
Jurnal Suficademic | Artikel No.78 | Desember 2024
“LIQA”: THE SECRET OF HAPPINESS
Oleh Said Muniruddin
Bismillahirrahmanirrahim.
Apa yang dapat membuat Anda Bahagia?
Pertanyaannya pembuka, “apa yang dapat membuat Anda bahagia?”
Jawabannya sama semua. Seseorang akan bahagia ketika memperoleh, berjumpa, menemukan atau berhasil mengumpulkan sesuatu yang ia cari atau inginkan. Terserah, apapun itu. Boleh jadi uang, rumah, pasangan, jabatan dan sebagainya. Kalau Anda bisa memperoleh itu, pasti bahagia. Bahkan seorang anak kecil pun mendapat kebahagiaannya hanya dengan memperoleh es krim yang ia idamkan.
Problemnya adalah, sesuatu yang Anda butuhkan bukan hanya ada dalam wujud properti, atau dalam dimensi atomik-material belaka. Semakin dewasa, Anda akan merasakan kebutuhan terhadap hal-hal intrinsik yang tidak bisa sepenuhnya dapat dijelaskan lewat kata-kata. Semua terkait “rasa”. Sebab, Anda juga sebuah wujud spiritual. Ada dimensi Energi, Gelombang atau Cahaya yang membentuk kesejatian struktur Anda. Puncak dari wujud itu adalah Dia, Tuhan itu sendiri.
Anda, pada wujud asli/asal (fitrah) adalah Tuhan itu sendiri. Tuhan adalah asal usul Anda. Ketika ‘diturunkan’ ke bumi, Anda kehilangan Dia. Tuhan adalah wujud “Diri” yang hilang. Karena itu, kalau dimensi Hakiki ini bisa ditemukan kembali, Anda akan mencapai puncak bahagia. Qur’an menyebutnya sebagai “perjumpaan” (liqa’, QS. Al-Kahfi: 110).
Jadi, bahagia akan terjadi kalau seseorang menemukan apa yang paling dia cari. Karena manusia adalah makhluk spiritual, maka objek Tuhan menjadi sesuatu yang paling dicari. Karena itulah lahir agama. Dalam agama apapun, Tuhan adalah puncak dari segala pencarian. Karena Dia adalah puncak dari wujud dan kesempurnaan. Dia adalah “Diri” kita yang hilang.
Bayangkan. Hanya karena kehilangan anak, istri dan kekasih; kita bisa mengalami rasa rindu yang luar biasa. Konon lagi jika kita kehilangan Tuhan. Makna “kehilangan” disini adalah “keterpisahan” atau “ketidak berjumpaan”. Karena itu, seperti disebut dalam surah Al-Kahfi 110, semua berharap untuk “berjumpa”, “berkumpul”, “terhubung” atau “menyatu” kembali dengan Allah. Sebab itu puncak bahagia.
قُلْ إِنَّمَآ أَنَا۠ بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَىٰٓ إِلَىَّ أَنَّمَآ إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَٰحِدٌ ۖ فَمَن كَانَ يَرْجُوا۟ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَٰلِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدًۢا
“… Barangsiapa yang mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia beramal shaleh dan jangan sekali-kali mempersekutukan sesuatu apapun dalam beribadah kepada rabb-Nya” (QS. Al-Kahfi’: 110).

Makna “Berjumpa”
Anda pasti bingung dengan kata “berjumpa”. Bagaimana cara “berjumpa” dengan Allah? Mungkinkah itu terjadi? Bukankah Dia itu berbeda dengan segala sesuatu? Bukankah dimensinya lain? Padahal ayat Al-Kahfi 110 tersebut jelas mengatakan, bisa “berjumpa”, dengan syarat tertentu: beramal shaleh dan tidak syirik.
Karena skeptis, Anda mungkin percaya bahwa “perjumpaan” hanya terjadi setelah mati, di akhirat sana. Padahal, para nabi yang juga manusia biasa seperti kita -yang jumlahnya ada 124.000, justru mengalami “perjumpaan” sejak di dunia. Artinya, sejak di dunia, mereka sudah tau cara masuk ke alam subsconscious untuk “menjumpai” Tuhannya. Mereka tau metodenya. Bayangkan, jumlah orang yang mengalami “perjumpaan” dengan Rabb ada ratusan ribu. Bukan satu atau dua orang saja.
