Jurnal Suficademic | Artikel No.117 | Desember 2023
“JEWISH SYNDROME”
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM. Suatu ketika, pada Ahad pagi di awal Desember 2023. Bertemu teman lama di sebuah warung kopi. Dia seorang ustadz dan penceramah dimana-mana. Dia menceritakan ketertarikannya kepada sufisme.
Ia mengisahkan. Sudah beberapa kali mengikuti tarikat. Tapi tidak ada yang membuatnya nyaman. Alasannya, dari seluruh tarikat yang diikuti, semua memiliki kata yang sama: “Guru kami yang terbaik! Guru bisa mengantarkan kita ke surga! Guru bisa membuat kita wushul dengan Allah SWT!”.
Alhasil, ia tidak nyaman. Lalu memilih mundur. Padahal, minatnya pada tasawuf cukup tinggi. Ternyata, fanatismenya tingi sekali. Paling tidak, begitulah fenomena pada beberapa kelompok tasawuf yang ia temui.
Kami bertanya, “Kenapa mundur?”. Dia menjawab, “Saya ragu dengan kelompok-kelompok yang terlalu berani mengatakan bisa mengantarkan jamaahnya ke surga. Apalagi katanya bisa membawa kita untuk berjumpa dengan Allah SWT”.
***
Begitulah! Umat Islam selalu mencari surga. Selalu ingin dekat Allah SWT. “Tapi, pada saat ada yang mengaku bisa menjamin kita masuk surga, dan bertemu Allah SWT, kita menjadi takut”, jawab saya sambil tertawa. Mungkin karena itu, orang-orang di Mekkah pada awalnya takut sama ajaran yang dibawa Muhammad. Karena Beliau berani menjamin orang-orang untuk masuk surga.
Kita sendiri seperti tidak yakin kalau kita bisa masuk surga dengan mudah. “Orang Kristen berani menjamin, kalau percaya Yesus, langsung masuk surga. Kok kita di Islam tidak ada yang berani jamin?”, kami kembali berargumen, dengan nada lucu tentunya.
Teman kami menjawab, “Bukan itu masalahnya. Para jamaah suka mengagungkan gurunya. Seolah-olah guru lain tidak ada yang bagus”.
Kami berkomentar, “Itu sama saja dengan kita, yang mengatakan bahwa istri kitalah yang paling cantik dan paling baik di dunia, seolah-olah istri orang lain tidak ada nilainya. Itulah namanya cinta. Kita tidak perlu marah, kalau ada teman kita yang berkata bahwa istrinyalah yang paling sempurna di dunia. Biasa saja!”. Dia tertawa. “Iya juga”, katanya.
Berguru dalam dunia spiritual memang begitu. Ibarat jodoh. Kalau sudah ketemu Guru, bagi seorang murid, itulah Guru terbaik di dunia. Dalam beragama juga begitu. Kita percaya, agama kitalah yang terbaik, yang mampu mengantarkan kita ke surga. Nabi kita yang terbaik. Penganut agama lain juga berkeyakinan serupa, hanya agamanya yang terbaik. Biasa itu. Masing-masing terikat dengan keyakinannya.
Pemikiran Boleh Ekstrim, Perilaku Jangan!
Keyakinan seseorang bisa saja ekstrim. Bisa saja ia percaya bahwa gurunya yang terbaik. Bahwa hanya agamanya yang terbaik. Kalau sekedar keyakinan, saya kira itu sah-sah saja. Kita tidak bisa mengadili akidah orang, hanya gara-gara beda keyakinan. Kita tidak bisa menghukum orang, gara-gara dia percaya bahwa dialah yang terbaik. Orang mau percaya apa, terserah mereka.
