
APA DOSA TERBESAR SETELAH SYIRIK?
Oleh Said Muniruddin
Bismillahirrahmanirrahim.
Suatu ketika, di Masjid Almizan Fakultas Ekonomi dan Bisnis FEB Universitas Syiah Kuala. Seperti biasa, setelah shalat ashar, ada pembacaan hadis oleh mahasiswa. Langsung ia maju dan membuka sebuah buku hadis berjudul “Al-Lu’lu’ wal-Marjan” (M.F. Abdul Baqi’, Darul Hadist Qahirah, cetakan 21, tahun 2018). Buku ini berisi kumpulan hadis shahih dari Bukhari dan Muslim.
Di halaman 26, masih dalam bab satu terkait iman, terdapat topik tentang syirik dan dosa besar. Bahwa, seseorang bertanya kepada Nabi, apa dosa terbesar. Nabi menjawab, “dosa terbesar adalah syirik”. Lalu ia kembali bertanya, apa dosa terbesar setelah itu. Nabi menjawab, “membunuh anak sendiri karena takut ia akan meminta makanan kita”. Lagi-lagi ia bertanya, setelah itu apa lagi. Nabi kembali menjawab, “menzinahi istri tetangga”.
Setelah jamaah bubar, saya menyempatkan untuk mengambil foto redaksi hadisnya. Bunyi lengkap hadisnya adalah seperti berikut:

Penekanan ucapan Nabi pada kalimat “membunuh anak yang akan yang akan makan bersama” dan “menzinahi istri tetangga” tentu akan memicu pertanyaan bagi yang berpikir. Si mahasiswa yang tergabung dalam LDK Almizan ini hanya bertugas membaca hadis. Bukan mengulas dan menganalisis hadis. Apa yang tertulis, itulah yang disampaikan.
Benar. Setelah pembacaan hadis selesai, spontan ada satu jamaah, seorang staf pengajar iseng bertanya ke saya. “Yed, kenapa membunuh anak sendiri yang akan makan bersama kita dan menzinahi istri tetangga; termasuk dosa terbesar setelah syirik ya?”. Kenapa ada penekanan “anak sendiri yang akan makan bersama kita” dan “istri tetangga”.
Saya menjawab. Begini. Dosa terbesar adalah syirik. Itu sudah jelas. Tuhan tidak mau diduakan. Bisa sakit hati Dia. Tuhan itu maha pencemburu. Kalau kita cari pengganti selain Dia, Tuhan akan marah besar. Bisa-bisa tidak diampuninya kita.
Jadi, tugas paling penting bagi setiap kita adalah bertauhid dan bermakrifah kepada-Nya. Karena itu kami dikatakan, “awaluddin makrifatullah”. Syirik itu halus sekali. Makanya perlu makrifat untuk terbebas dari itu. Tauhid saja tidak cukup. Tauhid itu sekedar tau Tuhan itu ada, namanya apa dan sifatnya seperti apa. Makrifat itu mengenal, berjumpa dan terkoneksi dengan-Nya.
Lalu, apa dosa terbesar setelah syirik, itu “relatif” sifatnya. Banyak sekali jenis dosa besar setelah syirik. Ada 1001 macam kekejian dan kemungkaran yang dapat dikategorikan sebagai dosa terbesar setelah syirik.
Dalam kasus di atas, Nabi menyebut “membunuh anak sendiri yang akan makan bersama kita” dan “menzinahi istri tetangga” dalam urutan dosa terbesar setelah syirik. Kenapa dua itu disebut dosa terbesar setelah syirik? Bagaimana dengan membunuh orang tua sendiri, menzinahi anak sendiri, dan sejenisnya; apa itu tidak termasuk?
Begini. Seperti kita jelaskan di atas, ada 1001 jenis dosa terbesar setelah syirik. Kebetulan dalam kasus di atas Nabi menyebut “membunuh anak sendiri karena takut akan makan bersama kita” dan “menzinahi istri tetangga” dalam daftar kejahatan besar setelah syirik. Mau tau kenapa?
Nabi itu kalau berbicara selalu kontekstual. Seringkali, apa yang beliau sampaikan, itu untuk menyelesaikan sebuah persoalan yang sedang dihadapi.
