“INDIRECT” AND “DIRECT” ISLAM

Bagikan:

Jurnal Suficademic | Artikel No.120 | Desember 2023

“INDIRECT” AND “DIRECT” ISLAM
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM. Beragama, atau berislam, adalah proses bertuhan. Dan itu dapat dilakukan dengan dua cara: “indirect” (tidak langsung) dan “direct” (langsung).

Petunjuk untuk berislam berasal dari dua sumber: (1) teks, dan (2) Pemilik teks. Mengikuti arahan teks, adalah bentuk berislam secara “tidak langsung” (indirect). Sedangkan interaksi dengan Pemilik teks, adalah bentuk keislaman yang bersifat “langsung”.

“Indirect”: Beragama Melalui Bantuan Teks

Teks adalah “kitab suci”. Kumpulan perintah Tuhan yang sifatnya generik, yang disampaikan via nabi, yang kemudian dihafalkan dan ditulis kembali. Kitab adalah Kalam yang telah dikompilasi, “undang-undang”, “hukum”, atau “buku petunjuk”. Orang-orang berusaha memahami isi buku yang nilainya sangat universal itu, lalu berusaha menjalankannya dengan sungguh-sungguh pada konteks masing tempat dan waktu. Karenanya lahir fikih dan berbagai tafsir terhadapnya.

Karena itu, menjalankan Al-quran dan segala perintah yang tersebut di dalamnya, adalah menjalankan perintah Tuhan secara “tidak langsung”. Kita hanya berpedoman pada teks dan berbagai argumentasi tafsir terhadapnya. Kita tidak sedang menjalankan aba-aba secara langsung dari Tuhan. Melainkan sedang menjalankan berbagai isi teks dan tafsir dari undang-undang, kisah dan berbagai narasi “suci”.

Itulah yang disebut “syariah”, usaha memahami dan menjalankan dalil-dalil dalam Quran dan sunnah. Syariah adalah bentuk cara beragama secara “indirect”. Kita tidak langsung berhubungan dengan Tuhan. Melainkan hanya terkoneksi dengan teks yang sudah berusia 1400 tahunan, yang dipercaya pernah disampaikan Tuhan kepada Muhammad sang utusan.

Apakah dengan demikian “teks” menjadi tidak penting? Tentu penting sekali. Sebab, agama adalah “peradaban”. Salah satu unsur peradaban adalah adanya warisan pengetahuan dari satu generasi ke generasi lainnya, yang terus disempurnakan. Quran adalah warisan pengetahuan, penyempurnaan dari hukum-hukum terdahulu. Karenanya, publik awam memerlukan panduan teks dalam menjalankan sesuatu.

Disatu sisi, kita punya akal untuk memahami kebenaran secara independen. Disisi lain, kita juga butuh referensi hukum yang bernilai “suci”. Keduanya saling melengkapi dalam proses pencarian kebenaran. Maka, semakin dekat seseorang dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam teks suci, akan semakin baik performanya. Baik dalam urusan ibadah maupun muamalah.

“Direct”: Beragama Via Koneksi Langsung dengan Pemilik Teks

Banyak orang yang ingin “kaffah/kamil” (utuh/sempurna) dalam beragama. Meskipun, “sempurna” itu sendiri juga bertingkat-tingkat. Namun, tahap sempurna beragama itu diperoleh ketika seseorang mulai mengalami “kontak” dengan Tuhan. Pengalaman keterkoneksian dengan Tuhan dapat disimak dari sirah para nabi. Karenanya mereka disebut sebagai manusia-manusia sempurna (insan kamil).

Manusia, pada kadar dan pengalaman tertentu juga bisa mengalami pengalaman para nabi. Sejauh seseorang masih mewarisi atau menguasai metode spiritual yang diperkenalkan para nabi. Metode ini disebut “tarikah”, atau “jalan” menuju kepada keterkoneksian dengan Tuhan. Sama seperti dalam memahami Quran dan hadis, itu ada ilmu akal atau alat bantu lainnya. Demikian juga dengan proses untuk wushul dengan Allah, ada metodenya. Biasanya harus dengan ‘mematikan’ akal dan penyempurnaan jiwa.