Iman dan pemikiran boleh saja aneh dan radikal. Tapi tidak boleh menjelma dalam perilaku. Perilaku tidak boleh mengganggu ketertiban. Tidak boleh merusak lingkungan. Di kampus sekalipun, khususnya yang berkutat dalam pemikiran, banyak sekali lahir diskursus aneh. Tapi hanya sebatas pemikiran. Dalam kajian-kajian agama juga sama, banyak yang sensitif. Sejauh hanya disajikan dalam lingkup diskusi, silakan saja.
Se-ekstrim apapun pemikiran Anda, perilaku tetap harus toleran. Harus penuh kasih sayang. Secara sosial harus ada rasa kemanusiaan, dengan siapapun yang berbeda keyakinan. Tidak hanya antar mazhab dalam sebuah agama, bahkan juga dengan penganut agama lain.
Sebab, agama dan mazhab yang benar bukan sekedar yang bagus teorinya. Melainkan juga tinggi wujud praktis kasih sayangnya. Agama yang bermoral adalah agama yang penuh cinta dalam hubungan sosial. Seradikal apapun keyakinan seseorang, ketika perilakunya membawa rahmat dan kedamaian, itulah aliran yang benar. Ada juga aliran-aliran yang ajarannya manis di mulut, tapi ektrim dalam tindakan. Agama dan keyakinan, apapun itu, kebenarannya secara aksiologis tercermin dalam tindakan.
Kita tidak mengatakan bahwa aspek ontologis tidak perlu benar, sejauh aksi-aksi kita menjadi benar. Tidak juga. Kita hanya menekankan, bahwa pada ujungnya, siapa kita, tergantung dari apa yang kita perlihatkan kepada orang-orang. Nilai kita, pada akhirnya akan diukur secara nyata dari ubudiyah dan kebaikan-kebaikan yang kita limpahkan kepada alam. Bukan pada apa yang kita yakini saja. Pada puncaknya, amal shaleh kitalah yang menentukan keselamatan.
Mungkin karena itulah Allah berkata:
وَلِكُلٍّ وِّجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيْهَا فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرٰتِۗ اَيْنَ مَا تَكُوْنُوْا يَأْتِ بِكُمُ اللّٰهُ جَمِيْعًا ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
“Bagi setiap umat ada kiblat yang dia menghadap ke arahnya. Maka, berlomba-lombalah kamu dalam berbagai kebajikan. Di mana saja kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu semuanya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (QS. Al-Baqarah: 148).
Islam adalah Amalan Cinta
Silakan mengklaim, bahwa hanya Ahlussunnah yang masuk surga. Tapi itu harus ditunjukkan lewat perbuatan yang penuh cinta kepada kemanusiaan. Silakan mengklaim, bahwa hanya Syiah yang masuk surga. Tapi perlihatkan lewat tindakan yang penuh kasih sayang kepada semua. Silakan Wahabi mengklaim hal serupa. Tapi tunjukkan itu lewat perilaku yang jauh dari sifat benci kepada kelompok yang berbeda.
Orang-orang sebenarnya tidak lagi peduli dengan klaim kita. Lama-lama, kita akan lelah dengan doktrin-doktrin buta. Pada akhirnya, siapapun akan ke surga. Tidak peduli siapa dia. Apakah itu orang Beriman, Yahudi, Nasrani ataupun Sabiin. Sejauh secara ontologis mereka beriman kepada Allah dan hari akhir, dan secara aksiologis senantiasa mengerjakan amal shalih (QS. Al-Baqarah 62 dan Al-Maidah 69).
Kalau sekedar mengklaim diri sebagai umat terbaik, paling bertauhid dan paling pantas masuk surga, kita kalah dengan Yahudi (zionis). Tapi lihatlah bagaimana perilakunya. Ketauhidan mereka tidak menghalangi mereka untuk merampok dan mempersekusi warga Palestina. Ketauhidan mereka tidak mencegah mereka dari melakukan berbagai perilaku keji, licik dan kapitalistik di seluruh dunia. Alquran mengatakan: Di antara mereka (Yahudi dan Ahlul Kitab) ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik” (QS. Aali Imran: 110). Apakah keislaman kita juga seperti itu?
