Jurnal Suficademic | Artikel No. 124 | Desember 2023
AGAMA, AKAL DAN IRASIONALITAS
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM. Awal agama adalah akal. Akhir dari agama, atau semakin dalam Anda beragama, Anda akan masuk ke dalam ranah yang semakin tidak masuk akal. Kenapa bisa begitu?
***
Begini. Pada tahap awal beragama, kita jauh dari Tuhan. Jauh dari petunjuk. Satu-satunya petunjuk hanyalah akal kita. Kalaupun ada teks petunjuk, itupun harus kita cerna lewat akal. Akal, sekalipun tanpa kehadiran Tuhan, bisa menemukan berbagai kebenaran sesuai kapasitasnya. Bahkan adanya eksistensi Tuhan sekalipun bisa diketahui secara rasional oleh akal. Walau akal tidak pernah mampu membawa kita untuk menjangkau esensi dari Wujud/Zat Tuhan.
Itu dia. Awal dari agama adalah akal. Karena itulah dikatakan, “agama adalah akal”. Itu benar, untuk fase awal dari agama. Pada fase lebih lanjut, agama bukan lagi akal. Melainkan “wahyu”. Agama adalah wahyu. Hakikinya agama ada pada level ini.
Wahyu bukan akal. Wahyu adalah pengetahuan “irasional” (supra-rasional). Sengaja kita sebut “irasional”, sebab pengetahuannya tidak diperoleh melalui kecakapan aqliyah. Wahyu justru diperoleh lewat ‘kebodohan’ (keummian) seseorang. Wahyu diperoleh melalui ketakberdayaan seseorang dihadapan Allah. La haula wala quwwata illa billah.
Jika perintah “Baca!” mewakili instruksi untuk berlaku rasional, maka jawaban “Apa yang harus kubaca”, mewakili kondisi ketakberdayaan intelektual. Seolah-olah menggambarkan, awal agama adalah rasionalitas. Selanjutnya, kedalaman agama dicapai lewat metode-metode irasional.
Karena wahyu bukan sesuatu yang muncul dari fakultas akal; maka, cara menjangkau wahyu haruslah dengan meninggalkan akal. Kalau seseorang ingin terkoneksi dengan alam wahyu (atau alam malakut/alam jibril), dia harus ‘mematikan’ akalnya. Matikan dirimu sebelum engkau mati. Matikan diri, baru muncul Tuhan. Kosongkan akal pikiran, baru wahyu akan sowan.
Itulah metode yang digunakan para nabi, dan juga kaum sufi, dalam usaha menjangkau alam ketuhanan (alam wahyu/ilham). Para nabi atau sufi bukanlah orang bodoh, dalam artian tidak berakal. Namun, metode beragamanya sudah “beyond intellect”.
Banyak sufi yang awal kehidupan beragama berprofesi sebagai pemikir (filsuf, teolog dan fuqaha). Hanya saja, metode akal ini tidak membuat mereka puas. Akal tidak mempertemukan mereka dengan Tuhan. Mereka menghafal dan mengkaji teks tentang Tuhan. Tapi tidak bisa berjumpa, bahkan tidak pernah diterima oleh Tuhan. Kerinduan untuk taqarrub dengan Allah, memberanikan mereka untuk menjalani tarikah. Sehingga kemudian mengalami pengalaman-pengalaman epifani, terkoneksi dengan aneka gelombang ketuhanan. Portal langit terbuka, dan mereka menyaksikan aneka kebenaran pada level yang sempurna.
“Tafakkaru fi khalkillah, wa la tafakkaru fi Dzatillah”. Itu doktrin cara beragama. Bahwa level terbawah dari agama, hanya untuk diakses melalui akal. Alam ciptaan, fenomena fisikal atau ayat-ayat material (ontologi qauniyah), bisa dimengerti dengan kecerdasan akal. Karena itu, akumulasi kecanggihan teknologi dalam peradaban manusia, lahir dari ketinggian akal.
Sementara, level tertinggi dari agama, yaitu alam metafisika (alam Tuhan/alam wahyu/ayat-ayat nafsani); tidak bisa dijangkau secara absolut melalui akal. Kalau ingin berjumpa Tuhan secara hakiki, tinggalkan metode berpikir. Gunakan metode irasional, yang dikenal dengan praktik tasawuf. Tasawuf adalah metode ‘mematikan’ akal, sehingga “Ruh” (kekuatan malakut/jibril dalam jiwa seseorang) menjadi hidup. Ruh inilah yang bisa menangkap dan membawa gelombang wahyu (Kalam/Wajah Allah).
Semakin seseorang terkoneksi dengan Allah, pola hubungan dan komunikasinya semakin irasional. Sebab, yang ia terima bukanlah informasi pada dimensi akal. Melainkan pada dimensi wahyu (sesuatu yang melampaui akal). Agama, semakin tinggi, semakin supra/irasional. Agama, semakin ke dalam, semakin tidak masuk akal. Kulit agama, itu masih berdimensi rasional. Sementara esensinya, sulit dijelaskan.