Ada hal yang membuat Anda kesulitan memahami makna “berjumpa” dengan Allah. Yaitu, Anda menganggap diri Anda murni sebagai makhluk dengan kesadaran material. Sehingga makna “perjumpaan” selalu Anda pahami dalam dimensi material. Misalnya, kalau mau ketemu teman, buat janji. Lalu ketemu di cafee atau warung kopi. Bagi Anda, yang disebut “perjumpaan” ya seperti itu. Bagi Anda, pertemuan adalah perjumpaan fisik dengan fisik. Karena itu akan sulit sekali memahami makna “perjumpaan” dengan Tuhan yang tentunya bukan makhluk fisik.
Padahal, kalau kita sedikit aware, perjumpaan sehari-hari dengan seseorang atau sesuatu juga sering terjadi dalam dimensi “non-material”. Misalnya, kalau Anda menelpon orang, Anda “berjumpa”. Tapi dalam dimensi gelombang suara. Begitu juga kalau laya Hp Anda sudah 4G, Anda bisa “berjumpa” dengan lawan bicara. Tapi dalam wujud gelombang cahaya. Berbagai teknologi dibuat untuk mempertemukan orang-orang dalam dimensi non-fisik. Orang terkoneksi atau “berjumpa” secara langsung, non-fisik, lewat layar tertentu.
Mudah-mudahan Anda sudah bisa memahami makna Nabi “berjumpa” Allah saat mikraj. Beliau bertemu dengan Allah secara langsung lewat sebuah tabir, layar atau screen. Tentu bukan layar HP dalam makna material. Tapi dalam layer berdimensi sangat spiritual. Layar atau tabir itu ada dalam di alam bawah sadarnya. Disitulah Tuhan menampakkan batasan diri-Nya. Disitulah terjadi komunikasi spiritualnya.
Jadi, Tuhan itu bukan makhluk semacam Gatot Kaca yang turun dari awan dengan kepakan sayap ke alam dunia. Itu cara berpikir material. Satu-satunya cara untuk berjumpa Tuhan, Anda harus melatih diri untuk meninggalkan cara berpikir material. Karena dikatakan, “jangan pikir tentang zat Tuhan”. Sebab, mentalitas dari akal dan pikiran tidak akan pernah mampu mengobservasi wujud spiritual murni.
Untuk memahami, mengenal dan berjumpa Tuhan; seseorang harus melatih “mata batin”. Mata batin hanya hidup ketika “mata dhahir” di-off-kan. Zikir atau meditasi ajalah jalan, cara, metode atau tarikah untuk mencapai ini. Bayangkan, seorang Muhammad selama 30 hari menutup mata inderawi di Gua Hirak, guna mengaktivasi “mata ketiga”. Itu dilakukan setiap tahun. Sampai ia menjadi nabi. Saat menjadi nabi, Beliau juga rutin melakukan itu pada setiap waktu. Semua nabi dan orang-orang arif lainnya juga melakukan hal yang sama.
“Perjumpaan” terjadi pada dimensi yang sangat batiniah itu. Pada dimensi spiritual, dengan mata jiwa. Mata fisik memang tidak bisa melihat Tuhan. Walaupun matanya selalu terbuka, ia tidak pernah bisa “melihat” Tuhan. Apapun yang dilihat dengan matanya itu, pasti bukan Tuhan. Kecuali mata bashirah, atau gelombang Gamma dari kesadarannya telah hidup, barulah matanya bisa melihat Dia. Yang melihat adalah kesadaran supra-conscious yang ada dibelakang matanya.

Menghilangkan Gelombang “Syirik”
Itu kunci dasar. Bahwa untuk “berjumpa”, untuk mampu ‘melihat’ dan merasakan kehadiran Tuhan, mata spiritual harus terbuka. Tapi masalahnya lebih rumit lagi. Bukan sekedar hidupnya mata batin, tapi lebih kepada kemurnian spiritual. Maksudnya, seperti disinggung dalam Al-Kahfi 110, jika ingin “berjumpa” (liqa), kita tidak boleh mempersekutukan Tuhan. Maknanya apa?
