Jurnal Suficademic | Artikel No.122 | Desember 2023
KENAPA HARUS BERGURU?
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Sudicademic
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM. Kenapa harus berguru, terkhusus dalam dunia spiritual?
Begini. Ada hal-hal yang membutuhkan 100 tahun bagi kita untuk paham. Dengan adanya guru, 1 hari sudah kita kuasai itu. Ada hal yang bahkan jika usia diperpanjang sampai 1000 tahun, hal itu tidak akan pernah kita kuasai. Kecuali ada Guru yang mengajari. Dan itu adalah kemampuan untuk “berjumpa” dengan Allah SWT.
Konon, sekalipun sudah mati, lalu masuk ke alam kubur, belum tentu bisa berjumpa Allah. Kecuali ada yang “mengantarkan”. Artinya, jangan berspekulasi kalau mati langsung diterima oleh Allah. Kalau sekedar husnudhan silakan saja.
Itulah pentingnya Guru. Hanya melalui bantuan Guru, seseorang bisa menguasai “ilmu kehadiran” atau “ilmu perjumpaan”. Sesuatu yang jika kita belajar secara otodidak selama seumur hidup, hal itu tidak akan pernah kita kuasai. Anda hafal seribu kitab sekalipun, Tuhan tidak akan pernah bisa dijumpai. Mau sholat sepanjang malam dan berpuasa sepanjang tahun, Tuhan tetap tidak akan muncul. Sebab, ilmu ini butuh “Guru”. Tuhan tidak hadir pada lembaran kitab. Tuhan tidak hadir pada rajinnya ibadat. Tuhan hadir melalui wajah ruhaniah seorang “utusan”.
Sebenarnya, semua ilmu perlu guru. Melalui bantuan guru, sesuatu bisa cepat dikuasai. Sebab, guru adalah seorang ahli. Guru sudah pernah menghabiskan waktu untuk mempelajari itu. Dia bisa mengajarkan secara singkat apa yang mungkin dulu pernah ia dalami dalam waktu lama. Bisa jadi, seorang guru adalah seorang ahli yang juga pernah mendapatkan ilmu secara benar dari guru sebelumnya. Karena itu, pewarisan ilmu melalui guru pada masing bidangnya sangatlah penting.
Anda bisa berargumen, kita tidak perlu guru. Seseorang bisa melakukan sesuatu secara kreatif dan inovatif, tanpa perlu guru. Iya, dalam urusan keduniaan silakan saja. Antum a’lamu bi umuri dunyakum. Silakan berkreasi untuk melahirkan temuan-temuan baru. Sekalipun tanpa pembimbing. Akal seseorang bisa digunakan secara independen. Meskipun untuk menjadi cerdas dan terbuka pikiran, Anda juga harus banyak belajar dari orang-orang.
Tapi, untuk urusan “menemukan Tuhan”, Anda tidak bisa mandiri. Harus dibimbing oleh seorang utusan Tuhan. Oleh seorang Nabi. Oleh ulil amri, oleh ulama yang mewarisi metode perjalanan ruhani.
Itulah khas dunia tasawuf, “wajib” ada imam. Wajib ada Guru. Tasawuf merupakan dunia mistisisme Islam. Dunia metafisika. Tasawuf adalah metode atau jalan (tarikah) menuju alam akhirat, atau alam ketuhanan. Tanpa “cahaya”, kita akan tersesat. Guru adalah cahaya yang akan membimbing Anda ke alam itu. Dengan syarat, dia memang Guru yang ahli, Guru yang sudah mengenal atau sudah sampai kepada Allah (makrifah). Dia adalah Guru yang berguru kepada ahli makrifah sebelumnya, yang terus bersambung sampai kepada Nabi. Begitulah metode esoteris dalam Islam untuk menjaga sanad wasilah ruhaniah sampai kepada Allah.
