Jurnal Suficademic | Artikel No.8 | Juli 2025
E=mc², RUMUS MENUJU TUHAN
Oleh Said Muniruddin | Rector Suficademic
Bismillahirrahmanirrahim.
Einstein dan Spiritualitas E=mc²
Einstein (1879-1955) itu jenius. Ia eksis pada era ketika keyakinan terhadap materialisme sedang menguasai panggung pengetahuan. Mungkin ia termasuk sedikit dari ilmuan awal abad 20 yang begitu percaya bahwa Tuhan ada dibalik segala fenomena fisika.
Bahkan, E=m.c² yang lahir dari kontemplasi intelektualnya itu bukan sekedar rumus sains material. Tapi juga sebuah formula kuantum. Sekaligus menjadi petunjuk terhadap keberadaan dunia spiritual yang lebih dalam.
Fisika kuantum menjadi basis bagi spiritualisme yang berkembang di barat hingga hari ini. Sebagai produk era pencerahan, ajaran materialisme memang mulai menguat di Barat sejak abad 16. Itu berlangsung sampai abad 20. Tapi disaat itu sedang terjadi, Einstein melalui persamaan “relativitas khusus” yang ia publikasi tahun 1905 tersebut; justru memberikan petunjuk yang sangat saintifik, bahwa dunia spiritual, yaitu “Energi” (E), itu nyata!
Energi sama dengan Materi (E=m)
Secara tegas, Einstein mengatakan: E=m. Energi (E) itu sama dengan massa (m). Energi itu adalah bentuk lain dari materi. Atau sebaliknya, materi adalah sebuah bentuk material dari Energi. Setiap materi (massa) adalah tajalli atau penampakan dari Energi. Pada materi, ada Energi.
Energi adalah wujud “gaib” yang hidup, berpower, bisa menggerakkan dan sebagainya. Energi adalah sebuah “kekuatan” dibalik setiap materi. Energi adalah “jiwa” atau “ruh” dari materi. Energi itu ada. Tapi tidak kasat mata. Namun bisa diukur dengan cara tertentu. Ia tersembunyi dalam setiap objek materi. Energi adalah wujud materi yang tidak terlihat.
Dengan kata lain, Energi adalah wujud “batin” dari setiap objek “dhahir”. Setiap wujud punya dua dimensi: dhahir (massa) dan batin (Energi). Energi (yang diukur dengan satuan Joule) dan materi atau massa (diukur dalam Kilogram) adalah dua hal berbeda. Tapi keduanya sama. Walau tidak serupa. Wujudnya satu. Penampakannya berbeda.
Itu basis pemahaman pertama tentang ekuivalensi massa-energi: E=m. Energi sama dengan massa (materi). Ketika dibawa dalam pemaknaan dunia spiritual, esensi dari “Ruh/Jiwa” (Energi) itu memiliki bentuknya dalam wujud jasad (massa). Wujud material jasad (massa) adalah personifikasi dari keberadaan ruh/jiwa (Energi).
Namun, rumusnya tidak terhenti disitu.
Untuk menjadi Energi, Materi harus dipertemukan dengan konstanta Kuadrat dari Laju Cahaya dalam vacum (E=m.c²)
Meskipun materi (massa) adalah wujud kasat dari esensi Ruh (Energi), namun untuk membuat materi benar-benar kembali menjadi Energi yang “berpower”; itu butuh rekayasa lebih lanjut. Sesuatu yang paling dibutuhkan itu adalah “the speed of light” atau kecepatan cahaya (disingkat dengan “c”).
C adalah “laju cahaya”. Dalam konsepsi spiritual, itu adalah “kesadaran”. Elemen yang dapat mengubah materi menjadi Energi adalah “kesadaran”. Kesadaran merupakan elemen “cahaya yang bergerak” dalam diri setiap manusia. Maka siapa yang mengenal level-level kesadaran, itu menjadi tonggak awal untuk bergerak mengenal Tuhannya.
Manusia sebagai makhluk materi akan menjadi energi, akan berpower, akan menjadi makhluk insani; ketika ada “laju cahaya” (kesadaran) dalam dirinya. Laju cahaya dalam diri akan mengubah wujud manusia dari dimensi material (massa) menjadi makhluk berenergi (spiritual). Meditasi di ruang-ruang hampa (vacuum) bisa mengubah kesadaran seseorang menjadi lebih tinggi.
Manusia itu sendiri sebenarnya bukan materi. Materi itu sendiri sebenarnya gak ada. Materi itu adalah energi/cahaya yang bergerak cepat (m=E:c²), sehingga memiliki bentuk “tetap”. Partikel dasar manusia adalah energi/foton/kuark/cahaya yang bergerak sangat cepat, sehingga terlihat memiliki bentuk tetap atau kasat, dalam wujud atom atau materi. Coba lihat ban mobil yang bergerak cepat, pasti terlihat seperti tetap. Alam semesta juga begitu, terlihat tetap. Padahal, aslinya itu energi/cahaya yang bergerak cepat.
