“THERE IS NO FREE LUNCH”

Bagikan:

Jurnal Suficademic | Artikel No.61 | Oktober 2024

“THERE IS NO FREE LUNCH”
Oleh Said Muniruddin

“Tidak ada yang namanya makan siang gratis”. Itu hukum umum. Baik dalam ekonomi maupun politik. Anda harus membayar semuanya. Kalau bukan Anda, ada orang lain yang akan menanggung bebannya.

***

Ada masjid yang tiap Jumat menyediakan makan siang gratis. Tidak gratis itu. Ada sejumlah orang yang membayarnya. Kalau tidak dibayar lagi oleh para dermawan tersebut, bisa bubar programnya.

Ada universitas yang sejumlah mahasiswanya digratiskan. Itu hanya terjadi setelah SPP sejumlah mahasiswa lainnya dinaikkan. Terkesan gratis. Padahal yang terjadi adalah subsidi silang. Seseorang harus membayar untuk yang lain.

Ada resto yang menyediakan makan siang gratis. Tapi minumnya bayar. Tidak gratis juga sebenarnya. Biaya makanan sudah disertakan pada harga minuman. Anda wajib minum. Sebab, yang disediakan adalah jenis makanan yang kalau tidak minum bisa mati Anda.

Ada supermarket di sebuah tempat yang mendiskon barang-barangnya. Apa betul itu diskon? Tidak. Sebab, pada saat yang sama, supermarket ini yang berlokasi di tempat lain sedang dinaikkan harganya.

Ada platform media sosial yang disediakan secara gratis. Iya, gratis untuk konsumen pencari barang. Tapi bayar untuk para produser yang ingin meng-iklan-kan barangnya. Media sosial adalah “pasar” yang diciptakan untuk mempertemukan pembeli dan penjual. Ada yang membayar untuk penggunaannya.

Secara ekonomi, rumusnya begitu. Tidak ada yang gratis.

***

Lalu bagaimana dengan program “makan siang gratis” (kemudian diubah menjadi “makan bergizi gratis”) pak Presiden kita? Betulan gratis, atau bagaimana?

Program makan gratis ini agenda yang lahir dari kampanye politik. Tentu saja tidak gratis. Sebab, pertama, kita harus terlebih dahulu memenangkan pak Prabowo agar program “makan siang” untuk anak-anak kita menjadi ada. Selain itu, perubahan nama dari “makan siang gratis” menjadi “makan bergizi gratis” juga masih mempertahankan kata “gratis”.

Kata “gratis” menjadi kunci dalam program ini. Secara politik ini penting bagi pemerintah. Sebab, kata “gratis” memiliki magnet yang sangat populis. Dari kata “gratis” terpancar aura kedermawanan sang pemimpin. Meskipun biaya itu semua juga diambil dari pajak yang telah dibayarkan rakyat. Kalau program-program “gratis” berjalan secara baik dan merata, sang presiden bisa terpilih dua periode.

Kedua, dalam kalkulasi ekonomi, program ini sebenarnya juga “tidak gratis”. Sebab harus dibayar oleh sesuatu yang lain. Seperti kata Milton Friedman, ekonom free-market economy. Ia percaya bahwa “There’s no sich Thing as Free Lunch” (1975). Tidak ada yang namanya makan siang gratis. Dalam buku public policy-nya itu ia menjelaskan, bahwa yang berlaku adalah skema “opportunity cost”. Ada biaya lain yang dikorbankan, untuk membiayai sesuatu yang lain.

Kenyataannya begitu. Seperti disinggung pak Prabowo saat sidang kabinet perdana (Rabu, 23/10/2024). Ia meminta Menkeu dan para Menko untuk menyisir kembali alokasi APBN. Ada banyak sekali seremoni, seminar dan perjalanan pejabat yang boros dan tidak berguna. Itu harus ditata ulang. Dengan efisiensi disana-sini, makan siang anak-anak kita tidak hanya gratis. Boleh jadi juga berkualitas. Kalau ini terjadi, cocok namanya berubah menjadi “Makan Bergizi Gratis” (MBG).

