“LIVING IN THE NOW”, ILMU KEHADIRAN

Bagikan:

Jurnal Suficademic | Artikel No.76 | Desember 2024

LIVING IN THE NOW”, ILMU KEHADIRAN
Oleh Said Muniruddin

Bismillahirrahmanirrahim.

SALAH satu dosa besar kita adalah menganggap Nabi ataupun orang tua kita yang sudah tiada, adalah benar-benar tiada. Menganggap orang yang sudah mati sebagai benar-benar mati, itu keliru. Sebab, tidak ada yang benar-benar mati dan terputus. Semuanya hidup dan abadi, saling terkoneksi dalam berbagai level of energy.

Rasulullah SAW bersabda bahwa, “Ketika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara, yakni sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya“.

Ini maknanya, ketika seseorang mati, tidak ada yang terputus. Masih ada koneksi. Memang urusan amalan kehidupan duniawinya sudah terputus semua. Tapi ada berbagai gelombang amalan yang masih ia terima. Apakah itu amalan yang pernah ia lakukan (seperti sedekah dan keilmuan, ataupun orang-orang yang masih bekerja dan berdoa untuknya seperti yang dilakukan oleh anak atau orang-orang terdekat dengannya). Jadi, tidak ada yang terputus. Hampir semua orang meninggalkan tiga hal ini saat meninggal, dalam kadar berbeda.

Jadi, kita ubah sedikit pandangan tentang kematian. Orang mati, itu tidak mati. Justru sudah hidup selama-lamanya. Kita tidak pernah mati. Kita semakin hari semakin hidup. Begitu mati, langsung abadi. Dan sekali lagi, tidak ada yang terputus!

Jadi, jangan pernah menganggap orang yang mati, khususnya mereka yang “syahid” sebagai mati. Mereka hadir, hidup dan menyaksikan segala sesuatu melalui mata Tuhannya, melalui mata Ruhnya.

Ini artinya apa?

Artinya adalah, segala sesuatu hidup. Manusia senantiasa hidup. Sesama yang masih hidup bisa berinteraksi. Memang secara fisik Anda tidak bisa berinteraksi dengan orang yang sudah mati. Dimensi ini sudah terputus. Tapi bukankah esensi manusia adalah ruh, sesuatu yang hidup. Pada dimensi ruh inilah setiap kita masih bisa hadir, berkomunikasi dan berdoa dengan mereka yang sudah lebih hidup dari kita.

Komunikasi memang terjadi pada level “gelombang”, bukan pada level fisikal. Kalau Anda berbicara dengan seseorang, yang Anda dengar itu gelombang suaranya. Gelombang itu elemen “gaib”, bukan materi. Ketika melihat sesuatu, mata Anda juga tidak menangkap materi secara langsung. Mata Anda hanya menyerap gelombang wujud dari yang ada disekitar Anda dengan perantaraan cahaya.

Anda bisa bicara dengan orang yang berjarak ribuan mil, yang posisinya entah dimana, juga sama. Komunikasi terjadi dalam bentuk interaksi gelombang. Anda dengan lawan bicara saling mengirim gelombang. Itulah bentuk komunikasi, apakah “jarak jauh” sekaligus “jarak dekat”. Semua terjadi dan hadir dalam bentuk transmisi gelombang atau energi. Lewat frekuensi tertentu.

Dengan orang yang sudah meninggal juga begitu. Betapapun jauhnya kita dengan mereka, walaupun berbeda tempat, alam atau dimensi, dengan teknologi dan gelombang Ruhani, komunikasi dan kehadiran memungkinkan selalu terjadi. Ruh bisa berjalan ke berbagai dimensi. Ruh itu energi yang abadi. Dia bisa hadir dan aktif di dunia, sekaligus di dimensi ukhrawi.

Jadi, tidak ada jarak antara orang hidup dan orang mati, antara dunia dan akhirat, jika kemampuan komunikasi ruhiyah seseorang sudah bagus. Bahkan antara Tuhan dan manusia yang perbedaan dimensinya jauh sekali, juga bisa menjadi “lebih dekat dari urat leher” (QS. Qaf: 16). Pada level ini, kita dengan Dia tidak terputus. Bahkan menyatu. Dia hadir dalam gelombang tertentu.

