Jurnal Suficademic | Artikel No.118 | Desember 2023
DALAM SUFISME, AGAMA ITU URUSAN PRIVAT
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM. Dalam sufisme, agama itu urusan privat. Agama itu urusan pribadi. bukan sesuatu untuk diekspose keluar. Dalam sufisme, agama bukan simbol. Melainkan substansi.
Begini. Agama itu, pada pokoknya adalah urusan “gaib”. Anda tidak akan mengekspos urusan-urusan gaib ke publik. Bisa rusuh orang. Bisa ditertawakan orang. Bisa dituduh gila. Karena itu, masalah bagaimana Anda bertuhan, itu urusan Anda. Karena itulah, amal ibadah dalam dimensi sufistik, cenderung rahasia atau dirahasiakan. Tidak boleh ada dimensi “pamer” (show-off). Sufisme adalah kemampuan menjaga rahasia. Karena itu, sufisme cenderung dianggap sebagai “ikhawanus shafa”, perkumpulan tertutup, yang senantiasa menjaga kemurnian pikiran dan kesucian hati mereka.
Begitu rahasianya agama, sampai-sampai, jabatan kewalian pun (status kedekatan seseorang dengan Tuhan) tidak diketahui orang. Kecuali oleh segelintir manusia saja. Karenanya tidak heran, dalam dunia sufi, ada orang shaleh tapi penampilannya tidak meyakinkan. Ada wali yang majdub, penampilannya “gila”. Begitu privasinya urusan agama bagi mereka. Bahkan, karamah seseorang bisa hilang seketika, jika muncul unsur-unsur pamer (riya). Berbeda dengan cara beragama sekelompok orang lainnya, yang penuh dengan atribut dan simbol. Kalau tidak begitu, ia tidak akan terlihat sebagai agamawan. Bahkan bisa tidak diakui sebagai ulama.
Muhammad bin Abdillah sekalipun, hampir tidak terdeteksi kenabiannya. Makanya ia tidak dipercayai orang. Bahkan ramai-ramai menolaknya. Baju yang dipakainya adalah jubah biasa, sebagaimana umumnya jubah yang dipakai masyarakatnya. Jenggot yang dipeliharanya, itu sama persis dengan jenggot-jenggot petinggi jahiliah lainnya. Tidak ada perbedaan dari sisi lahiriah. Ia juga naik unta sebagaimana tetangganya. Ia juga makan dan minum seperti yang lainnya. Bedanya, ia menerima ilham/wahyu dari Tuhannya. Tidak ada yang menyangka, pedagang yang mungkin suka berteriak-teriak di pasar adalah seorang nabi. Begitu privatnya status keulamaan (kenabian)-nya.
Dengan kondisi begitu, tentu sulit sekali bagi Beliau untuk menyampaikan wahyu kepada masyarakat. Disatu sisi, akan muncul keresahan di tengah masyarakat kalau Muhammad mengumumkan secara terbuka bahwa dirinya adalah utusan Tuhan. Pasti banyak yang marah. Di Thaif, seketika ia diteriaki dan dilempari batu. Gegara menyampaikan itu.
Disisi lain, sesuatu yang dibawanya bersifat sangat esoteris, privat sekali. Oleh sebab itu, cara terbaik penyampaian wahyu adalah dengan cara-cara privat (rahasia). Itulah kenapa, pola awal dakwahnya secara sembunyi-sembunyi. Beliau mencari murid, lalu menyampaikan dan mengedukasi secara privat apa yang ia terima dari Tuhannya. Ini mendidik mereka lewat kurikulum khusus keruhanian untuk bisa terkoneksi dengan Tuhan. Sehingga lahir generasi awal, yang imannya tinggi sekali.
Itulah sufisme. Ilmu rahasia, yang disampaikan secara rahasia, lewat pola sayr wa suluk. Ilmu-ilmu laduni, ilmu ilham atau hikmah harus dididik dengan cara-cara “privat”. Bukan dengan cara diceramahin ke semua orang di masjid. Bisa rusuh kalau membahas dhamir “huwa” dalam surah Al-Ikhlas di tempat-tempat awam. Ilmu sufi adalah ilmu rasa. Ilmu diam. Ilmu hudhuri. Ilmu untuk melihat “Wajah” dan merasakan vibrasi kehadiran Allah.
