“THE POWER OF SLEEPING”: MENGENAL 4 LEVEL TIDUR YANG BERNILAI IBADAH

Bagikan:

Jurnal Suficademic | Artikel No.36 | Maret 2024

THE POWER OF SLEEPING”: MENGENAL 4 LEVEL TIDUR YANG BERNILAI IBADAH
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

Bismillahirrahmanirrahim.

Empat Level Tidur

Kali ini kami akan kupas makna “tidur”. Untuk menjawab ini, kami akan menjelaskan berbagai jenis tidur yang memiliki kualitas ibadah.

Ada empat ayat yang mendokumentasikan tentang “hirarki tidur”: Al-Furqan 47, Adz-Dzariyat 17-18, Al-Kahfi 18 dan Az-Zumar 42. Kompilasi ayat-ayat ini menjelaskan tentang tidur dalam 4 tingkat: syariat, tarikat, hakikat dan makrifat. Ini ilmu tidur yang sudah sangat tua. Rasul SAW mengajarkan kita untuk tidur pada keempat level ini.

Pertama, Tidur Level “Syariat”

“Tidur adalah ibadah”. Itu hukum umum. Secara alamiah kita butuh tidur dan dilarang bergadang. Melalui tidur energi akan terpulihkan, otak jadi segar dan tubuh kembali sehat. Dengan cukup tidur kita akan kuat dalam bekerja. Untuk itulah Allah menciptakan malam untuk tidur (istirahat), serta siang untuk bekerja. Jadi, dalam konteks umum seperti ini, kita memang di-“syariat”-kan untuk tidur pada waktu yang telah ditentukan. Sebagaimana disebut dalam surah Al-Furqan 47:

وَهُوَ الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ الَّيْلَ لِبَاسًا وَّالنَّوْمَ سُبَاتًا وَّجَعَلَ النَّهَارَ نُشُوْرًا

Dialah yang menjadikan malam untukmu (sebagai) pakaian dan tidur untuk istirahat. Dia menjadikan siang untuk bangkit berusaha (QS. Al-Furqan: 47)

Kedua, Tidur Level “Tarikat”

Tarikat itu ilmu Khizir, yang sekilas seperti mengobrak-abrik hukum syariat. Jika secara formal kita diharuskan tidur pada waktu malam, secara tarikat Anda justru diharuskan untuk bangun. Bahkan menurut tarikat, kita dianjurkan sedikit tidur pada bagian malam tertentu dan disuruh fokus untuk beramal.

Nama amalan ini beragam. Bisa disebut istighfar, tasbih, zikir, tahajud, ataupun tawajuh. Semua ibadah berdimensi tarikat ini merupakan bentuk dari “creative sleeping” (tidur kreatif). Sebab, semua amalan ini dilakukan pada kekhusyukan gelombang Alpha (7-13 Hz), rileks dan meditatif. Apalagi kalau dilakukan di keheningan malam, ini sudah mirip-mirip tidur. Karena itu, ibadah ‘tidur’ semacam ini nilainya lebih tinggi daripada tidur pada level syariat. Terkait tidur pada dimensi “tarikat” dijelaskan dalam surah Adz-Dzariyat 17-18:

 وَبِالْاَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُوْنَ O كَانُوْا قَلِيْلًا مِّنَ الَّيْلِ مَا يَهْجَعُوْنَ

Mereka sedikit sekali tidur pada waktu malam. Dan pada akhir malam mereka memohon ampunan (QS. Adz-Dzariyat: 17-18)

Ketiga, Tidur Level “Hakikat”

Tidur pada level hakikat ditandai dengan hilangnya kesadaran material. Gelombang kesadaran sudah lebih dalam. Mungkin frekuensi otaknya sudah drop ke level Theta (4-7 Hz). Keadaan tubuh sudah “drowsy”, lelah atau fana. Kesadarannya sudah lebur dalam alam visual yang sangat intuitif (dreamy).