Nabi tau apa yang ada dalam hati si penanya. Ataupun isi hati orang-orang disekitar penanya. Nabi bisa membaca jiwa dan pikiran orang. Boleh jadi, si penanya atau orang-orang disekelilingnya sedang punya masalah dengan anak sendiri dan istri tetangga. Mungkin ada lintasan niat dalam pikiran orang yang ada dalam jamaah Nabi untuk membunuh anaknya, yang akan makan bersamanya. Boleh jadi juga, ada orang-orang yang hadir disitu yang punya sensasi tertentu ketika melihat istri tetangga.
Dua hal ini merupakan penyakit yang sedang menggerogoti orang-orang yang ada di hadapan nabi. Kelihatannya yang bertanya Abdullah bin Mas’ud tidak seperti itu. Mungkin ada orang lain yang bersamanya, yang ada dalam jamaah Nabi yang seperti itu. Tentu tidak begitu relevan bagi Nabi ketika harus mengatakan bahwa dosa terbesar setelah syirik adalah, misalnya, berjudi dan mabuk-mabukan. Sementara para sahabat yang ada dihadapannya itu tidak punya hobi berjudi dan minum khamar.
Jadi, ketika Nabi menjawab sesuatu, biasanya menyasar sebuah persoalan. Itu yang disebut bentuk pengajaran “kontekstual”. Setiap ayat dan hadis yang turun, selalu berusaha menjawab sebuah tantangan yang sedang berkembang.
Ini yang harus kita dipahami, saat berhadapan dengan sebuah ayat dan hadis. Ada “asbab” dari turunnya sebuah kalimat. Boleh jadi asbabnya bersifat lahiriah dan mudah dipahami. Misalnya, ada orang yang sedang mabuk. Lalu Nabi berkata bahwa mabuk itu haram hukumnya. Selesai. Sesederhana itu.
Boleh jadi, asbabnya bersifat misteri. Nabi menjawab atas rahasia tertentu dan hanya Beliau dan orang-orang yang merasakan itu yang tau. Seperti pada kasus di atas, kenapa membunuh “anak sendiri yang akan makan bersama” dan menzinahi “istri tetangga” yang disasar Nabi. Karena, boleh jadi, itu penyakit yang ingin nabi bersihkan dari hati orang tertentu yang hadir saat itu. Yang relevan dengan perilakunya. Ada sesuatu yang sedang bergejolak dalam diri salah satu jamaah yang ada bersama Nabi. Hatinya mungkin sedang bergemuruh ingin “membunuh anak sendiri yang akan makan bersamanya”. Juga ada jamaah lain yang mungkin pikirannya sedang tertuju pada kemolekan “istri tetangga”.
Pemahaman seperti ini harus kita miliki. Sehingga kita tidak langsung mencerap hadis sebagaimana adanya. Perlu sedikit penalaran. Disitulah fungsinya otak dan hati. Tanpa itu, kita akan terdogmatisasi. Benar memang, tapi “dogmatis”.
Dogma itu benarnya bersifat “hitam-putih”, sesuai bunyi teks. Disinilah awal lahirnya ekstremisme. Sebuah hadis diterapkan secara “kaku”, untuk diaplikasikan secara menyeluruh dan merata pada segala kondisi. Padahal, ada wisdom dibalik jawaban seorang Nabi. Ini yang sering gagal dipahami. Tidak selamanya ada orang yang ingin membunuh anak yang akan makan dengannya. Jarang itu terjadi. Tidak selamanya menzinahi istri tetangga sebagai dosa besar. Belum tentu kita punya tetangga yang kita tergoda dengannya. Dua kasus terakhir dapat di ganti sesuai konteks peristiwa.
Maksudnya begini. Seandainya Nabi masih hidup di era kita, dan ada seseorang yang datang bertanya, “Ya Rasulullah, apa dosa terbesar setelah syirik?”. Menurut Anda, apakah Nabi akan menjawab hal yang sama?
Belum tentu. Boleh jadi Nabi akan menjawab, dosa terbesar setelah syirik adalah “korupsi”, “memanipulasi anggaran”, “mengelola situs judi online”, “menjadi agen sabu-sabu”, “menjadi mafia tambang”, “menonton film porno”, dan sebagainya.
Kalau seorang pedagang bertanya hal yang sama, Nabi mungkin akan menjawab, dosa terbesar setelah syirik adalah “mengurangi timbangan”, “mengambil riba”, “membuat bank atas nama Islam tapi pelayanannya sangat buruk”, dan sejenisnya.