Artinya, untuk bisa berjumpa dan merasakan kehadiran Allah SWT, Anda harus mencapai “the state of mindfulness” (muthmainnah). Gelombang kejiwaan harus sangat tenang. Hanya boleh ada gelombang Tuhan. Tidak boleh ada yang lain. Sebab, yang dimaksud dengan “syirik” adalah bercampurnya gelombang. Kalau dalam pikiran kita ada pikiran dan gelombang selain tentang Tuhan, itu syirik. Pikiran adalah bahasa mental. Selama ada imej selain Tuhan, kita sudah musyrik. Sehalus itu. Kecuali ada beberapa imej yang diotorisasi oleh Tuhan sebagai pusat pandangan. Misalnya Kakbah dalam tradisi syariat. Ataupun wajah tertentu yang dijadikan sebagai kiblat dalam tradisi spiritual setiap umat (QS. Al-Baqarah: 148).
Zikir atau meditasi menjadi cara paling efektif untuk membasmi syirik. Zikir merupakan alat untuk melakukan “pemurnian tauhid” atau mind theraphy. Dalam zikir diajarkan cara membersihkan imej yang sering muncul dan menempel dalam kejiwaan. Segala objek duniawi bisa muncul dalam mental kita. Selama itu masih menetap dipikiran, kita berpotensi jatuh dalam kemusyrikan.
Sebab, Tuhan itu “laitsa kamislihi syai-un”. Dia tidak serupa dengan apapun. Maka, ketika dalam sholat muncul aneka rupa imej dan pemikiran, kita sudah kehilangan kekhusyukan. Begitu tidak khusyuk, kita langsung tergelincir dalam kesyirikan. Semua imej selain Tuhan adalah “berhala”. Bahkan dalam shalat pun kita berpotensi melakukan kemusyrikan, dengan menghayal hal-hal selain Tuhan.
Apa tanda seseorang masih bergumul dengan syirik? Tandanya adalah, ketika dalam hati kita masih ada rasa “was-was” (QS. An-Nas: 1-6). Was-was adalah jiwa yang dipenuhi “gelombang jin” yang bersifat destruktif. Penyakit jiwa pada level ini ditandai dengan rasa frustasi, tidak percaya diri, galau dan putus asa (jiwa ammarah). Juga rasa takut, penuh nafsu, dengki, sinis, benci, dan sombong (jiwa lawwamah).
Semua ini bentuk energi yang levelnya sangat rendah. Ini terjadi karena mentalitas kita tidak sinkron dengan gelombang ilahiyah. Kesadaran kita terpecah kepada objek-objek selain Tuhan. Orang-orang semacam ini gagal merasakan kehadiran Tuhan pada “saat sekarang” (being present). Jiwanya masih terikat dengan berbagai imej dan kesadaran, dengan segala sesuatu selain Tuhan. Termasuk dengan luka masa lalu dan ilusi masa depan.

Zikir, Membuka “Mata Hati”
Lawan syirik adalah tauhid. Tauhid itu sebenarnya murni sekali. Tauhid adalah “La maujuda illa Allah”. Tidak ada wujud selain Allah. Ketauhidan baru kita dapatkan ketika mental sudah mampu mengobservasi, bahwa hanya ada wujud Allah. Allah ada dalam segalanya. Meliputi segala sesuatu. Wajahnya ada dimana-mana.
Dalam sufisme dikatakan, “Allah itu ada dibelakang mata hitammu”. Kita sering melihat ke atas, ke bawah, kekiri, ke kanan, ke langit dan ke segala arah guna menemukan Tuhan. Sudah pasti tidak akan ketemu. Sebab, ia bukan wujud inderawi. Dia adalah Wujud Batini. Dia hanya bisa ditangkap melalui sebuah titik ketuhanan (God Spot) yang ada di tengah otak, dibelakang mata hitam kita.
Titik ini dalam bahasa Inggris disebut “pineal gland”. Dalam bahasa agak mitologis dalam tradisi Mesir kuno disebut “the eye of horus”. Sebuah “mata” yang dapat membuka pencerahan. Mata ini ada di “arasy”, di otak kita. Titik inilah yang membantu kita untuk menangkap gelombang ketuhanan.
Seringkali dalam praktik-praktik zikir mata harus ditutup, lampu redup dan pelakunya diisolasi dalam gua atau kelambu. Tujuannya untuk mengaktivasi titik dari kesadaran ini. Titik ketuhanan aktif dalam kondisi “malam”. Karena itulah “perjalanan malam” (israk) sangat sakral. Perjalanan ini membantu pelakunya untuk mengalami “transendensi” untuk “berjumpa” dengan Tuhan.