Namun, ketika manusia ingin kembali menjadi (becoming) Energi murni, ingin ‘kembali’ ke Tuhan, ingin ‘hilang’ kesadaran materialnya, ingin fana dan baqa dalam dimensi Ilahi; maka sekedar “kecepatan cahaya” (c) saja tidak memadai. Ia butuh “pengkuadratan cahaya”. Ia harus dibantu oleh kekuatan cahaya yang lebih tinggi. Itulah yang disebut “Cahaya di atas cahaya” (c²).
C kuadrat adalah konstanta kuadrat laju cahaya dalam vakum. Ada Cahaya lain di luar diri kita yang harus digunakan untuk melebur kesadaran material kita. Dalam terminologi spiritual, Cahaya itu “nabi/mursyid”. Seperti Khidir bagi Musa as, mursyid adalah wujud “Diri” (Cahaya) yang juga harus dicari atau dikenal dalam rangka mengenal Tuhan.
Seorang nabi atau walimursyid adalah seorang “manusia cahaya” yang dalam praktik meditasi di ruang vakum tertentu (gua, kelambu, dsb) mampu mengarahkan dan melebur diri kita untuk menjadi makhluk yang memiliki kesadaran sampai pada level Energi Rabbani.
Seorang rasul atau Mursyid adalah makhluk ruhani, yang dalam dirinya ada gelombang cahaya gamma dengan frekuensi yang sangat tinggi, yang dalam istilah klasik sufistik disebut “Nur Muhammad”. Nur ini merupakan spirit, buraq, atau laju kuadrat dari cahaya. Hanya cahaya semacam ini yang bisa mengurai ego dan materialitas kita; sehingga seseorang bisa kembali menjadi makhluk suci. Bisa kembali menjadi makhluk “Energi” (fitri).
“… illa bi Sulthan”
E=m.c² adalah rumus “sains spiritual”. Manusia (materi) pada hakikatnya adalah ruh (Energi). Pada dimensi massa/materi, manusia tidak berpower. Manusia hanya akan “hidup” dan mengalami vibrasi ketika kembali diubah menjadi “Energi”.
Dimensi material manusia bisa diubah dengan adanya “kesadaran” (consciousness), yang merupakan laju cahaya yang ada dalam dirinya. Tapi itu tidak memadai. Kesadaran Anda harus dipertemukan, dikuadratkan, dengan cahaya ruhani aktif dari seorang “guru spiritual” (dalam Islam disebut nabi, rasul, imam, ulil amri, khalifatullah, wali atau mursyid). Tentang nabi atau mursyid adalah “Cahaya” pernah kami uraikan dalam artikel “Beragama Tanpa Bertasawuf, Bertasawuf tanpa Guru: Mungkinkah?”
Dibutuhkan “ruang vakum” untuk menginkubasi dimensi materi. Itulah yang dijalani nabi di gua hirak. Atau apa yang dilakukan para penempuh jalan spiritual dalam kelambu suluk/khalwat. Disanalah kesadarannya diangkat melalui kekuatan spiritual (Cahaya di atas Cahaya) sang pembimbing, sehingga terjadi fusi energi. Kesadaran atomik material sang murid kembali lebur dalam kesadaran Ilahi. Sehingga ia menjadi makhluk “Energi”.
Begitu intensif, rutin dan lamanya proses peleburan dimensi atomik ini dilakukan, seperti yang dijalani Muhammad di gua Hirak. Bahkan pada titik tertentu, kesadaran sang salik berubah total. Dimana matanya menjadi “mata Tuhan”, telinganya menjadi “telinga Tuhan”, lisannya menjadi “lisan Tuhan”, geraknya menjadi “gerak Tuhan”.
Pada puncak proses “kuantumisasi” kesadaran ini, proses mengubah potensi materi menjadi gelombang Cahaya (Energi), manusia bisa berubah menjadi makhluk malakut (ruhani). Ia telah menjadi tajalli dari Tuhan. Secara harfiah, tidak ada lagi massa. Yang aktual hanya Energi (Cahaya/Wujud Kuantum). Tidak ada lagi ‘diri’-nya. Yang ada hanya Tuhan. La Ilaha illallah. Sebenarnya tidak ada materi. Yang ada hanya Energi (Tuhan). Dalam terminologi sains kaum sufi disingkat: La maujuda illallah.
