi tawadhuk. Menjadi pasrah. Menjadi “fathanah” hanya melalui Akal Pikiran Tuhan. Menjadi kuat hanya melalui qudrah iradah Allah. Menjadi pewarisnya juga seperti itu. Menjadi pengikutnya juga begitu. Artinya, sebagai manusia, kita memang harus cerdas pada sisi aqliyah. Tapi, tanpa adab/akhlak (kerendahan hati), kita akan terlempar jauh dari sisi Allah.
Model Pendidikan
Karena itu, di dunia ini ada dua model pendidikan: dunia akademik dan dunia sufistik. Keduanya harus diintegrasikan, untuk melahirkan manusia yang paripurna (kamil).
Di Jepang, anak-anak tidak diujiankan nalarnya sampai usia mereka 10 tahun. Selama 3 tahun pertama, yang diajarkan hanya adab dan sopan santun. Karena itu, Jepang termasuk negara yang sangat maju secara saintifik, sekaligus memiliki budaya dan etika yang bagus. Seandainya Jepang punya metode spiritual yang bisa mengkoneksikan mereka dengan Tuhan, mungkin kita semua harus total belajar Islam ke negeri sakura.
Di dunia akademik, seperti kampus dan pesantren, anak didik diajari untuk memperkuat akal positivistik. Dengan itu mereka bisa menalar dunia dan agama. Tapi kehilangan ruh (nilai). Dari model pendidikan ini lahir ulama dan akademisi, yang menyandarkan diri pada observasi inderawi, argumentasi akal dan kitab bacaan. Secara duniawi, ini bagus. Secara ukhrawi, belum.
Sementara, di dunia sufistik, para murid diajari adab-adab spiritual untuk meng-“ummi”-kan akal. Sehingga diharapkan terbangun ketajaman mata ruhaniah, tempat dimana cahaya Allah bersemayam. Dunia sufi melahirkan makhluk-makhluk ukhrawi (para nabi/wali dan malaikat), kelompok-kelompok yang telah ‘kehilangan’ akal dan persepsi. Yang hidup dalam dirinya hanya bisikan (ilham/wahyu) dari Tuhannya saja.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.
#powered by SUFIMUDA
___________________
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok: tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter: twitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2
Terima kasih.