
Jurnal Suficademic | Artikel No.74 | Desember 2024
AGAMA ITU APA?
KEPALA DAERAH, PENGUATAN VISI DAN POTENSI KORUPSI
Oleh Said Muniruddin
Bismillahirrahmanirrahim.
Pilkada kepala daerah tahun 2024 telah usai. Ada yang sudah jelas pemenang. Ada yang masih menunggu rekap resmi KPU. Mungkin ada yang berlanjut ke MK karena indikasi curang. Ada yang sudah legowo, mengaku kompetitornya sebagai juara.
Yang jelas, tahun 2025 nanti, semua provinsi dan kabupaten kota sudah ada gubernur, bupati dan walikota baru. Artinya, kisruh Pilkada sementara sudah usai. Tinggal para pemimpin daerah dengan implementasi berbagai visi dan janjinya. Kalau kinerjanya buruk, siap-siap untuk di bully lagi. Baik sekalipun kinerjanya, tetap ada yang bully. Apalagi kalau buruk. Dalam politik, tatakelola emosi penting sekali. Sama pentingnya dengan tatakelola pembangunan.
Sudah bisa dipastikan, tahun 2029 nanti, ada pemimpin yang begitu dipuja karena kesuksesan dalam membangun daerahnya. Mungkin akan dipilih lagi. Ada juga yang akan dicerca sepanjang sisa hidupnya, karena gagal membangun, dan mungkin juga ada yang tertangkap KPK atau aparat penegak hukum lainnya.
***
Pertanyaannya, siapa kepala daerah yang akan sukses pada 2029 nanti?
Salah satu jawaban -dari banyak jawaban lainnya adalah, yang sukses memimpin lima tahun ke depan adalah para pemimpin yang “punya” visi. Selebihnya sudah dapat dipastikan gagal. Kenapa bisa begitu?
Begini. Kunci sukses paling utama adalah “memiliki” visi. Dalam bahasa sedikit relijius, visi adalah “niat baik” -yang terukur. Menjadi pemimpin harus punya niat baik (walau terkadang ada yang mencampurnya dengan niat jahat). Visi adalah gambaran ideal masa depan yang ingin dicapai, ingin diraih atau ingin dituju. Kalau tau kemana akan dituju, sudah pasti seorang pemimpin bisa mengarahkan pengikutnya untuk bergerak ke titik itu. Jika tidak, maka seperti yang sering masyarakat rasakan, pembangunan menjadi stagnan. Bahkan mengalami kemunduran.
Bahkan lebih parah dari itu, tanpa visi, yang terjadi adalah korupsi. Korupsi terjadi karena pembangunan terfokus pada bagaimana cara “menghabiskan” uang. Bukan pada bagaimana cara mencapai tujuan. Dalam benak pemimpin yang tidak punya visi, yang terlihat hanya lembaran “uang”. Bukan capaian idealpembangunan. Yang diinginkan hanya bagaimana cara “mengumpulkan” uang. Bukan cara memaksimalkan fungsi uang. Korupsi adalah gejala negeri tanpa visi. Fokusnya pada cara “mengambil”, bukan “memberi”.
Itulah pentingnya visi. Ketika seseorang punya visi, fokusnya akan tertuju pada capaian ideal tentang sesuatu. Maka segala bentuk sumberdaya yang dimiliki akan digunakan secara efisien untuk mencapai berbagai tujuan yang ia cita-citakan bagi masyarakatnya itu.
***
Pertanyaannya, bukankah semua kontestan yang ikut dan terpilih dalam Pilkada 2024 sudah punya visi?
Iya, sudah ada. Tapi khawatir kita, itu bukan visi si pemimpinnya. Melainkan visi titipan tim suksesnya. Mungkin juga visi para profesor dan doktor yang ada dibelakangnya. Inilah ironi kepemimpinan kita, tidak punya visi. Kalaupun ada visi, itu visi orang lain. Bukan visinya sendiri. Visi orang lain inilah yang dipaparkan saat debat kandidat sebelumnya.
