BOROS DI JALAN TUHAN

Bagikan:

Jurnal Suficademic | Artikel No.32 | Maret 2024

BOROS DI JALAN TUHAN
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

Bismillahirrahmanirrahim.

Bagi Anda yang suka boros, Islam mentolerir itu. Anda bisa menyalurkan hobi boros melalui apa yang disebut dengan “infak”. Infak artinya mengeluarkan, menghabiskan atau membelanjakan harta.

Kata “infak” berasal dari kata al-infâq yang berasal dari kata anfaqo-yunfiqu. Kata-kata tersebut memiliki arti membelanjakan atau membiayai. Kata al-infâq adalah masdar dari kata anfaqa–yunfiqu–infâqan. Kata anfaqa dikategorikan sebagai kata yang dibentuk dari kata nafaqa–yanfuqu–nafâqan. Kata-kata ini artinya habis, lenyap, berkurang, sedikit, pergi, dan keluar.

Dari kata infak ini muncul istilah “nafkah”. Melalui infak kita disuruh untuk menafkahi diri, anak dan istri; sampai kepada makna memberi dalam arti lebih luas. Yaitu memberi kepada siapapun yang wajib menerimanya, guna dihabiskan sesuai keperluan penerimanya. Dengan demikian, infak adalah bentuk distribusi tanpa batas (ukuran). Suka hati.

Ada 73 ayat Quran yang menjelaskan infak. Lumayan banyak. Mungkin ini isyarat untuk sering-sering, atau banyak-banyak berinfak, memberi, menginvestasikan, membelanjakan, menghabiskan atau melenyapkan harta kita.

Jadi, disatu sisi, kita disuruh habiskan harta. Disuruh berinfak. Karena itu praktis tidak ada konsep menyimpan, menabung atau menimbun uang (harta) dalam Islam. Mungkin karena alasan ini kita temukan, Nabi dan kebanyakan sahabat meninggal dalam keadaan miskin (minim kepemilikan). Aneh juga kalau Nabi Muhammad saw sebagai nabi dan penguasa cuma punya sebidang tanah saja saat wafatnya. Kemana hartanya? Pun Ali bin Ali Thalib, terkenal sebagai khalifah dan “commander of the faith” yang miskin. Apa tidak memiliki apapun selama menjabat?

Ada dua kemungkinan terkait ini. Pertama, mereka tidak memiliki apapun selama hidup. Kelihatannya ini mustahil terjadi. Mereka terkenal sebagai pekerja keras. Juga banyak sekali rampasan perang yang mereka dapatkan. Karena itu ada kemungkinan kedua. Yaitu, mereka terlalu “boros” semasa hidupnya.

Bolehkah berlaku “Boros”?

Jawabannya: bisa boleh, bisa tidak. Tergantung motif.

Termasuk kelompok yang paling boros adalah kaum sufi. Macam kenduri dibuatnya. Setiap merasa bahagia, dibuat kenduri. Bagi mereka, kenduri adalah bentuk luapan syukur kepada Tuhan. Kalau sering bersyukur, berarti sering kenduri. Bagi mazhab tertentu, mungkin ini dianggap sebuah bentuk keborosan. Bagi sufi juga iya. Konsumtif memang. Tapi dianggap bernilai ilahi. Bayangkan maulid. Kenduri terus. Ada daerah yang perayaannya sampai 3 bulan. Itu juga salah satu bentuk dari cara membelanjakan harta (infak).

Infak dalam makna positif adalah membelanjakan harta di “jalan Tuhan”. Itu esensi dari infak. Tanpa esensi ini, segala bentuk pengeluaran disebut boros betulan. Boros itu bukan hanya sekedar aktifitas menghambur-hamburkan uang. Melainkan juga sebuah aktivitas pengeluaran tanpa tujuan-tujuan yang berdimensi suci.

Karena itulah, orang-orang boros disebut kawannya setan. “Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. Al Isra: 27). Sebab, uang dibelanjakan secara ingkar, tanpa visi kreatif terkait Tuhan. Temukan alasan bernilai ilahi saat membelanjakan harta. Jika tidak, Anda akan disebut “boros”, bersetan.