Hadirnya “wahyu”, “ilham”, “hidayah” dan berbagai petunjuk yang bersifat laduniah; adalah bentuk-bentuk kehadiran mistik gelombang malaikat. Dengan demikian merupakan rangkaian dari wujud indikatif keterhubungan dengan Allah. Dalam syariah, ibadah masih berbentuk “one-way” communication. Sedangkan dalam tarikah, bagi mereka yang sudah mencapai makam hakikah/makrifah, komunikasi dengan Allah sudah “dialogis”. Allah sudah hidup Allah dalam dirinya. Sehingga bisa diajak bercakap-cakap, berbisik-bisik. Sudah asyik dan masyuq. Sudah qarib. Itulah bentuk hubungan “langsung” (direct) dengan Allah.

Pola dan kualitas beragama orang-orang yang sudah memiliki “akses” (terbuka hijab) dengan Allah akan jauh sekali berbeda dengan kita yang masih meraba-raba dengan pemikiran agama. Jika tingkat keterkoneksian dengan Allah sangat tinggi, maka seseorang akan dituntun gerak dan pemikirannya sepanjang hari, sejak bangun sampai tidur lagi. Bahkan Allah juga hadir untuk berbicara dalam tidurnya. Keterhubungan dengan Allah sebagai asal usul kita, merupakan bentuk “kesempurnaan” dalam beragama. Sebab, agama, pada puncaknya adalah proses untuk kembali rujuk dengan Allah SWT.

Penutup

Syariah memberi bentuk-bentuk formal terhadap cara kita beragama. Tidak mungkin beragama tanpa bentuk-bentuk peribadatan. Tanpa syahadat, shalat, puasa, zakat, ataupun haji; tidak ada yang namanya agama. Itu semua dalil dan regulasi yang secara generik memberi “forma” bagi sebuah agama. Semua agama punya format ibadahnya.

Tapi, hanya melalui jalan tasawuf (irfan/tarikat), proses beragama mencapai level “ihsan” (indah dan sempurna). Sebab, hanya melalui pengalaman-pengalaman hakikat (keterkoneksian dengan Allah), gerak ibadah dan keputusan-keputusan muamalah seseorang dibimbing secara langsung oleh Allah. Pada level ini; wahyu, ilham atau muraqabah dari sisi Allah senantiasa hadir untuk membenarkan, mengarahkan atau mengkoreksi apa yang sedang kita pikir/kerjakan.

Syariah penuh dengan argumentasi akal, tafsir dan pemikiran. Karenanya, pemahaman terhadap teks, walaupun sangat perlu, tapi tidak mungkin sempurna. Hanya melalui pengajaran langsung dari Allah, memungkinkan seseorang untuk memiliki pengetahuan makrifah; yang kebenarannya sempurna, absolut dan objektif (murni sesuai kehendak Allah).

Justru pemahaman terhadap “teks” (ayat Quran) yang begitu misterius, bisa diketahui ketika seseorang terhubung dengan “Ruh/Pemilik Teks” (Allah). Karena itu, yang disebut “Islam kaffah” adalah syariah yang menyatu dengan tarikah. Islam yang sempurna adalah akal pemikiran, yang terhubung dengan wahyu/ilham. Islam yang sempurna adalah Islam yang jiwa orang-orangnya tidak hanya kembali kepada teks Quran dan hadis yang bersifat baharu. Melainkan bisa kembali rujuk/terkoneksi dengan Pemilik (Ruh) dari Quran dan hadis yang maha qadim.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

#powered by SUFIMUDA
___________________
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: 
saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok:
 tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twittertwitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Next Post

AGAMA DAN SAINS, DARI "DUGAAN" KEPADA "KEPASTIAN"

Sun Dec 10 , 2023
Jurnal

Kajian Lainnya

SAID MUNIRUDDIN adalah seorang akademisi, penulis, pembicara dan trainer topik leadership, spiritual dan pengembangan diri.