Yang paling susah dalam tasawuf sebenarnya bukanlah ilmu tasawufnya. Melainkan susah menemukan Guru yang mukasyafah, yang telah hilang hijab yang membatasi antara dia dengan Tuhannya. Kalau sekedar ingin tau tentang tasawuf, itu sangat mudah. Banyak sekali kitab dan buku-bukunya. Tinggal rajin-rajin kita membaca. Ikuti kajian-kajiannya. Di youtube banyak sekali ustadz yang mengupasnya. Apakah setelah itu kita akan bertambah cerdas? Iya. Namun tidak akan pernah membuat kita terkoneksi dengan Allah.
Ada yang berpendapat, bertasawuf tidak harus dengan berguru (bertariqah). Iya, benar. Semua ilmu bisa diperoleh tanpa harus berguru; kalau yang dicari cuma sekedar pengetahuannya. Tapi, jika yang dicari adalah keterkoneksian dengan wujud Allah-nya, maka wajib berguru kepada seorang master (wali) yang membawa frekuensi-Nya.
Kalau bertemu supervisor yang ahli, tidak perlu waktu lama, 40 hari sudah berjumpa dengan Allah SWT. Tidak harus menunggu sampai mati. Belajar dari ketauladanan para nabi, Allah justru wujud yang bisa ditemui saat manusia masih hidup. Malah, Allah bisa dijumpai meskipun seseorang dalam keadaan “ummi” (tanpa harus sekolah, tanpa banyak membaca). Karena itulah, dalam tariqah, angka 40 itu sakral. Hanya dalam waktu 40 hari, seorang murid yang terbodoh sekalipun, bisa dikoneksikan ruhaninya dengan Allah. Sehingga ia mampu mengalami “musyahadah” dan ketersingkapan ruhaniah lainnya. Karena itu dikenal ada namanya suluk 40 hari. Nabi Musa as juga menyendiri selama 40 hari sebelum mampu meluluhkan “gunung ego”, sehingga tersibak rahasia wajah Ilahi.
Itu “siklus kecil”, 40 hari. Sementara, Nabi Muhammad SAW menjadi Rasul juga pada usia 40. Itu “siklus besar”. Ketika amalan tasawuf dikerjakan secara istiqamah, terus menerus setiap hari, setelah 40 hari, akan terjadi “mukasyafah asghar”. Paling tidak, pada usia 40, akan terjadi “mukasyafah akbar”. Semua ada tahapan. Sejauh dibimbing boleh seorang Jibril, Khidir atau Guru. Itulah pentingnya kehadiran seorang syeikh dalam perjalanan spiritual (salik/khalwat).
Sekali lagi, kalau sekedar ingin belajar ilmu tasawuf, tidak perlu Guru. Bahkan, untuk menjadi orang baik sekalipun, kita sebenarnya tidak harus beragama. Cukup dengan berpikir rasional saja, akhlak kita akan menjadi bagus. Cukup dengan diperbaiki sistem edukasi di setiap sekolah, budi pekerti manusia akan menjadi baik semua. Melalui hipnoterapi sekalipun, seorang ahli hipnosis bisa mengubah perilaku. Semua agama punya doktrin moral. Tapi, sekali lagi, kalau seseorang rindu ingin berjumpa (liqa) dengan Tuhan, cari Guru. Sesungguhnya, inti dari beragama adalah perjalanan untuk berjumpa dengan Allah SWT. Yamg dengan itu akhlak menjadi sempurna.
Agama, kalau sekedar percaya kepada Tuhan, memiliki kitab serta berbagai teori dan pengetahuan tentang-Nya, itu biasa. Pada level ini, Islam tidak berbeda dengan agama-agama lainnya. Tetapi, ketika sebuah agama bisa membawa manusia untuk berjumpa dengan Tuhan saat penganutnya masih hidup, itu baru sejatinya agama (Dinul Islam). Karena itulah, melalui berbagai tariqah (metode) yang diwariskan oleh para walinya, Islam termasuk agama yang masih bisa membimbing manusia untuk tersingkap hijab, dan bermikraj ke sisi-Nya. Sehingga tidak ada lagi jarak antara hamba dengan Tuhan. “Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” (QS. Qaf: 16). Mungkin Islam satu-satunya agama yang masih punya kemampuan untuk itu.
BACA: MENGENAL 3 JENIS TASAWUF
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.
#powered by SUFIMUDA
___________________
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok: tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter: twitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2
Terima kasih.