Karena itu, ketika seorang istri membelanjakan uang sebesar 10 juta hanya untuk membeli sebatang lipstik, itu bisa menjadi infak. Sejauh ada alasan suci yang mendasarinya. Misalnya agar suaminya senang sehingga Allah juga senang kepadanya. Jadi, bukan sekedar membeli lipstik untuk motif-motif (ego) rendahan. Juga bukan sekedar ingin pamer ke perempuan lain. Apalagi kalau tujuannya untuk menarik perhatian suami orang. Itu sudah jelas haram. Namun jangan gara-gara ingin membeli sebatang lipstik; susu dan pampers anak tidak terbeli. Itu boros, dan bahkan gila namanya.

Infak Personal dan Infak Sosial

Infak adalah “membelanjakan” (menafkahlan) uang/harta; baik untuk diri/keluarga sendiri maupun kepentingan sosial. Terkait nafkah (infak) untuk diri sendiri, seorang Guru sufi berkata, “Janganlah kalian pelit dengan diri sendiri. Kalau ada uang, sesekali belilah baju termahal untuk dirimu sendiri. Makanlah bersama keluarga di restauran super mewah. Terkadang kita baru paham syukur saat menikmati sajian terbaik. Pada hakikatnya, itu semua dari Tuhan”.

Terkait infak (nafkah) sosial, kita juga bisa pelajari dari sahabat nabi, yang jatuh miskin gara-gara sangat boros dalam menginfakkan hartanya untuk agama, untuk perjuangan Nabi. Khatijah yang kaya raya juga habis hartanya untuk membiayai jihad suami. Hal serupa mungkin masih bisa ditemui dalam ordo spiritual tertentu, yang tidak sungkan-sungkan mendermakan semua yang dimiliki, untuk Gurunya. Hal seperti ini mungkin sulit dicerna oleh akal biasa. Meskipun pola ini sering di manfaatkan oleh pseudo-spiritual leaders untuk memperkaya diri.

Membelanjakan harta itu mudah. Tapi memastikan apakah diterima Allah, itu yang sulit. Secara normatif bisa saja kita memiliki niat baik. Tapi niat kita belum tentu disetujui Allah. Bisa saja kita menginfakkan harta untuk masjid. Tapi belum tentu diridhai Allah. Dia maha tau apa yang ada di hati kita. Karena itu, pada level spiritual semacam ini, boros pun harus atas persetujuan Tuhan. Kita berinfak atau tidak, mesti atas kehendak Tuhan. Boros itu bagus, tapi bukan atas keinginan (ego) pribadi. Melainkan atas kemauan Tuhan.

Jadi, setiap belanja yang disenangi Tuhan disebut “infak”. Sebaliknya, kalau tidak direstui, itulah yang disebut “mubadzir”. Mubadzir adalah sebuah tindakan tidak efisien, sia-sia atau berlebihan dimata Tuhan; walau itu hanya 100 Rupiah. Sebaliknya, boros pun tidak apa-apa, asal disukai Tuhan. Sejauh disukai Tuhan, itu namanya “dermawan”.

Kita dilarang untuk kikir/pelit. Sebaliknya, kita dianjurkan untuk boros (berinfak) dalam jalur-jalur yang dicintai Tuhan. Infak adalah perilaku suka buang-buang uang, atau suka membelanja-belanjakan harta untuk hal-hal yang disetujui atau disukai Tuhan. Apakah itu untuk urusan pribadi, keluarga atau kepentingan agama yang lebih luas. Quran mengatakan, infak termasuk investasi yang tingkat pengembaliannya tinggi sekali:

مَثَلُ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ اَنْۢبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِيْ كُلِّ سُنْۢبُلَةٍ مِّائَةُ حَبَّةٍۗ وَاللّٰهُ يُضٰعِفُ لِمَنْ يَّشَاۤءُۗ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ

"Perumpamaan orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah adalah seperti (orang-orang yang menabur) sebutir biji (benih) yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan (pahala) bagi siapa yang Dia kehendaki. Allah Mahaluas lagi Maha Mengetahui" (QS. Al-Baqarah: 261)

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: 
sayyidmuniruddin.com
TikTok: tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/Habib.Munir/
Twitter-Xx.com/saidmuniruddin
Channel WA: The Suficademic
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2

Bagikan:

2 thoughts on “BOROS DI JALAN TUHAN

Leave a Reply to Anonymous Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Next Post

KUNCI SEHAT, NON AKTIFKAN OTAK

Mon Mar 11 , 2024
Jurnal

Kajian Lainnya

SAID MUNIRUDDIN adalah seorang akademisi, penulis, pembicara dan trainer topik leadership, spiritual dan pengembangan diri.