Saat terpilih menjadi kepala daerah, banyak pemimpin yang tidak terintegrasi dengan visi yang disampaikan saat Pilkada. Sebab, itu isi pikiran orang lain. Boleh jadi, visi tersebut penting dan benar. Karena disusun secara rasional oleh seseorang. Proses penyusunannya mungkin telah melewati analisis SWOT. Bisa jadi telah menggunakan indikator SMART dan lainnya. Tapi sebenarnya hanya untuk memenuhi tuntutan administrasi Pilkada saja.
Meskipun secara formal visi sudah ada, masalahnya cuma satu, visi itu tidak terintegrasi dalam jiwa kepala daerah. Visi itu bukan sesuatu yang lahir dari kesadaran rasional-imajinalnya. Visi itu sesuatu yang “dititip” oleh orang-orang kepadanya. Visi itu sesuatu yang ia “pesan” dari orang yang ahli dalam menyusun redaksi visi.
Boleh jadi karena calon kepala daerah tidak sanggup memikirkan apa visi yang harus diusung, maka ia meminta orang lain menyusunnya. Akibatnya, ada jarak antara visi yang ia usung dengan dirinya. Karena itu tidak heran, setahun setelah terpilih, pembangunan mulai kehilangan arah dan tujuan. Visi berjalan sendiri, sang pemimpin berjalan sendiri. Tim suksesnya telah berjalan mencari rejeki sendiri-sendiri. Apalagi masyarakat, juga hidup sendiri.
Karena itu dikatakan, tanpa visi tidak mungkin ada pemimpin. Pemimpin lahir dari sebuah “visi”. Ketika sebuah visi lahir, pemimpin juga akan lahir. Karena ada visi, makanya lahir gerakan. Untuk menggerakkan, dibutuhkan kepemimpinan. Visi adalah sumber energi. Semakin besar visi, semakin besar energinya. Bayangkan, jika visinya adalah Tuhan. Mati sekalipun ia mau untuk mencapai itu.
***
Apakah salah jika visi disusun bersama?
Dalam hal ini, tidak salah jika lahir “group leadership”. Sebuah visi lahir dari imajinasi bersama (shared vision). Sebuah partai misalnya, pasti punya tujuan bersama. Untuk mencapai tujuan, maka dicalonkan seseorang diantara mereka untuk memimpin proses perjalanan.
Tapi ingat, pemimpin haruslah seseorang yang paling merasakan pentingnya visi ini. Paling terintegrasi dengan visi. Bahkan sebenarnya adalah pemilik dari visi. Pemimpin bukanlah orang yang “dititipi” visi oleh orang lain. Pemimpin bukanlah “boneka” yang digerakkan untuk mencapai tujuan orang lain. Pemimpin sejati adalah seseorang yang bergerak karena ada otentisitas visi dalam dirinya. Visi itu miliknya, yang lahir dari kesadaran mendalam terhadap kondisi sosial masyarakatnya. Visi itu terintegrasi dalam pikiran bawah sadarnya. Visi itu ada dalam pikiran dan mengalir dalam emosinya. Sehingga kemanapun ia pergi, hanya itu yang dibahasnya. Hanya itu yang ingin dicapainya. Sehingga semua pengikut dan bawahannya hanya bekerja untuk mewujudkan itu semua.
Penutup
Paska Pilkada, sepertinya tidak ada pilihan lain bagi para kepala daerah yang telah terpilih. Selain mempertajam dan mengintegrasikan diri dengan visinya. “Visi” merupakan bahasa yang secara verbal, tekstual dan visual akan terus ia komunikasikan dengan para pengikutnya. Visi adalah niat baik yang disosialisasikan kepada para birokratnya. Visi ini menjadi spirit bagi staf dalam bekerja. Tanpa kejelasan dan ketegasan dalam penyampaian visi, semua stakeholder pembangunan akan bekerja untuk mencapai “niat buruk” masing-masing.
Memperjelas visi itu sangat penting. Tanpa visi yang jelas, akan muncul visi aneh lainnya di tengah jalan yang akan mensabotase visi besar. Bahkan seringkali muncul orang-orang yang akan menumpangi perjalanan kepemimpinannya dengan berbagai visi pribadi mereka. Distraksi terhadap visi inilah yang menjadi akar korupsi di berbagai lini.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: sayyidmuniruddin.com
TikTok: tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/Habib.Munir/
Twitter-X: x.com/saidmuniruddin
Telegram: t.me/suficademic_saidmuniruddin
Channel WA: The Suficademic
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2