Namun, lama-kelamaan, pengikut Muhammad semakin banyak. Orang-orang, diam-diam, mulai merasakan ketinggian dan kebenaran dari Islam. Masyarakat di luar mulai curiga. Lalu diintip. Diawasi. Dicurigai. Muncul tuduhan-tuduhan sesat. Muhammad dan pengikutnya mulai ditekan, lalu dipersekusi. Pernah ia bersama keluarganya di embargo selama 3 tahun di Syiib Abi Thalib, sebuah lembah di pinggiran Mekkah.
Dari pengalaman inilah kemudian ia mulai membuka diri. Ia hijrah. Mencari dukungan. Bahkan kemudian balik menyerang, jika terancam. Sebab, kebenaran harus dipertahankan. Turunlah perintah Tuhan untuk berjihad secara terbuka.
Muhammad SAW menang. Ia berhasil menguasai Madinah, juga Mekkah. Baru kemudian, ia menerapkan nilai-nilai keadilan dalam pemerintahan sesuai harapan Tuhan. Uniknya, ia tidak membawa-bawa agama secara vulgar dalam pemerintahan. Buktinya, pemerintahan yang dibentuknya adalah “pemerintahan madani”. Negara Madinah bukan negara agama. Melainkan negara yang didasari nilai-nilai universal dari semua agama samawi.
Muhammad SAW membuat statuta pendirian sebuah negara, yang semua agama sepakat dengan itu. Islam, Yahudi, Kristen membangun konstitusi bersama; yang mereka hidup dengan dasar piagam (charter) itu. Artinya, agama bagi Nabi adalah urusan “privat” masing-masing. Namun, apa yang dikerjakan dalam urusan kenegaraan, itu harus sesuai dengan nilai-nilai universal ketuhanan. Ia langsung yang mengotrolnya. Itulah fungsi leadership dan kekuasaan bagi seorang nabi. Ia tidak menjual agama dalam membangun negara. Namun ia tidak akan pernah mengangkangi nilai-nilai kebenaran agama dalam menjalankan urusan kenegaraan.
Dalam sufisme, agama itu urusan privat. Dalam artian, bagaimana cara Anda berhubungan dengan Tuhan, itu urusan Anda. Karena itulah, bagaimana cara nabi Israk Mikraj dan mengalami berbagai pengalaman spiritual; tetap menjadi misteri. Namun, bagaimana cara Anda berlaku baik kepada sesama manusia, itu harus terbuka. Kebaikan terhadap sesama manusia, baik lewat bernegara dan bermasyarakat, adalah representasi dari agama Anda. Karena itu ada namanya syariat, sejumlah adab/regulasi bagaimana cara berbuat baik, sehingga tidak mengganggu kehidupan publik. Syariah adalah ilmu untuk mengaktualkan iman dan ihsan, dalam dimensi formal.
Pada level syariah inilah belakangan ini banyak yang termotivasi untuk memamerkan secara langsung jargon-jargon Islam: “Negara Islam”, “Bank Islam” dan sebagainya. Sebagai sebuah merek dari “produk bisnis”, itu sah-sah saja dilakukan. Tapi tidak jarang orang-orang membawa nama Islam untuk menjual sebuah kepentingan, dengan melupakan dimensi moral. Menurut kami, yang paling penting dalam hal ini adalah substance over form. Namanya boleh apa saja, tapi isinya harus benar-benar seperti yang diilhamkan (diinginkan) Tuhan.
Apapun bentuk negara Anda misalnya; apakah republik, kerajaan, kesatuan, federasi, khilafah ataupun imamah; silakan saja. Yang penting hadir nilai-nilai ketuhanannya. Apapun sistem sosial, ekonomi, hukum, politik, pendidikan dan sebagainya; terserah Anda. Yang penting terintegrasi pesan-pesan Tuhan di dalamnya. Bukan jargonnya yang dikedepankan. Melainkan substansi pelaksanaannya.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.
#powered by SUFIMUDA
___________________
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok: tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter: twitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2
Terima kasih.