Seseorang bisa mengalami keadaan “fana” ini dalam posisi sambil duduk berzikir (meditatif), meskipun badan dan kepala masih bergerak ke kiri dan kanan. Artinya, secara fisik terlihat seolah-olah masih terjaga. Padahal sudah fana. Quran melukiskan ini dengan bahasa: “kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur, badannya bergerak ke kiri dan ke kanan”. Mereka sebenarnya sedang larut di kedalaman zikir. Ahli zikir seperti Ashhabul Kahfi mencari tempat-tempat sunyi dan tertutup seperti gua, untuk mencapai kedalaman tidur pada level “hakikat”. Sebagaimana diterangkan dalam Al-Kahfi 18:

وَتَحْسَبُهُمْ أَيْقَاظًا وَهُمْ رُقُودٌ ۚ وَنُقَلِّبُهُمْ ذَاتَ ٱلْيَمِينِ وَذَاتَ ٱلشِّمَالِ ۖ وَكَلْبُهُم بَٰسِطٌ ذِرَاعَيْهِ بِٱلْوَصِيدِ ۚ لَوِ ٱطَّلَعْتَ عَلَيْهِمْ لَوَلَّيْتَ مِنْهُمْ فِرَارًا وَلَمُلِئْتَ مِنْهُمْ رُعْبًا

Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur; Dan kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua. Dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan diri dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi oleh ketakutan terhadap mereka (QS. Al-Kahfi: 18)

Keempat, Tidur Level “Makrifat”

Makrifat adalah sebuah state of consciousness, yang ditandai dengan pengalaman “perjumpaan”. Para Nabi bisa berjumpa dengan Tuhan, baik dalam keadaan terjaga maupun tertidur. Ruh/jiwa para nabi bisa terkoneksi dengan Allah, baik ketika frekuensi gelombang kesadarannya sangat “hidup/terjaga” (Gamma, +30 Hz) maupun dalam frekuensi yang mirip-mirip “mati/tertidur” (Delta, 0.1-4 Hz).

Jadi pada prinsipnya, ruh mereka tidak pernah tertidur. Selalu dalam keadaan enlightened. Pada level kesadaran inilah Allah “menggenggam” jiwa mereka. Pada level deep sleep ini, seseorang juga bisa “melepaskan jiwa”. Dalam beberapa tradisi asketik juga disebut “mikraj”, “rogo sukmo” dan sebagainya. Artinya, perjalanan menuju Allah bisa ditempuh tanpa harus menunggu mati. Cukup dengan melatih cara tidur yang berdimensi makrifat, ruhani seseorang bisa melesat menuju Tuhannya. Jiwa biasanya akan mudah lepas ketika sangat lelah. Karena itu, dalam tradisi sufistik sangat dianjurkan untuk berkeringat di jalan Tuhan melalui aneka ubudiyah. Para mujahid biasanya mudah tidur, dan bahkan sangat cepat masuk ke gelombang bawah sadar yang memungkinkan jiwanya disambut oleh Allah.

Terkait tidur berdimensi makrifat ini dijelaskan dalam Az-Zumar 42:

اَللّٰهُ يَتَوَفَّى الْاَنْفُسَ حِيْنَ مَوْتِهَا وَالَّتِيْ لَمْ تَمُتْ فِيْ مَنَامِهَاۚ فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضٰى عَلَيْهَا الْمَوْتَ وَيُرْسِلُ الْاُخْرٰىٓ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّىۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ

Allah menggenggam nyawa (manusia) pada saat kematiannya dan yang belum mati ketika dia tidur. Dia menahan nyawa yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan nyawa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat bukti-bukti Allah bagi kaum yang berpikir (QS. Az-Zumar: 42)

Tidur Siang juga Ibadah

Selain istirahat di malam hari, siang hari juga bisa digunakan untuk tidur. Sebagaimana disebutkan dalam surah Ar-Rum ayat 24:

وَمِنْ اٰيٰتِهٖ مَنَامُكُمْ بِالَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَابْتِغَاۤؤُكُمْ مِّنْ فَضْلِهٖۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّسْمَعُوْنَ

Di antara tanda-tandaNya ialah tidurmu pada waktu malam dan siang serta usahamu mencari sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan (QS. Ar-Rum: 23)

Ini yang kemudian dalam hadis disebut “qailullah”, atau tidur siang dengan cara dan tujuan tertentu:

قيلوا فإن الشياطين لا تقيل

“Tidurlah qailulah (tidur siang) karena setan tidaklah mengambil tidur siang” (HR Abu Nu’aim dalam Ath-Thibb 1: 12; Akhbar Ashbahan, 1: 195, 353; 2: 69)

Kenapa tidur siang dinilai penting?

Sebenarnya bukan pada tidurnya. Melainkan pada signifikansi spiritualnya. Tidak mau tidur siang pun tidak apa-apa. Tapi ada esensi yang dapat diperoleh dari tidur itu. Secara syariat pun, kalau sudah lelah bekerja dan otak tegang akibat beban pikiran, Anda perlu beristirahat. Apalagi kalau cuaca sangat terik. Tidur saja, walau sejenak. Ketika bangun pasti fresh. Kalau badan sudah segar, kinerja dan produktifitas dalam mencari karunia Allah juga akan meningkat.

Kenapa ada sholat zuhur di puncak siang, tujuannya juga itu. Untuk mengistirahatkan otak. Di sholat zuhur itu kita bisa memulai proses “tidur”. Sholat yang baik tentu dilakukan dalam getaran otak yang rileks atau khusyuk (gelombang Alpha).

Sebenarnya susah sekali untuk khusyuk saat sholat. Pikiran kita pasti tegang dan melayang kemana-mana. Karena itu, banyak orang yang tidak mengalami pencerahan spiritual setelah sholat. Pikirannya dan wataknya masih kacau. Sebab, otak tidak benar-benar “off”. Jiwa tidak mengalami perjumpaan dengan Tuhan sewaktu sholat.

Untuk itulah perlu zikir (tawajuh) lebih lanjut setelah sholat, selama 10-40 menit. Tujuannya adalah untuk kembali menurunkan gelombang kesadaran, hingga benar-benar “tertidur”. Otak harus diurut agar menjadi rileks, dan bahkan sampai mengalami aneka visualisasi spiritual.

Tidur dalam zikir itulah yang menjadi amalan orang-orang shalih. Mereka mengurangi tidur untuk memperbanyak zikir. Bukan berarti mereka tidak tidur. Mereka tidur. Hanya saja caranya berbeda. Mereka memperbanyak tidur justru dalam proses zikir. Sedangkan orang awam awam, tidur dilakukan justru karena malas berzikir. Tidur inilah yang mengundang setan.

Tidurnya Orang Berpuasa adalah Ibadah

Banyak orang yang sakit selama bulan puasa, tok gara-gara kebanyakan tidur. Akibat kelamaan tidur; badannya jadi pegal, aura tubuhnya memburuk, kepalanya mengalami sakit, flu dan demam. Pada level ini, tidur justru menjadi dosa.

Karena itu, kita harus kembali memahami makna tidur. Tidur bukan hanya aktifitas “mengorok” sepanjang hari atau sepanjang malam. Kalau sudah lelah dan mengantuk sekali, silakan tidur. Secara syariat dibenarkan untuk itu. Tapi, banyak orang justru tidur karena sifat malas. Karena malas, tidak tau mau kemana dan mengerjakan apa lagi, tidur dia. Padahal tubuhnya belum membutuhkan istirahat. Tidur model inilah yang mengundang penyakit. Al-Ghazali sendiri melarang banyak tidur selama bulan puasa, mengingat masalah yang diakibatkan oleh itu:

بل من الآداب أن لا يكثر النوم بالنهار حتى يحس بالجوع والعطش ويستشعر ضعف القوي فيصفو عند ذلك قلبه

Sebagian dari tata krama puasa adalah tidak memperbanyak tidur di siang hari, hingga seseorang merasakan lapar dan haus dan merasakan lemahnya kekuatan, dengan demikian hati akan menjadi jernih” (Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumid Din, juz 1, hal. 246).

