Jurnal Suficademic | Artikel No.5 | Maret 2025
Idul Fitri dan Ziarah Spiritual
Oleh Said Muniruddin | Rector | Suficademic
Bismillahirrahmanirrahim.
Dalam tradisi Islam, pembimbing spiritual ada tiga: (1) orang tua, (2) guru, dan (3) mursyid. Bisa jadi orangnya satu. Ada orang tua yang juga guru sekaligus mursyid. Bisa juga orangnya beda-beda. Ketiganya saling menyempurnakan dan memainkan fungsi yang berkelanjutan.
***
Pembimbing pertama kita adalah “orang tua”. Orang tua punya peran sentral pada fase 7 tahun pertama kita (0-7 tahun). Sejak dalam kandungan sampai usia 7 tahun, itu usia paling krusial untuk pemrograman pikiran bawah sadar (subconscious mind).
Subconscious mind adalah tipe pikiran yang dihubungkan dengan fungsi “otak kanan”. Otak kanan sifatnya intuitif, artistik dan kreatif. Subconscious mind merupakan gelombang spiritual yang paling awal tumbuh dalam diri seorang anak pada fase “fitrah”.
Subconscious spiritual yang tumbuh pada usia 0-7 tahun menjadi “spiritual software” paling efektif untuk masa depan seseorang. Artinya, jika jiwa “estetis” (ihsan) sang anak berhasil dibentuk sejak usia dini, ini menjadi modal besar untuk menjadi pribadi yang “sensitif”, halus budi pekertinya ketika dewasa. Anak yang otak kanannya tumbuh sempurna akan bagus kecerdasan emosionalnya.
Karena itu, orang tua yang baik adalah “wasilah pertama” dalam kehidupan kita. Merekalah yang menjaga, merawat dan membimbing kita untuk memiliki pondasi spritual dalam kehidupan awal. Karenanya, posisi orang tua “sakral” bagi setiap anak. Orang tua kita “keramat”. Menentang mereka pasti membawa celaka. Sebaliknya, berbuat baik kepada mereka pasti membawa keberuntungan. Mereka adalah “guru pertama”. Ada Tuhan pada diri mereka. Karenanya sering kita lihat, ada orang jahat yang hidupnya sukses luar biasa. Rupanya, sejahat-jahatnya mereka, dengan orang tua patuh sekali.
Karena itu disarankan, “wa bil walidayni ihsana”. Berbuat baiklah kepada kedua orang tuamu (Al-Isra’: 23, Al-Baqarah: 83, Anisa: 36, Al-An’am: 151, Al-Ahqaf: 15). Penggunaan kata sambung “bi” dan “ihsan” pada kalimat “wa bil walidayni ihsana” memiliki signifikansi sufistik yang sangat tinggi. Padahal ada pilihan kata sambung lainnya seperti “ila” (ke) ataupun “li” (untuk).
Dijelaskan oleh Sayyid Thantawi dalam “Al-Wasith”, penggunaan kata sambung “bi” menunjukkan hubungan kedekatan atau kemelekatan. Hubungan anak dengan orang tua tidak ada jarak. Ada relasi ‘wahdatul wujud’, kemanunggalan emosi dan spiritual antara keduanya. Berbeda dengan kata sambung “ila” yang menunjukkan adanya jarak antara dua objek yang berhubungan. Misalnya antara Banda Aceh dan Jakarta, itu ada jarak.
Berbeda dengan kata sambung “li”, yang bermakna berbuat baik kepada sesuatu di luar diri kita, dan mungkin tidak punya efek langsung kepada diri kita. Sering kita melakukan kebaikan ataupun kejahatan kepada orang lain. Namun balasan atau efek baik buruknya kita tidak bersifat langsung.
