
Jurnal Suficademic | Artikel No.67 | November 2024
PILKADA: VISI, MISI DAN FANTASI
Oleh Said Muniruddin
Bismillahirrahmanirrahim.
Kita mau Pilkada serentak, tanggal 27 November 2024 nanti. Ini lagi musim debat. Setiap kandidat, apakah gubernur ataupun bupati, sedang giat memaparkan janji. Semua itu kita kenal dengan istilah visi misi.
Saya tidak mau mengomentari visi misi masing cagub atau cabup yang sedang berkontestasi. Saya hanya ingin nimbrung membahas makna visi misi. Serta bedanya dengan fantasi. Terkadang, dua hal ini susah dibedakan.
***
Visi adalah sesuatu yang seharusnya Anda lihat melalui “mata” bawah sadar. Wujudnya mesti jelas sekali. Sampai-sampai Anda merasa, bahwa itu sudah terjadi. Karena itulah, visi bisa diwujudkan. Sebab, gambaran mentalnya sangat kuat. Bahkan Anda juga melihat jalan untuk merealisasikannya. Tidak ada keberatan sedikitpun dalam diri Anda untuk membayangkan ini, beserta misi untuk mencapainya. Gambaran ini terus melekat, dan akan Anda kejar sepanjang waktu. Anda bahkan rela mati untuk itu. Sebab, itu bagian dari belief system. Bayangan tentang inilah yang membuat Anda terus bersemangat. Bayangan inilah yang kemudian menyemangati orang-orang. Karena itu, pasti terjadi!
Berbeda halnya dengan fantasi. Fantasi adalah khayalan yang tidak mengakar. Fantasi ini mirip obrolan orang menganggur di warung kopi. Sekilas, bahasannya terdengar menarik. Tapi segera dilupakan begitu tegukan kopi terakhir telah diselesaikan. Topik-topik fantasi terkadang juga dibahas secara “sadar”. Tapi gambaran mentalnya tidak kuat. Mungkin sekedar untuk menghibur diri.
Topik-topik fantasi sering muncul secara tiba-tiba. Lalu juga hilang secara tiba-tiba. Fantasi ini juga disebut sebagai “thulul amal”, panjang angan-angan atau imajinasi yang lahir dari jiwa yang terganggu. Kalau khayalan semacam ini muncul mendadak saat makan atau minum, bisa kesedak Anda. Tubuh Anda sendiri sebenarnya sudah “reject” dengan khayalan yang tidak berujung.
Bayangkan, ketika para kandidat tampil dihadapan publik dengan aneka fantasi, yang ia sebut sebagai visi dan misi. Terkadang, karena tidak sanggup membayangkan tentang kondisi ideal sosial ekonomi masa depan, kita cenderung mengglorifikasi masa lalu. Pokoknya seperti itu!
Orang Aceh misalnya, termasuk kaum yang masih terjebak di masa lalu. Sosok Iskandar Muda sudah menjadi ikon sejarah. Kalau ingin maju, seolah-olah harus kembali ke jaman itu. Punya sejarah yang bagus, itu bagus. Itu modal “memorial” yang bagus. Tidak semua bangsa punya ingatan indah tentang masa lalu. Tapi tidak bagus kalau ingin maju dengan terus melihat ke belakang. Tataplah ke depan. Masa lalu hanya menjadi input data, untuk menentukan berapa langkah lagi kita harus maju.
Sebenarnya. Kalau ingin maju, lihatlah tetangga kita sekarang. Lihat provinsi sebelah, atau negara seberang. Siapa yang paling maju. Lalu telusuri. Bagaimana caranya kita bisa lebih maju dari itu. Nabi saja misalnya, menyuruh kita belajar ke Cina. Kelihatannya, ada sesuatu yang futuristik dalam visi keduniaan bangsa Tionghoa. Sejak dulu Cina sudah maju dan berperadaban. Cina sekarang juga telah menjadi nomor dalam banyak bidang. Tidak mesti Cina. Negara lainnya juga banyak yang bisa dijadikan pelajaran tentang kemajuan.
Bukan cuma orang Aceh, umat Islam secara umum juga suka membayangkan masa lalu. Masa dimana Nabi dan para sahabatnya masih hidup. Apa hebatnya coba? Padahal, pada masa itu tidak ada jalan aspal. Tidak ada pesawat. Tidak ada listrik. Tidak rumah sakit. Tidak ada sekolah. Tidak ada hp. Tidak ada internet. Apa Anda mau naik gerobak, kuda dan unta lagi?