Sementara, tidur dalam makna sufistik adalah simulasi untuk menurunkan gelombang kesadaran, dari Beta (13-30 Hz) ke Alpha (7-13 Hz), selanjutnya ke Theta (4-7 Hz) dan Delta (0.5-4 Hz). Upaya untuk mencapai ini dilakukan dengan cara kreatif. Ada kaifiyatnya. Ada Asma-Asma yang digunakan untuk masuk dari satu level kesadaran ke level berikutnya. Ada titik fokus ruhaniahnya. Ada perjalanan jiwa yang ditempuh, sehingga ia bisa hadir ke hadapan Tuhannya.

Jenis “tidur sufistik” inilah yang seharusnya diperbanyak selama bulan puasa. Sebanyak-banyaknya. Siang dan malam. Pagi dan petang. Jenis tidur inilah yang paling bernilai ibadah. Sebab, bulan puasa paling mudah untuk mensimulasikan “creative sleeping” (zikir). Kondisi perut yang lapar menyebabkan mata mudah mengantuk. Dalam kondisi ini, orang awam dan anak-anak memilih untuk tidur. Sedangkan para spiritualis akan duduk memejamkan mata untuk berzikir. Mereka memilih tidur dengan cara kreatif.

Itulah tidur yang dimaksud Nabi, bahwa, “tidurnya orang berpuasa adalah ibadah”. Ini merupakan sebuah model tidur yang bernilai tasbih, yang amal ibadahnya dilipatgandakan, doanya dikabulkan dan dosanya diampuni. Seperti sabda Beliau:

نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ وَصُمْتُهُ تَسْبِيْحٌ وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ وَذَنْبُهُ مَغْفُوْرٌ

Tidurnya orang puasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, amal ibadahnya dilipatgandakan, doanya dikabulkan, dan dosanya diampuni” (HR Baihaqi)

Penutup

Dalam surah An-Naba 9 dikatakan:

وَجَعَلْنَا نَوْمَكُمْ سُبَاتًا

“Dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat" (QS. An-Naba: 9)

Ayat ini menyimpulkan, fungsi tidur adalah untuk istirahat. Kata “subata” dalam ayat ini memiliki dua makna. Secara syariat berarti istirahat secara fisik. Tentu tidak ada perdebatan lagi, bahwa fungsi tidur memang untuk istirahat. Namun secara spiritual, kata “subata” mengandung makna lebih dalam. Tidur itu adalah proses ‘kematian otak’ (akal/pikiran) dalam perjalanan menuju Tuhan. Dalam dimensi tarikat, hakikat dan makrifat, “subata” adalah bentuk relaksasi untuk menurunkan gelombang kesadaran, sehingga jiwa bisa berjalan menuju Tuhan. “Subata” adalah bentuk kematian iradhi, upaya kita mematikan/mengistirahatkan diri agar kesadaran kita sampai kepada Tuhan.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: 
sayyidmuniruddin.com
TikTok: tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/Habib.Munir/
Twitter-Xx.com/saidmuniruddin
Channel WA: The Suficademic
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2

Bagikan:

One thought on ““THE POWER OF SLEEPING”: MENGENAL 4 LEVEL TIDUR YANG BERNILAI IBADAH

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Next Post

BUKA PUASA BERSAMA LPM PERSPEKTIF

Mon Mar 18 , 2024
SAID

Kajian Lainnya

SAID MUNIRUDDIN adalah seorang akademisi, penulis, pembicara dan trainer topik leadership, spiritual dan pengembangan diri.