JEJAK PLATO DAN ARISTOTELES PADA SOSOK MUHAMMAD

Bagikan:

Jurnal Suficademic | Artikel No.54 | Oktober 2024

JEJAK PLATO DAN ARISTOTELES PADA SOSOK MUHAMMAD
Oleh Said Muniruddin

Bismillahirrahmanirrahim.

Wujud itu ada dua. Pertama, ada dalam pikiran (idea). Kedua, ada dalam kenyataan (reality). Keduanya sama penting. Sebab, realitas adalah wujud yang “tercetak” setelah sebelumnya ada dalam pikiran. Bayangkan lembaran koran atau buku gambar. Itu tidak bisa tercetak, kalau sebelumnya tidak ditulis atau dilukis secara baik dalam otak komputer.

Dalam makna yang sama, sebelum tercipta, wujud alam semesta sudah ada dalam “otak” (ilmu) Tuhan. Tuhan itu, walau gambaran tentang-Nya sangat utopia (sempurna), tapi wujud-Nya absolut. Lebih absolut dari semua realita yang ada.

Dari sini kami coba jelaskan tentang dua kutub pemikiran, antara guru dan murid. Antara Plato (427-348 SM) dan Aristoteles (384-322). Aristoteles adalah guru dari Iskandar Zulkarnain (Alexander The Great). Aristoteles pernah belajar selama 20 tahun dengan Plato di Athena. Orang-orang mengira, pemikiran dua filsuf Yunani ini saling bertentangan. Padahal, keduanya saling melengkapi.

Plato menekankan pentingnya wujud awal. Bagi dia, abstraksi utopis atau sesuatu yang secara ideal dibayangkan dalam pikiran, adalah sesuatu yang sangat esensial. Sementara muridnya Aristoteles menekankan bagaimana sesuatu itu menjadi riil ketika bisa di konversi secara empiris dan praktis di dunia sensibel.

Kedua pemikiran ini saling terkait. Sama penting. Karena, dari kenyataan pertama (alam pikiran) lahir kenyataan kedua (alam materi). Karena itulah, filsafat Plato digambarkan sebagai pemikiran berdimensi “surgawi”. Sementara, pemikiran Aristoteles berwarna “duniawi”.

Bagi Plato, yang paling urgen itu adalah bagaimana kita bermikraj untuk mencapai kesadaran pada dimensi nirwana. Bagi Aristoteles, yang paling krusial itu adalah bagaimana kita berjihad untuk menata dimensi dunia. Keduanya sekilas terlihat berbeda. Padahal tidak.

Begini. Kalau ditarik dalam perspektif spiritual, khususnya Islam, apa yang disampaikan Plato itu benar adanya. Bahwa, sebelum mewujud di alam “dunia” (kasat), segala sesuatu sudah ada wujudnya di alam “surga” (alam ruh). Alam ruh adalah alam disain, alam imajinal, alam takdir, alam pola dasar, alam subsconscious, alam blueprint awal, alam pikiran Tuhan. Itulah alam utopia, alam idea. Alam wujud pertama, dan juga nyata adanya secara esensial.

Kemudian, Aristoteles menurunkan pemikiran utopis ini ke alam dunia. Bahwa ada realitas kedua yang akan terwujud, paska alam pertama. Dunia materi, realitas duniawi, nasib manusia, keberlimpahan rejeki, kebahagiaan di muka bumi; menurut Aristoteles itu semua adalah kenyataan penting yang bisa dirasakan oleh manusia. Kehidupan duniawi adalah realitas yang juga tidak kalah pentingnya bagi manusia.

Plato menekankan pentingnya “realitas internal” (dunia esoterik). Aristoteles menekankan signifikan “realitas eksternal” (dunia eksoterik). Kedua pemikiran mereka, dalam satu garis lurus, melukiskan keberadaan wujud batin sekaligus wujud zahir dari sesuatu. Kedua wujud ini ada, dalam satu garis yang sama.

Jadi, “bentuk” (forma) segala sesuatu itu ada dua. Ada dalam wujud batiniah, yang berada di luar ruang dan waktu. Sekaligus lahiriah, terikat dengan ruang dan waktu. Bagi kaum Platonis, wujud kita itu secara elementer ada dalam dimensi “abstrak”. Aslinya kita adalah ruh, azali karakternya. Bagi Aristotelian, manusia adalah juga wujud “konkrit”. Sisi material kita, walau baharu, juga sebuah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri.

Dari dua pemahaman terhadap wujud atau bentuk dari Plato dan Aristoteles, lahirlah pemikiran sufisme dan syariat. Kaum sufi menekankan pemikiran Platonik. Dimensi ruh adalah kenyataan yang harus mendapat perhatian paling besar. Karena ruh adalah wujud awal dari sesuatu. Kalau ruh tidak didisain secara baik sejak di alam takdir (alam rahim/alam utopia/alam pikiran ketuhanan), maka nasib manusia nantinya secara lahiriah akan menjadi buruk (mengalami qadha buruk). “Jika suatu kaum ingin mengubah nasib duniawi, ubah terlebih dahulu esensi dari jiwa mereka” (QS. Ar-Rad: 11).

Sedangkan kaum Aristotelian menekankan pada syariat. Bahwa penting bagi manusia untuk memperindah sisi-sisi material dari diri dan kehidupan dunianya. Sebab, bagi kelompok ini, jasad/materi adalah sebuah kenyataan tersendiri. Mazhab syariat Aristotelian menekankan pentingnya usaha-usaha yang bersifat material. Tindakan (action) adalah sesuatu yang akan menyebabkan sesuatu terjadi. Ide/mimpi tidak akan menjadi realita, jika tidak ada ikhtiar yang memadai. Sukses dalam dunia materi membutuhkan konsistensi dan persistensi perjuangan.