Bayangkan, Nabi Nuh as dapat informasi dari Tuhan untuk membuat kapal di puncak gunung. Ia ditertawakan oleh orang-orang berakal. Nabi Musa as, diperintahkan Tuhan untuk melempar tongkat supaya menjadi ular. Tidak masuk akal. Mana bisa tongkat menjadi ular. Nabi Luth as diperintahkan lari tanpa melihat kebelakang. Apa sih salahnya kalau sekedar melihat kebelakang?
Semua nabi punya kemampuan berkomunikasi dan menyerap informasi dari Tuhan. Hampir semuanya irasional. Kalau pesan-pesan itu sempat dianalisis, pasti akan ditolak. Karena tidak ada yang masuk akal. Tapi para nabi terlalu percaya pada pesan-pesan irasional dari Tuhan. Mereka hanya pasrah saja. Akalnya cenderung dimatikan. Selama itu datangnya dari Tuhan, mereka patuh-patuh saja. “Sami’na wa atha’na”.
Tradisi patuh-patuh saja ini hanya ditemukan dalam tradisi tasawuf. Sehingga tasawuf dianggap sebagai kelompok aneh (irasional). Syarat pertama untuk bertasawuf, Anda harus percaya dengan guru. Bahwa guru Anda adalah “pewaris nabi” (wali/mursyid). Tentu, sempurnanya beragama harus pada seorang pewaris spiritual sang nabi. Apapun perintahnya, seganjil apapun itu, akan dipatuhi dan dikerjakan. Selalu ada rahasia dibalik semua itu. Memang pada awalnya tidak masuk akal. Tapi akhirnya akan diketahui secara rasional hikmah dibalik semua itu. Begitulah mekanisme kerja “ilmu hikmah”, seperti yang diajarkan Khizir kepada Musa. Irasional, tapi benar. Sebenarnya, kecerdasan wahyu bukan tidak masuk akal. Melainkan mendahului akal.
Begitu pula kalau seseorang sudah mulai hidup “vibrasi ilahiah” (muraqabah) dalam dirinya. Mereka akan mudah menerima berbagai pesan/ilham (isyarah laduniah) dari Allah. Percayalah, semua pesan Allah yang masuk ke dalam diri kita, sifatnya “irasional”. Kalau sempat kita aktivasi akal untuk memahaminya, bisa-bisa akan kita tolak untuk patuh. Sebab, akan belum punya kemampuan (kecepatan) untuk menangkap makna dan memahaminya.
Tapi, bagi seorang salik/murid sejati, selama terkonfirmasi itu datangnya dari Tuhan, akan dipatuhi. Itulah “Islam” yang asli (azali). Islam adalah “wahyu”, bukan akal. Pesan-pesannya sangat mutasyabihat, simbolik, susah dipahami dan sering tidak masuk akal. Tapi kebenarannya objektif. Jika diikuti; seseorang akan memperoleh kebaikan, keselamatan dan kebahagiaan. Alquran itu, dari juz 1 sampai juz 30, kalau dikuasai level metafisika dari ayat-ayatnya, maka akan melahirkan banyak mukjizat. Yang ajaib dari Quran itu level qadim (irasional) dari ruhnya.
Tasawuf sering salah dipahami oleh orang. Sebab, tasawuf adalah metode untuk masuk ke dunia supra-rasional. Terkadang, tidak cukup bahasa rasional untuk mengungkap pengalaman mistik seseorang. Salah dalam bercerita, bisa dituduh sesat. Karenanya, rahasia-rahasia Tuhan tidak selalu untuk dibahasakan. Kecuali seseorang diizinkan Tuhan untuk menyampaikan itu.
Penutup
Begini. Sekolah, universitas, pesantren, atau lembaga pendidikan apapun itu; rata-rata semakin menjauhkan seseorang dari Tuhan. Selama yang diperkuat hanya kapasitas akal. Selama metode belajar berkutat seputar cara mengingat, menghafal dan menganalisis teks dan teori; umat ini tidak akan pernah sampai kepada gelombang ilahiyah. Yang banyak kita miliki adalah sekolah “pemikiran”, yang bertujuan untuk menjangkau aneka ciptaan Tuhan. Bukan untuk terkoneksi dengan Tuhan. Karena itu, yang banyak lahir dari lembaga pendidikan adalah para ulama dan ilmuan, yang cenderung sombong bahkan suka mengkafirkan. Tidak ada karamahnya.
Sementara, untuk tersambung dengan Allah, seseorang harus ‘mematikan’ akalnya. Lalu hidup dengan kreativitas gelombang ruhiyah. Metode ini yang harus dipelajari untuk menyempurnakan agama. Agar keislaman kita tidak terus berkutat di level akal pemikiran. Melainkan berjumpa, memiliki adab dan kepatuhan kepada berbagai gelombang perintah yang berdimensi Ilahiyah. Mukjizat/Karamah diperoleh dari keterhubungan seseorang dengan dimensi supra-rasional dari agama.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.
#powered by SUFIMUDA
___________________
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok: tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter: twitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2