Mungkin kita ingin mengambil nilai-nilai kesucian, kegigihan dan spirit keberpihakan sang Nabi terhadap rakyat. Kalau itu saya setuju. Sangat setuju. Beliau adalah contoh sempurna tentang nilai dan tindakan, untuk tantangan di zamannya. Dalam urusan ini, kita harus terhubung dengan “ruh” Beliau. Selebihnya, bagaimana cara kita mendisain manajemen, sistem dan teknologi pelayanan publik untuk masa depan, itu harus dengan visi kita sendiri. Antum a’lamu biumuri dunyakum. “Kalian lebih tau urusan dunia kalian”, kata Nabi.
Karena itulah dalam Islam ada konsep “Al-Mahdi”. Al-Mahdi adalah sosok futuristik. Al-Mahdi adalah sosok masa depan, yang mewarisi wisdom masa lalu. Al-Mahdi adalah konsep Islam tentang kepemimpinan, keadilan dan kemakmuran di masa depan. Di tengah situasi yang terkadang “hopeless”, alih-alih melihat ke belakang, kita diajak untuk percaya bahwa masa depan itu ada.
Kita harus optimis, pemimpin visioner akan terus lahir. Orang-orang ini punya mata batin dan gagasan terbaik tentang masa depan (makrifah). Selain juga punya keberanian (saja’ah) dan keberpihakan sosial yang tinggi (raufurrahim). Kalau ini dimiliki, setiap pemimpin adalah “al-mahdi” untuk masing zaman dan daerahnya. Kalau tidak, setiap pemimpin pasti akan menjadi “dajjal” untuk masing wilayahnya. Zalim dan korup. Matanya “buta sebelah”. Yang dikejar hanya interest duniawinya saja.
***
Ada sejumlah teknik untuk menggali visi. Itu dilakukan tidak hanya melalui “diskusi publik”. Diskusi publik adalah mekanisme “alam sadar” (akal/logika) untuk membangun mimpi, beserta indikator-indikator logis dalam pencapaiannya. Semacam “SMART” (specific, measurable, achievable, relevant, timely). Mimpi yang sebenarnya, yang kuat getarannya, itu justru harus terlebih dahulu dibangun secara smart, tapi dalam “pikiran bawah sadar” (emosi). Yaitu dari refleksi mendalam atas sesuatu yang sedang terjadi dan harapan terhadap masa depan.
Bahkan lebih tinggi lagi, ada visi yang turun dari langit; bukan lagi khayalan pribadi dan tim suksesnya. Pada level ini, “pikiran atas sadar” (ruh) seorang calon pemimpin harus telah bekerja dengan baik guna menangkap pesan-pesan Tuhan. Ketika lahir pemimpin model ini, sistem yang sedang berjalan sebenarnya bukan lagi murni “demokrasi”. Melainkan sudah masuk ke dimensi “teokrasi”.
Dalam sistem teokratis, sebuah visi lahir dari pikiran Tuhan (ilham). Pun setiap misinya, akan digerakkan oleh Tuhan. Tangan Tuhan yang bekerja. Untuk konteks teokrasi, seorang pemimpin sudah menjadi “khalifatullah”; wadah tempat Tuhan berbicara tentang adil dan ihsan. Orangnya pasti sangat pro-rakyat. Dicintai masyarakat. Sekaligus dibenci oligarkhi.
Ada kandidat dalam Pilkada yang tidak punya visi. Visinya ada. Tapi hanya menerima visi yang di create oleh tim suksesnya. mungkin sekedar untuk memenuhi aturan Pilkada. Bukan sesuatu yang lahir dari alam kejiwaannya. Karena itu, ketika terpilih, sang pemimpin ini tidak peduli lagi dengan visi dan misi yang telah dirumuskan sebelumnya. Lupa pun dia apa visinya. Karena itulah kita melihat banyak pemimpin yang berjalan autopilot. Dia jalan sendiri, visinya jalan sendiri, timsesnya jalan sendiri, SKPD juga jalan sendiri-sendiri. Anggaran habis terserap, tanpa arah. Boros dan tidak efektif. Kekayaan tertimbun di satu pihak. Kemakmuran tidak merata. Pemimpin seperti ini sebenarnya hidup dengan fantasi. Bukan dengan visi.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: sayyidmuniruddin.com
TikTok: tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/Habib.Munir/
Twitter-X: x.com/saidmuniruddin
Channel WA: The Suficademic
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2
One thought on “PILKADA: VISI, MISI DAN FANTASI”