Hanya saja, apakah Anda percaya pemborosan oleh para pejabat negara akan berkurang dimasa Pak Prabowo? Atau justru semakin boros? Dari jumlah anggota kabinet yang semakin gemuk, alih-alih kinerja akan semakin efisien, curiga kita justru semakin boros. Tapi kita lihat saja nanti.

Memang masih menjadi pertanyaan kita, biaya mana yang akan diolah untuk menciptakan makan masal secara reguler, bergizi dan gratis. Program ini katanya bisa menelan anggaran 460 Triliun. Apakah benar akan dijalankan dengan mengurangi pemborosan yang dilakukan pejabat negara? Atau dengan mengocok ulang manfaat 500 Triliun dana bantuan sosial? Atau menyulap kembali alokasi dana pendidikan yang sebesar 660 Triliun itu? Atau justru akan ada biaya lain yang dipungut dari rakyat? Atau bagaimana?

***

Karena ini sudah menjadi janji sang Presiden, kita berharap dapat terlaksana dengan baik dan benar. Pelaksanaannya, idealnya tentu untuk mencapai “kesejahteraan” rakyat. Meskipun dalam pengalaman politik, selalu muncul praktik-praktik pragmatis dibalik itu.

Syukur kalau ada UMKM atau BUMDes diseputaran sekolah yang tumbuh dengan program yang tahun 2025 dianggarkan sebesar 71 triliun ini. Ini setara dengan jumlah Alokasi Dana Desa (ADD) nasional pertahun. Khawatir kita, alokasi yang besar ini hanya untuk menghidupkan ekonomi kontraktor dalam jaringan politik tertentu saja. Sebab, dari praktik ekonomi dan politik Pancasila yang sudah puluhan tahun berjalan, rasa-rasanya pembangunan kita lebih mengarah ke oligarkhisme daripada sosialisme.

Syukur juga kalau siswanya setelah adanya program ini jadi kenyang dan sehat. Khawatir kita, tidak begitu. Sekali dua kali, iya bergizi. Lama-lama, kita lihat saja nanti. Anda bisa lihat sendiri kualitas project di negeri kita. Sulit kita percaya akan sustainable kualitasnya. Kalaupun nanti akan berkurang gizinya, kita juga tidak bisa protes. Sebab, itukan makan “gratis”. Kalau mau bergizi, mungkin harus beli sendiri.

Untuk atlit PON kemarin juga dikabarkan begitu. Dalam kontrak, harga nasi kotak Rp 50.900 ribu perporsi. Yang diterima, harganya ditaksir sekitar Rp 15.000 perporsi (AJNN, 14/9/2024). Apalagi untuk “makan siang gratis” siswa. Curiga kita. Harga perporsi katanya Rp 15.000. Tapi sudah dievaluasi menjadi Rp 7.500. Kita tidak tau, berapa yang akan diterima oleh anak-anak. Dengan harga segitu, apakah betulan ada gizinya. Tapi kita percaya saja kepada pemerintah. Katanya sudah mulai ada uji coba kadar gizinya.

Sejauh ini kita percaya-percaya saja dengan Presiden kita. Tak ada yang bisa kita lakukan, selain percaya, dan mendorong beliau agar terus bekerja untuk memfinalisasi sumber dana, besaran alokasi, nilai gizi dan mekanisme pelaksanaan programnya.

Disisi lain kita juga kita sepakat, seperti tersebut dalam Surah Quraisy ayat 4, tugas pemimpin ada dua. Pertama, “ath’amahum min juu-‘in” (mengenyangkan yang lapar). Kedua, “wa aamanhum min khaufin” (membuat hati jadi tenang). Program “kenduri” ini masuk kategori pertama.

Selamat bekerja Pak Presiden!

SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: 
sayyidmuniruddin.com
TikTok: tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/Habib.Munir/
Twitter-Xx.com/saidmuniruddin
Channel WA: The Suficademic
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2

Bagikan:

One thought on ““THERE IS NO FREE LUNCH”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Next Post

REFLEKSI 96 TAHUN SUMPAH PEMUDA: DIMANA LEVEL KECERDASAN PEMUDA KITA?

Mon Oct 28 , 2024
Jurnal

Kajian Lainnya

SAID MUNIRUDDIN adalah seorang akademisi, penulis, pembicara dan trainer topik leadership, spiritual dan pengembangan diri.