Kita bisa mengatakan Syiah “bukan Islam”. Tapi lihatlah apa yang mereka lakukan terhadap Palestina. Tidak ada kelompok yang lebih kuat melakukan pembelaan terhadap muslim Palestina dan permusuhannya dengan zionis, selain Syiah; lewat Hizbullah, Houthi dan kelompok-kelompok muqawwama lainnya. Pada saat negara-negara Arab lain yang mengakui diri Sunni justru berkolaborasi dengan zionisme. Seluruh dunia juga bisa mengatakan bahwa HAMAS yang tulen Sunni itu adalah teroris. Tapi lihatlah, disaat tanahnya dijajah, mereka masih sempat menunjukkan akhlak terpuji dalam memperlakukan musuh dan tawanan. Itulah Islam sejati.
Bayangkan, ketika Islam direpresentasikan oleh kelompok semacam ISIS. Tauhidnya ektrim, tindakannya juga tidak kalah ekstrim. Semua yang berbeda akan digoroknya. ISIS ini adalah wajah sempurna zionis dalam rupa Islam. Selain mengklaim kebenaran tunggal, mereka juga tidak sungkan-sungkan mengambil nyawa seorang muslim ataupun penganut agama lainnya. Belakangan diketahui, sebagaimana telah diakui para politisi AS, ISIS sengaja dibentuk oleh Mossad dan sekutunya untuk merusak citra Islam.
Penutup
Kembali kepada cerita awal. Semua kita mengidap “jewish syndrome” (sindrom Yahudi). We are the chosen people! kita semua merasa diri paling benar, paling baik, paling hebat dan paling berhak atas surga. Sebagaimana disebut-disebut, umat Islam pecah menjadi 73 golongan. Semua masuk neraka. “Hanya kami yang masuk surga, hanya kami yang benar-benar menjalankan sunnah Nabi”, masing-masing menyatakan dirinya seperti itu.
Silakan mengaku: “Kami adalah kelompok yang paling Islami”. Tapi harus dibuktikan lewat tindakan-tindakan mulia. Silakan berkata: “Kami adalah kelompok yang dijamin masuk surga”. Tapi harus ditunjukkan lewat sikap-sikap penuh cinta. Silakan berteriak: “Mazhab kami paling benar”. Tapi perlihatkan lewat gerak perubahan yang membawa kedamaian. Apakah Anda Sunni, Syiah, Sufi, Wahabi atau Salafi; semua ketauhidan Anda akan terbukti benar saat menunjukkan perlawanan terhadap kedhaliman; serta keberpihakan kepada nilai-nilai kemanusiaan.
Itulah yang disebut “amar makruf nahi munkar”, sesuatu yang membuat kita menjadi the chosen people (umat terbaik). Tuhan sengaja “memilih” kita untuk menunjukkan kebesaran-Nya. Sayangnya, kebanyakan kita seperti Yahudi dan Ahlul Kitab. Bangga dengan keyakinan, namun akhlaknya “koruptif” (fasik). Beriman, tetapi tidak terwujud dalam perilaku yang berperikemanusiaan:
كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ ۗ وَلَوْ اٰمَنَ اَهْلُ الْكِتٰبِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ ۗ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَاَكْثَرُهُمُ الْفٰسِقُوْنَ
"Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh yang makruf dan mencegah yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Seandainya Ahlul Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik" (QS. Aali Imran: 110)
Agama itu, ujung-ujungnya adalah ketauladanan. Bukan khutbah yang kita sampaikan siang malam. Agama adalah perilaku penuh kasih sayang, tindakan-tindakan yang berdimensi ihsan, yang kita aplikasikan sepanjang kehidupan. Semua itu cermin dari keimanan.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.
#powered by SUFIMUDA
___________________
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok: tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter: twitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2