
Mengapa Mereka Menolak Rohingya?
Oleh Said Muniruddin
Tahun 2015, gelombang pengungsi Myanmar dan Bangladesh kembali membanjiri selat Malaka. Mereka terlunta-lunta di samudera, tak mengetahui pasti kemana angin akan membawa mereka. Yang pasti Rohingya ini ingin menuju negara-negara yang menjanjikan kehidupan lebih baik dan jauh dari siksa dan derita seperti yang dialami ditanah airnya.
Maka berlabuhlah mereka ke negara seperti Thailand dan Malaysia. Sebagian besar kini justru mendarat di Aceh, Indonesia. Simpati terhadap nasib mereka cukup tinggi. Namun kehadiran mereka juga menjadi sebuah dilema, sehingga disikapi secara kontra. Negara seperti Thailand dan Malaysia kini cenderung menutup pintu bagi mereka. Berikut mengapa muncul suara dan sikap untuk menolak Rohingya.
Pertama, pengungsi Rohingya itu umumnya miskin dan tidak terdidik. Susah mengurus orang seperti itu, bahkan menjadi beban baru bagi negara. Beda halnya jika mereka ini pengungsi yang kaya dan cerdas, pasti langsung diterima, malah akan diundang untuk datang jika mereka tidak aman di negaranya.
Dalam pikiran Malaysia, orang-orang bodoh dan tidak terdidik seperti Rohingya jika tidak dikelola dengan benar akan segera menjadi pemicu masalah sosial seperti pencurian, perampokan, sampai pada pembunuhan. Kenapa? Karena mereka butuh makan dan tidak mungkin akan terus menerus disumbangi oleh masyarakat setempat. Sementara mereka tidak bisa bekerja bebas karena tidak ada tanah, modal dan status kewarganegaraan. Konon lagi katanya karakter orang-orang asia selatan dalam rumpun India dan Banglades ini susah diatur.
Kedua, katanya tidak semua pengungsi itu korban perang di Myanmar. Sebagian juga mengungsi karena kesulitan ekonomi di Banglades. Bahkan banyak mafia kapal yang menawarkan mereka mencari keberuntungan hidup ke Malaysia. Sekali dibuka pintu untuk diterima maka akan datang gelombang lainnya. Semua negara menolak menerima orang-orang yang datang dengan alasan ekonomi tapi tidak punya skill dan pengetahuan yang tinggi, karena tidak punya nilai tambah untuk negara penampung.
Ketiga, kalau Thailand, selain alasan-alasan di atas, penolakan juga dilakukan karena memori negatif mereka terhadap keberadaan muslim. Semacam kasus perlawanan kaum muslim yang masih berlanjut di Pattani.
Keempat, urus-mengurus pengungsi asing juga dinilai bukan urusan sebuah negara. Melainkan urusan dunia dibawah lembaga United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR). Bisa saja sebuah negara menampungnya, tapi dibiayai oleh lembaga ini. Namun lembaga tersebut sampai hari ini terlihat adem ayem saja untuk urusan Rohingya. Lembaga-lembaga internasional memang tidak begitu responsif untuk mengurusi kasus-kasus kemanusiaan yang korbannya adalah muslim.
Kelima, sekedar menampung pengungsi juga tidak menyelesaikan akar masalah. Pengungsi akan terus datang selama kondisi politik-ekonomi Myanmar dan Banglades tidak diintervensi bersama oleh negara-negara Asean dan dunia. Itu kira-kira alasan politis-ekonomis yg ada di kepala negara-negara yang menolak Rohingya, termasuk Pemerintah Indonesia.
Tetapi untuk menjaga citra kemanusiaan, Malaysia juga menerima sedikit saja pengungsi. Selebihnya tidak mau lagi. Kalau sikap Indonesia, “Terima, tapi setahun saja. Lalu dipulangkan lagi”, kata JK.
Kalau masyarakat Aceh jelas sangat berlapang dada untuk menerima, karena rasa kemanusiaan dan sentimen aqidah. Tapi urusan muamalah setelah itu (sosial, politik, dan ekonomi) kita tidak tau akan bagaimana.*****