Orang yang hidup masih bisa berkomunikasi dengan yang sudah tiada. Salah satu bentuknya adalah “doa”. Doa yang efektif adalah yang dikirim dengan bahasa dan frekuensi yang tepat. Ketika teknologi kesadaran bisa di set-up pada frekuensi yang benar, siapapun bisa berkomunikasi dengan mereka yang sudah tiada. Apalagi itu orang tua kita, yang ruhnya menjadi bagian dari diri kita. Karena gelombang DNA mereka ada pada diri kita, sudah pasti koneksinya lebih cepat.

Karena itu dikatakan, salah satu doa yang tidak terputus adalah doa anak terhadap orang tuanya. Apalagi doa anak yang shaleh. Anak yang shaleh adalah anak yang tau dan mampu berdoa pada gelombang, frekuensi atau level kesadaran yang benar, sehingga langsung diterima oleh orang tuanya.

Jadi, semua yang sudah tiada masih hidup sampai dimasa “sekarang”. Maksudnya, tidak ada yang namanya masa lalu. Orang tua kita bukan sosok masa lalu. Mereka masih hidup bersama kita sampai sekarang, dalam wujud yang lebih hakiki, dalam dimensi yang lebih sejati. Jadi, tidak ada alasan bagi untuk tidak berkomunikasi atau mendoakan mereka setiap hari.

Begitu juga dengan para nabi, termasuk Nabi Muhammad SAW. Beliau masih hidup. Beliau tidak pernah mati. Yang mati hanya jasadnya. Hakikatnya, ruhnya, masih hidup. Dengan ruhnya itulah siapapun bisa berkomunikasi, menyampaikan salawat. Karena itu dalam shalat misalnya, ada ucapan salam kepada nabi dalam kalimat “present”, yang mencerminkan Beliau masih hadir dan hidup: “Assalamu’alaika ayyuhan nabiyyu warahmatullah…”.

Anda mungkin akan menangis kalau bisa merasakan bahwa Nabi begitu hidup dalam kesadaran Anda. Itu penyebab pecahnya tangis dalam shalat orang-orang tertentu. Hati Anda menjadi lembut jika bisa merasakan ini. Pada level ini, Anda beribadah bukan untuk menyembah sosok, benda mati, patung atau berhala. Anda menyembah Tuhan yang hidup. Anda menyampaikan shalawat dan salam kepada Nabi yang masih hidup dan hadir dalam diri Anda.

Jadi bodoh sekali jika kita menganggap para Rasul itu sebagai “sosok sejarah” semata. Tulang dan dagingnya memang sudah terkubur dalam sejarah. Tapi ruh mereka hidup “in the now”, “in the present”. Wujud ruhaniahnya senantiasa diutus kepada setiap tempat dan masa. Beruntunglah mereka yang masing berkomunikasi dengan Rasulnya setiap hari. Lebih beruntung lagi mereka yang mengetahui gelombang dan frekuensi sang Rasul. Sehingga mampu “mendengar” jawaban darinya.

Karena itu, hiduplah dimasa “sekarang”. Live in the now. Sebab, semuanya “sekarang” masih hidup. Anda mungkin masih ingat, drama perjalanan israk mikraj Nabi. Dalam perjalanan itu, Beliau sempat mengimami para nabi terdahulu. Lalu saat israk, Nabi juga bertemu dengan nabi-nabi yang sudah wafat. Bahkan saling berinteraksi seperti layaknya orang-orang yang hidup pada satu zaman.

Kenapa bisa begitu, bukankah para nabi terdahulu sudah mati semua? Kalau sudah mati, bukankah hubungannya “terputus”? Tapi kenapa hubungannya sangat “live”? Juga kenapa sholat kita yang 50 waktu didiskon jadi 5, justru atas saran Nabi Musa yang sudah tiada? Bisakah orang mati berbicara dan mengeluarkan hukum bagi kita yang masih hidup?

Sekali lagi. Jangan keliru. Mereka semua masih hidup. Mereka masih hadir. Pada dimensi ruhani, hubungan tidak terputus. Secara ruhani, semua nabi hidup sezaman. Ruhnya selalu bertemu dan berinteraksi. Termasuk kita, juga masih hidup sezaman dengan Nabi. Secara fisik memang tidak bertemu, sudah putus. Tapi secara ruhani, kita masih bisa berjumpa. Artinya, kita dengan Nabi senantiasa hidup pada masa yang sama, masa “sekarang”. Karena itu, baik-baiklah dengannya. Syafaatnya aktual. Beliau selalu hadir dan menyaksikan. Beliau juga bisa muncul secara kreatif dalam kehidupan seseorang. Beliau menjadi saksi atas apapun yang kita pikir dan kerjakan.