Kalau seorang dosen bertanya ke Nabi, apa dosa terbesar setelah syirik, mungkin jawabannya adalah “melakukan plagiasi”, “acuh dengan mahasiswa”, “sibuk meneliti dan berkonferensi tapi lupa dengan nasib masyarakat”, dan sebagainya. Pun kalau Anda seorang guru atau ustadz di abad ini, dengan pertanyaan yang sama, mungkin Nabi akan menjawab, “mencabuli murid” dan “menuduh sesat saudaranya” sebagai dosa terbesar setelah syirik. Nabi akan menjawab sesuai dengan potensi dosa kelompok penanya. Nabi berbicara pada level masing pendengarnya. Nabi menjawab sesuai penyakit orang yang ada dihadapannya.
Itulah “metode dakwah” Nabi. Itulah bentuk “public speaking” Nabi. Apa yang disampaikan sangat bijak, relevan, sesuai konteks tempat, waktu dan kejadian. Jadi, disatu sisi kita perlu mengetahui dan menghafal teks hadis. Disisi lain, hadis ini perlu dipahami secara “kontekstual”. Tanpa memahami “isi hati” kenapa Nabi mengatakan itu, disitulah awal masalah terjadi.
Ekstrimisme dalam Islam terjadi bukan karena kita tidak percaya Qur’an dan hadis. Melainkan karena kita memahaminya seperti apa yang tertulis saja. Padahal, konteks batinnya luas sekali.
Karena itulah, dalam relijiusitas Islam dipercaya, setiap 100 tahun sekali akan muncul para mujtahid. Mereka adalah orang-orang yang akan “memperbaharui” Islam. Pemahaman keislaman akan dibawa sehingga senantiasa relevan dengan tempat dan zaman. Sehingga kita tidak terjebak dengan redaksi historis dari teks dan kitab an sich. Kita harus menjadi “ruh” yang hidup dari sebuah teks dan kitab; untuk menjawab setiap kondisi dan kejadian pada setiap waktu dan tempat.
Penutup
Sebagai penutup, saya ingin membawa materi kita ini dalam ranah sedikit lebih praktis. Begini. Coba sebutkan 3 dosa terbesar Anda saat ini.
Yang pertama sudah pasti “syirik”. Itu sudah ketentuan dari Nabi. Semua orang punya potensi syirik. Sejauh ia belum mengenal Allah sebagaimana para Nabi mengenal-Nya, kita semua adalah makhluk paling rentan dengan syirik. Kalau sekedar hafal Nama dan Sifat Allah, kaum jahiliah dan ahli kitab terdahulu juga jagonya di bidang itu. Tapi siapa yang benar-benar telah mengenal dan terkoneksi dengan Allah (makrifah), itulah yang telah terbebas dari syirik.
Kenapa makrifah (mengenal Allah) itu penting? Sebab, itu akar dari perilaku kita selanjutnya. Kalau makrifatnya kuat, akhlaknya pasti baik. Jika tidak, perilaku kita pasti aneh-aneh, se-relijius apapun bentuknya.
Lalu, apa dosa terbesar kedua dan ketiga masing kita setelah syirik? Jawabannya, itu tergantung profesi kita. Setiap kita punya profesi dan pekerjaan, yang melalui itu kita melakukan berbagai kemungkaran, setiap hari. Silakan diingat-ingat; apa bentuk kejahatan, kelicikan dan kecurangan yang masih Anda praktikkan dalam pekerjaan Anda.
Jangan mengaku suci. Apakah Anda seorang presiden, menteri, anggota DPR, ketua parpol, hakim, jaksa, dokter, tentara, polisi, birokrat, guru, kontraktor, pedagang, wartawan, ulama, dan sebagainya; masing-masing punya kejahatan yang rutin Anda lakukan. Seandainya Nabi masih hidup, Beliau akan mengatakan, setelah syirik, dua kejahatan di bidang profesi yang masih Anda kerjakan adalah, itulah dosa besar Anda. Kalau itu bisa Anda hilangkan, masuk surga Anda.
Saya juga begitu, selain syirik, ada dosa-dosa yang masih harus saya bersihkan, sesuai konteks pekerjaan dan profesi saya. Kalau semua bekerja untuk membersihkan diri, negeri kita akan menjadi negara yang makmur dan sejahtera.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: sayyidmuniruddin.com
TikTok: tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/Habib.Munir/
Twitter-X: x.com/saidmuniruddin
Channel WA: The Suficademic
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2