Berbeda dengan berbuat baik kepada orang tua, itu punya efek dan vibrasi langsung terhadap si anak. Itu makna lain dari kata sambung “bi”, seperti dijelaskan Quraish Shihab dalam Tafsir Almisbah. Ini dapat dipahami, sebab DNA orang tua dengan anak itu sama. Sanad biologisnya tidak terputus dan saling mewarisi. Karena itu, berbuat baik kepada orang tua berimbas langsung kepada diri si anak. Efek perlakuan terhadap dua sel atau DNA yang sama, walau terpisah dalam tubuh atau lokasi berbeda, sudah dijelaskan secara ilmiah oleh Bruce H.Lipton dalam “The Biology of Belief” (2005). Karena itu pula doa anak terhadap orang tua “tidak terputus”. Gelombang doa anak terhadap orang tua yang mewarisi silsilah DNA yang sama tidak pernah terhijab oleh dimesi jarak dan waktu.
Begitu juga penggunaan kata “ihsan” (kebaikan) pada ayat-ayat di atas punya makna sufistik yang sangat dalam. Tidak digunakan kata “adil” atau lainnya. Kata “ihsan” menekankan kedalaman rasa. Orang tua merupakan guru pertama yang harus kita layani jika ingin merasakan kebaikan dan kehadiran Tuhan. Jadi, orang tua adalah “guru tasawuf pertama” kita. Seawam apapun mereka, ada vibrasi ketuhanan dalam diri mereka. Karenanya, berkata “Ah” sekalipun tidak boleh, begitu juga dengan membentak (QS. Al-Isra’: 23).
Jadi, ‘menyembah’ orang tua, itu sama dengan menyembah Allah. Bukan dalam makna memberhalakan. Tapi dalam bentuk takzim, setakzim-takzimnya. Menyembah Allah dilakukan salah satunya dalam wujud berbaik kepada kedua orang tua. Sebagaimana perintah Allah:
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Isra’: 23)
Penutup
Jadi “guru spiritual pertama” dalam pencapaian makam “ihsan” (subconscious mind) adalah orang tua kita sendiri. Begitu mudahnya beragama. Orang tua kita secara alami menjadi “wasilah pertama” untuk mengenal Tuhan. Khususnya orang tua yang tau cara mendidik anak secara baik.
Setelah orang tua, ada guru lainnya yang secara syariat hadir untuk mengajari kita aneka pengetahuan logis (conscious mind, pikiran sadar). Mereka adalah guru, ustad, kiyai, teungku atau ulama di sekolah, madrasah dan pesantren-pesantren kita. Mereka semua adalah guru yang mendidik “otak kiri” (cognitive knowledge) seorang anak. Pendidikan formal ini biasanya kita jalani pada usia 7-14 tahun. Ini dunia pendidikan yang penuh bacaan dan hafalan.
Lalu, dalam tradisi spiritual, paska baligh (14+ tahun), biasanya ada Guru lain yang bisa ditemukan untuk membimbing spiritual pada level ruhaniah yang lebih dalam (supra-conscious mind, alam atas sadar). Guru pada tahap ini melatih kita untuk kembali menjadi pribadi yang “ummi”. Guru pada tahapan ini juga disebut walimursyid, imam, dan lainnya.
Kepada mereka semua kita harus berbuat baik. Karena mereka telah membuka kesadaran kita dari satu tahap ke tahapan yang lebih tinggi. Dari satu makam kesadaran ke makam pengetahuan lainnya. Orang tua kita telah memperkenalkan nama dan sifat Tuhan (tauhid). Guru dan ustad di sekolah memperkenalkan kita hukum-hukum Tuhan (syariat). Sedang mursyid lah yang menjadi “wasilah puncak” yang akan membuka mata batin kita secara sempurna ketika berkata, “itu Dia Tuhannya! – Qul Huwallah!” (hakikat).
Idul fitri termasuk hari penting untuk menziarahi mereka semua. Atau berziarah ke makam-makam mereka. Kita bisa kembali ke “fitrah”, itu karena jasa mereka.
Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad wa ‘ala Aali Sayyidina Muhammad.*****