Einstein adalah tokoh Yahudi yang menolak keras aneksasi Palestina oleh zionis. Ia pengagum Nabi Muhammad saw. Dikabarkan, sang jenius abad 20 ini pernah melakukan korespondensi ilmiah dengan Borujerdi, seorang ulama Islam dari Iran. Dikabarkan, diam-diam Einstein masuk Islam. Menurut laporan, surat-surat Einstein dengan Sayyid Husein Borujerdi disimpan dalam sebuah brankas di London.
Diriwayatkan, Einstein percaya dengan peristiwa mikraj sang Nabi. Bagi dia, itu adalah sebuah kejadian “relativitas” yang pernah ia formulasikan dalam E=mc². Nabi adalah basyar, “makhluk materi” (massa). Tapi, lewat sebuah mujahadah spiritual, lewat kekuatan “burak” (gerak kuadrat dari cahaya dalam vakum) ia bisa mengkonversi wujud atomik kesadaran materialnya, sehingga mencapai puncak “pohon kesadaran” yang berdimensi Ilahi.
Teori E=m.c² dikembangkan tahun 1959 saat ia aktif melakukan surat menyurat, kabarnya mencapai 40 surat, dengan ulama Persia tersebut. Teori ini katanya juga terinspirasi dengan berbagai kejadian “relativitas” yang dialami sang Nabi. Mungkin bagi Einstein, peristiwa mikraj bukan kejadian mistic. Melainkan sesuatu yang logic.
Sayangnya, meskipun secara hipotetis Einstein tau bahwa butuh “kuadrat laju Cahaya” untuk menteleportasi kesadaran manusia ke puncak kesadaran Ilahi, Einstein sendiri tidak pernah mendapatkan “Cahaya di atas cahaya” itu. Mungkin karena ia memilih percaya pada konsep ketuhanannya Spinoza. Bahwa Tuhan itu energi alam semesta. Bukan Cahaya yang bersemayam dalam qalbu sosok tertentu.
Karena ketiadaan guru spiritual, merujuk pada Hawkins (Power vs. Force, 1994), kesadaran Einstein terhenti pada level 499 sebagai “intelektual” berotak jenius. Seandainya ia mendapatkan pembimbing ruhani, pandangannya bisa naik ke level seorang ‘nabi’ (wali Allah). Pada level materi, terbukti formula Einstein bisa menciptakan fisi nuklir, salah satunya bom atom. Pada level kesadaran manusia, jika diterapkan, itu bisa melahirkan manusia-manusia yang membawa mukjizat Ilahi.
Melaui rumus relativitas khusus ini kita juga diberitahu oleh Einstein, bahwa kebangkitan jasmani memungkinkan terjadi. Energi bisa kembali menjadi materi, kebalikan dari formula E=m.c² >> m=E:c². Karena itu perpindahan tempat memungkinkan dialami seseorang. Syaratnya, ia mampu melakukan “akfi fisi” (peleburan/pemecahan) terhadap kediriannya sehingga menjadi “Energi cahaya” (God particle). Lalu melalui Energi tersebut ia melakukan gerak perpindahan tempat bahkan dimensi. Lalu, ditempat tujuan ia bisa mentransform wujud Energinya untuk kembali menjadi materi.
Inilah yang disebut teknologi “transmutasi” ataupun “teleportasi”. Dalam peristiwa klasik, ini sering dikaitkan dengan kecepatan seorang alim dari kalangan Sulaiman, diriwayatkan bernama Ashif bin Barkhiya, ketika memindahkan istana Ratu Balqis (QS. An-Naml: 38-40). Aplikasi serupa juga berlaku pada kejadian mikraj dalam dunia kenabian dan sufi (QS. Al-Isra: 1).
Jadi, Anda tidak mampu menembus petala langit dan bumi, illa bi sulthan (QS. Ar-Rahman: 33). Kecuali dengan “sultan”. Dengan kekuatan. Kekuatan apa? Ya itu, E=m.c². Jika rukuk dan sujud Anda selama ini hanya beroperasi pada level materi, Anda tidak akan kemana-mana. Anda hanya berputar-putar, gentayangan diantara langit dan bumi. Anda harus beroperasi pada level “relativitas kuantum” untuk bisa tembus ke alam Tuhan.
Pada level yang lebih sederhana lagi, segala bentuk ibadah dan ubudiyah dalam agama -khususnya yang bersifat nafilah (zikir, tahajud, puasa, sedekah, dan lainnya) adalah variabel moderasi untuk mengkuadratkan proses peleburan kesadaran material kita (materialistic man) untuk menjadi “manusia spiritual” (man of Energy). Ibadah-ibadah ini bertujuan untuk menghancurkan sifat-sifat “kikir” yang mengikat dimensi materi. Ketika anasir bumi/duniawi ini lebur, manusia akan berubah menjadi “makhluk langit”, makhluk Energi, yang membawa vibrasi (Rahmat) bagi alam.
Alfatihah untuk Einstein, atas formula spiritualnya!
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****