Kita tidak mempertentangkan dua kutub pemikiran ini. Baik Plato (sufisme) dan Aristo (syariat), keduanya memiliki realitas tersendiri, yang harus diurusi. Sufisme Plato dan syariatnya Aristo, keduanya penting bagi kita.

Hanya saja, kita perlu memahami. Bahwa, pemikiran Platonisme mendahului Aristotelianisme. Pemikiran sufistik mendahului syariat. Kita harus punya kesadaran, bahwa wujud/bentuk pertama kita adalah “ruh”, sebelum menempati “jasad”. Jauh sebelum segala sesuatu terwujud di dunia materi, semua ada bentuk-bentuknya di alam pemikiran Ilahi (alam ide/alam takdir/alam mimpi/alam utopia).

Kenyataan duniawi, itu memang nyata adanya. Tapi jangan lupa, wujud duniawi kita harus dicari bentuk terbaiknya sejak di alam utopia. Manusia, melalui kesadaran meditatif subsconscious, bisa naik ke alam abstraksi awal untuk menata kembali gelombang energi, agar ketika turun ke dunia menjadi selaras dengan alam semesta. Hanya dengan cara ini pencapaian manusia menjadi ideal dan membahagiakan.

Muhammad SAW sejak muda sudah intens melakukan ritual untuk masuk ke alam Platonik (ide-ide surgawi), di Gua Hirak dan sebagainya. Sehingga dikemudian hari ia mengalami epifani dan menemukan visi yang kuat tentang dunia. Di alam utopis ini ia merumuskan wujud futuristik terbaik bagi umatnya. Lalu secara material pula ia berjihad untuk mewujudkan itu di tengah masyarakatnya. Mimpinya tidak terkubur mati. Sebab, ia mampu membangun gerakan untuk membuat ide-idenya menjadi kenyataan di tengah komunitasnya.

Muhammad itu sosok nabi, perpaduan Plato dan Aristoteles. Ia seperti Plato, yang menemukan visi langit (dunia ideal/pemahaman hakikat/visi luhur quranik) tentang segala sesuatu. Sekaligus secara praktis, Muhammad mewarisi Aristoteles, yang secara empirik-syariatis mampu mewujudkan ide-idenya di ranah materi. Muhammad itu makhluk langit, sekaligus makhluk bumi. Muhammad itu Ruh Ilahi yang menemukan wadah materi. Dua kenyataan ini, utopis dan empiris, ada dalam dirinya. Apa yang ada dalam pikirannya, bisa ia tunjukkan ketauladanan bagaimana cara membuat itu semua menjadi realita bagi dunia.

Muhammad adalah Plato sekaligus Aristo-nya Arab. Muhammad adalah kumpulan warisan dari kecerdasan dan kebajikan Yunani, di dunia Arab. Bahkan, kalau Plato dan Aristoteles mungkin hanya terhenti pada level filsafat dan pemikiran aqliyah an sich, Muhammad sudah sampai pada level pembuktian yang sangat dalam. Ia telah mengalami secara sempurna apa-apa yang ada dalam pemikiran makrifat Plato. Ia juga sudah melakukan hal-hal praktis yang diteoritisasikan Aristoteles.

Sebenarnya, pemikiran hakikat (sufistik) Plato juga tidak terlepas dari keberadaan gurunya, Socrates (470-399 SM). Socrates adalah sosok yang dikenal telah menempuh “jalan kematian secara sukarela”, atau apa yang dikenal dalam dunia sufi sebagai “mutu qabla anta mutu”. Jadi, guru-guru terawal di Yunani memiliki pandangan-pandangan filosofis-makrifatis. Pertanda bahwa ilmu-ilmu Tuhan bukan cuma turun di dunia timur (Arab) saja. Jauh sebelumnya, di barat (Yunani) pun sudah ada.

Karena itu bisa kita lihat, evolusi pemikiran Yunani kuno dari Socrates dan Plato ke Aristoteles adalah evolusi pemikiran dari dimensi hakikat ke syariat. Hal yang sama juga terjadi dalam dunia Arab. Pemikiran-pemikiran mistis metafisis (hakikat/mutasyabihat) Muhammad, dalam perkembangan zaman terlihat cenderung menguat ke dimensi dan tafsiran-tafsiran lahiriah (syariat).

Kalau Anda menekankan pada pentingnya argumentasi logika dan syariat, Anda sebenarnya sedang bermazhab Aristotelian. Kalau Anda percaya pada pentingnya akal filosofis hakikat, Anda tanpa sadar telah bermazhab Platonik. Tetapi, kalau Anda bisa mengintegrasikan keduanya secara sempurna, Anda bermazhab Muhammad.

BACA: Kunci Sukses, Ubah Dulu Takdir Baru Berikhtiar

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: 
sayyidmuniruddin.com
TikTok: tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/Habib.Munir/
Twitter-Xx.com/saidmuniruddin
Channel WA: The Suficademic
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2

Bagikan:

One thought on “JEJAK PLATO DAN ARISTOTELES PADA SOSOK MUHAMMAD

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Next Post

ANTUSIASME PESERTA PELATIHAN PENINGKATAN KAPASITAS APARATUR DESA 2024

Tue Oct 8 , 2024
SAID

Kajian Lainnya

SAID MUNIRUDDIN adalah seorang akademisi, penulis, pembicara dan trainer topik leadership, spiritual dan pengembangan diri.