Karena itu, kalau ingin bahagia, cobalah untuk “berjumpa” Tuhan. Caranya, lakukan amal shaleh. Salah satunya adalah zikir. Zikir itu inti dari ibadah. Hanya lewat zikir Tuhan bisa “dijumpai”. Sebab, zikir adalah metode untuk membuka gelombang awal kesadaran ketuhanan dalam jiwa kita. Ketika gelombang ini sudah aktif, ia bisa dibawa dalam ranah aktifitas dan ibadah lainnya.
Tapi ingat, kunci untuk “berjumpa” adalah memutuskan diri dengan “syirik”. Syirik adalah segala bentuk imajinasi yang muncul dalam kesadaran mental tentang sesuatu selain Tuhan. Deep meditation berusaha membasmi gangguan gelombang semacam ini. Seorang nabi terkadang harus menjalani prosesi intensif ini selama 40 hari.
Hanya dengan terfokus pada Tuhan, mental syirik bisa dieliminir. Anda butuh banyak latihan zikir untuk mencapai kondisi ini. Terkadang perlu mencari orang yang sudah ahli untuk menjadi pembimbing. Ketika semua gambaran tentang selain Tuhan menghilang, lalu muncullah Tuhan dalam aneka gelombang. Pada titik ini Anda akan mengalami the moment of truth, momen “perjumpaan”. Biasanya ada yang terisak. Ada yang menangis sejadi-jadinya. Ada juga yang fana dalam gelombang-Nya. Nabi Musa bahkan pingsan ketika Tuhan “memperlihatkan” diri-Nya. Saya tidak tau apa yang akan Anda alami jika berada diposisi yang sama.
Penutup
Ada beberapa cara untuk mencapai kebahagiaan. Baik secara fisikal material, intelektual, emosional, sosial dan spiritual. Semua itu membentuk satu kecerdasan holistik tentang kehidupan. Rincian pokok bahasan ini sedang kami siapkan dalam sebuah buku berjudul “The Secret of Happiness”. Dalam kajian ini, kami hanya menuampaikan satu poin saja terkait aspek spiritual terkait “perjumpaan” (liqa) dengan Allah seperti disebut dalam Al-Kahfi 110.
Dalam training-training THE SUFICADEMIC, kami berusaha menjelaskan konsepsi ini. Bahwa bahagia itu ada. Bahwa puncak bahagia adalah ketika manusia bisa kembali ke jantung dari fitrah kesadarannya. Semua itu harus ditempuh dengan amal shaleh. Dengan praktik-praktik meditatif dan pemurnian kesadaran. Diujung proses ini diharapkan imajinasi kita kembali menjadi murni dan selalu memunculkan gelombang kesadaran ketuhanan.
Kunci bahagia memang pada spiritualitas. Spiritualitas menjadi obat penenang untuk segala bentuk kekacauan gelombang yang berpotensi Anda alami setiap hari. Betapa banyak orang yang mengalami stress, bahkan bunuh diri. Itu justru terjadi pada puncak kejayaan dan kesuksesannya. Semua sudah dimiliki. Kecuali satu, yaitu Tuhan. Tanpa “perjumpaan” dan rasa akan kehadiran-Nya, segala capaian menjadi nisbi.
Sejumlah orang, khususnya anak remaja, justru terjebak dalam keinginan yang “menipu”. Seperti narkoba, pergaulan bebas, berbagai bentuk kenakalan, judi, bully dan sebagainya. Dikiranya itu pusat bahagia. Ketika sumber bahagia tidak dapat dirumuskan secara baik dan benar, ujung yang didapat justru sebaliknya. Karena itu, bahagia juga berawal dari kemampuan untuk mendefinisikan “the right desires”. Apa keinginan, tepatnya kebutuhan yang baik dan benar. Dilanjutkan dengan mujahadah untuk menemukan itu.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: sayyidmuniruddin.com
TikTok: tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/Habib.Munir/
Twitter-X: x.com/saidmuniruddin
Channel WA: The Suficademic
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2
One thought on ““LIQA”: THE SECRET OF HAPPINESS”