Setelah memahami ini, Anda bisa memperbaiki diri. Misalnya, tidak ada alasan bagi kita untuk menyesal kalau pernah berbuat jahat dengan orang tua setelah merasa bahwa mereka sudah tiada. Begitu juga untuk memaafkan, jika Anda punya luka batin dengan mereka. Sampai sekarang mereka masih hidup dan Anda bisa meminta maaf, berbuat baik dan memaafkan mereka. Apakah itu dengan berdoa, bersedekah, berkenduri, merawat warisan dan berbuat baik kepada sesama manusia atas nama dan untuk mereka, selayaknya mereka masih hidup secara lahiriah.

Penutup

Dalam training-training THE SUFICADEMIC, kami mengajak peserta untuk memahami konsepsi serta mensimulasikan praktik-praktik “kehadiran” paling mendasar semacam ini. Sehingga mereka menyadari dan mengetahui cara untuk berinteraksi dan berbuat baik terhadap Nabi dan orang tuanya. Kedua mereka adalah wujud yang ada “saat ini”. Mampu merasakan bahwa Nabi dan orang tua masih hidup dan tidak pernah berjarak dengan kita, merupakan salah satu bentuk kebahagiaan hakiki.

Waktu dan tempat tidak pernah mampu memisahkan kita dengan Nabi dan orang tua kita. Karena kita dan mereka senantiasa hidup pada waktu yang sama, “now”. Dalam konteks ini, hanya ada “now”. Tidak ada “past” atau “future”. Kalau vibrasi spiritual kita kuat, kita akan merasakan, bahwa kita hidup pada satu titik yang sama dengan mereka. Kita semua terintegrasi dalam satu kesatuan. Kita semua adalah manifestasi dari ke-ahad-an. Tidak ada keterpisahan. This is the power of now, the power of being present.

Karena itu dalam dunia spiritual, yang disebut “ilmu hudhuri” adalah ilmu kehadiran (presence). Ini ikmu tentang rasa, bahwa Tuhan dan Rasul misalnya, itu selalu hadir pada saat sekarang (now, present). Kalau ingin hidup bahagia, hiduplah “sekarang”, bersama-Nya. Putuskan ilusi masa lalu ataupun rasa was-was terhadap masa depan. Hiduplah pada masa sekarang, masa yang sudah pasti. Tuhan adalah Wujud Awal sekaligus Wujud Akhir, yang ada dimasa sekarang (now). Hidup dan nikmatilah secara baik masa sekarang. Semuanya ada pada masa sekarang.

“Ilmu khusyuk” juga ilmu kehadiran (being present). Ilmu khusyuk adalah ilmu cara memutuskan mata rantai terhadap masa lalu dan juga masa depan. Dalam shalat misalnya, kita diwajibkan khusyuk. Tidak boleh berpikir apa yang sudah terjadi. Juga tidak boleh menghayal tentang masa depan. Pikiran jangan dibawa kemana-mana. Pikiran emosi Anda harus hadir untuk “saat ini”, untuk terintegrasi hanya dengan Tuhan dan Rasul Anda saja.

Metode kehadiran dan penyatuan Ruhani memang menjadi topik khusus dalam pengajaran guru-guru spiritual. Orang-orang terkadang datang berziarah ke Kakbah, ke makam Nabi, ke kuburan keramat dan ke tempat orang-orang mulia yang masih hidup. Tujuannya, sejatinya bukan untuk menyembah itu semua. Tapi untuk menemukan gelombang ruhani. Ada proses “tune-in” atau “tapping” ke alam bawah sadar yang lebih mudah dilakukan ketika seseorang memiliki objek visual sebagai frekuensi/wasilah dalam berdoa.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: 
sayyidmuniruddin.com
TikTok: tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/Habib.Munir/
Twitter-Xx.com/saidmuniruddin
Channel WA: The Suficademic
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2

Bagikan:

2 thoughts on ““LIVING IN THE NOW”, ILMU KEHADIRAN

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Next Post

COFFEE WRITING

Fri Dec 6 , 2024
SAID

Kajian Lainnya

SAID MUNIRUDDIN adalah seorang akademisi, penulis, pembicara dan trainer topik leadership, spiritual dan pengembangan diri.